Di antara surat Al-Qur’an yang banyak dihafal dan sering dibaca oleh umat Islam adalah Al-Ma’un dan Al-Kautsar. Dua surat pendek ini bukan sekadar rangkaian kata indah atau pelengkap bacaan shalat. Di balik ayat-ayat itu, ternyata tersimpan banyak hikmah dan makna yang sangat dalam, luas, dan menyentuh berbagai dimensi kehidupan manusia.
Ada hal yang menarik dalam penyusunan surat Al-Kautsar setelah surat Al-Ma’un. Al-Kautsar ini tampak seperti jawaban dan menjadi jalan keluar untuk permasalahan pada surat sebelumnya. Dua surat pendek ini seakan saling bersahutan, berdialog secara maknawi, dan memberikan pelajaran moral yang sangat relevan bagi kehidupan kita. Allah berfirman:
اَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِۗ ١ فَذٰلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَۙ ٢ وَلَا يَحُضُّ عَلٰى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِۗ ٣ فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ ٤ الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ ٥ الَّذِيْنَ هُمْ يُرَاۤءُوْنَۙ ٦ وَيَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَࣖ ٧
Artinya: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? [1] Itulah orang yang menghardik anak yatim [2]. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin [3]. Maka celakalah orang-orang yang salat. [4] (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya [5], yang berbuat riya (pamer) [6], dan enggan (menolong) dengan barang berguna (zakat) [7]. (Al-Ma’un:1-7)
Baca Juga
Ciri-ciri Orang Munafiq dalam Al-Qur’an
Dalam surat Al-Ma’un ini, Allah membuka tabir kebusukan wajah dan sikap kaum munafik, mereka yang terlihat religius tetapi tidak ada sedikit pun rasa tanggung jawab, kepedulian terhadap sesama, dan juga ketulusan dalam kebaikan. Ada 4 sikap munafik yang Allah tampilkan dalam surat ini:
1. Tidak punya empati sosial
Surat Al-Ma’un ayat 2-3 berbicara tentang sikap kasar orang munafik pada anak yatim dan sikap tidak peduli terhadap kaum miskin. Tafsir diksi “Ia menghardik anak yatim” cukup bervariasi.
Menurut Ibnu Abbas, orang ini bukan hanya tak peduli, tapi juga menyita hak anak yatim. Mujahid menafsirkan dengan pengertian orang munafik enggan memberi makan, dan Qatadah menyebutkan tafsirnya bahwa kaum munafik berlaku zalim kepada anak yatim. Poin utama dari masing-masing tafsir ini sama; bahwa mereka tega membiarkan yang lemah tertindas, enggan memberi di mana hal ini dapat menzalimi anak yatim. (Ibnu Jarir At-Thabarri, Tafsir Jami’ul Bayan [Mekkah: Darut Tarbiyah wat Turats], Juz 24, Halaman 630).
Adapun tafsir kalimat “dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” berdasarkan keterangan dalam Tafsir Thabari, ayat ini menunjukkan bahwa kaum munafik juga mengajak orang lain untuk tidak memberi makan kepada orang yang membutuhkan. Mereka bukan hanya tidak mau menolong, tapi juga mempengaruhi orang lain untuk ikut tidak membantu. Sifat ini lebih parah, karena mereka bukan hanya tidak mau membantu, tapi juga mengajak orang lain untuk jangan membantu. (Tafsir Jami’ul Bayan, hal. 630).
2. Menyepelekan kewajiban
Dalam Surat Al-Ma’un ayat 4-5, Allah berbicara tentang orang yang senang menyepelekan kewajiban shalat lima waktu. Mereka mungkin mereka mengerjakan shalat, tapi shalat tanpa kesungguhan, asal-asalan, dan sekadar formalitas.
Dalam Tafsir Thabari, mereka disebutkan suka memain-mainkan waktu shalatnya, mereka tidak akan shalat kecuali jika setelah waktunya berakhir. Tafsir yang lain menyebutkan bahwa mereka sama sekali tidak mau melaksanakan kewajiban shalat lima waktu. Ibnu Abbas berbeda, ia menjelaskan bahwa kaum munafik ini adalah orang yang meninggalkan shalatnya waktu di mana tidak ada orang sekitar yang melihat, dan sebaliknya jika ia merasa ada orang yang melihat. (Tafsir Jami’ul Bayan, hal. 631-632).
3. Riya dalam beribadah
Melalui ayat ayat berikutnya, Allah mengecam sifat mereka yang suka pamer dalam beribadah (riya). Orang munafik tidak menjadikan ibadahnya sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, juga bukan untuk meraih pahala, melainkan ajang pencitraan di mata manusia, agar ia dinilai sebagai seseorang yang patuh dalam agama.
Definisi Riya menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi adalah:
المرائي المظهر ما ليس في قلبه من زيادة خشوع ليعتقد فيه من يراه أنه متدين
Artinya: “Orang riya adalah orang yang menampilkan kekhusyukan yang lebih, yang pada dasarnya tidak ada dalam hatinya, agar orang lain mengira bahwa dia orang yang taat dalam agama.” (Imam Fakhruddin Ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut: Dar Ihya At-Turats, 1430], Juz 32, Halaman 302).
Dengan demikian, orang riya itu berpura-pura khusyuk di depan orang, sementara hatinya jauh dari kata tulus. Tujuannya bukan Allah, tapi agar dinilai baik di mata orang lain. Ibadahnya jadi panggung pencitraan, bukan bentuk kedekatan dengan Tuhan. Ibadah hanya ajang selfi beribadah, bukan pengabdian sejati di hadapan Tuhan pemilik segalanya.
4. Enggan berbagi
Melalui ayat terakhir, Allah menyoroti orang yang enggan menolong dan berbagi dengan diksi “Al-Ma’un”, yakni zakat, sebagaimana tafsir dari Mujahid. Artinya, salah satu ciri orang munafik adalah sifat enggan membayar kewajiban zakat yang notabenenya ini cukup bermanfaat untuk orang yang membutuhkan.
“Al-Ma’un” juga ditafsirkan dengan makna yang lebih luas, yaitu setiap barang yang berguna untuk kebutuhan sehari-hari, seperti alat dapur, alat kerja, atau bantuan kecil lainnya.
Mujahid menafsirkannya sebagai zakat, kewajiban besar yang enggan ditunaikan. Namun menurut Abdullah bin Mas‘ud, al-Ma’un mencakup hal-hal sederhana yang biasa dipinjam antar tetangga, seperti timba, kapak, atau panci.
Dalam satu Riwayat disebutkan:
حدثنا خلاد، قال: أخبرنا النضر، قال: أخبرنا المسعودي، قال: أخبرنا سلمة بن كهيل، عن أبي العبيدين، وكانت به زمانة، وكان عبد الله يعرف له ذلك، فقال: يا أبا عبد الرحمن ما الماعون؟ قال: ما يتعاطى الناس بينهم من الفأس والقدر والدلو وأشباه ذلك
Artinya: "Telah menceritakan kepada kami oleh Khallad, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami oleh an-Nadhr, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami oleh al-Mas‘udi, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Salamah bin Kuhail, ia menceritakan bahwa Abu al-‘Abidain menderita penyakit lumpuh, dan Abdullah bin Mas‘ud mengetahui keadaan yang menimpanya. lalu Abu al-‘ Abidain bertanya: 'Wahai Abu Abdurrahman (kuniyah Abdullah bin Mas‘ud, apakah yang dimaksud dengan al-Ma‘un?' Abdullah bin Mas‘ud menjawab: 'Itu adalah benda-benda yang biasa dipinjam oleh orang-orang, seperti kapak, panci, timba, dan sejenisnya.” (Tafsir Jami’ul Bayan, hal. 639).
Maka berdasarkan riwayat ini, Al-Ma‘un bukan hanya sekadar bantuan besar seperti zakat, tapi juga termasuk bantuan kecil sehari-hari yang sifatnya sosial, seperti meminjamkan alat rumah tangga atau alat kerja, yang mencerminkan kepedulian antar sesama.
Tafsir Surat Al-Kautsar sebagai Jalan Keluarnya
Allah berfirman:
اِنَّآ اَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَۗ ١ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ ٢ اِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُࣖ ٣
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberimu nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang yang membencimu, dialah yang terputus.” (Al-Kautsar:1-3)
Jika dalam surat Al-Ma’un Allah membuka tabir wajah gelap kaum munafik, maka Surat Al-Kautsar datang sebagai penyeimbang dan solusi atas krisis moral yang digambarkan dalam surat sebelumnya. Dalam Al-Kautsar, Allah menanamkan empat nilai penting yang membentuk karakter seorang mukmin sejati:
1. Jangan pelit
Ayat pertama surat Al-Kautsar menunjukkan bahwa Allah mengaruniai Rasulullah pemberian yang berlimpah, berupa kebaikan dunia dan akhirat. Maka seakan-akan Allah berpesan “jangan menahan diri dari memberi dan menolong sesama, karena Aku (Allah) sudah mengaruniaimu banyak pemberian.” (Tafsir Mafatihul Ghaib, hal. 307).
Dari sini kita belajar, barangsiapa yang telah diberi oleh Allah, seharusnya juga ringan untuk memberi. Jangan menjadi seseorang yang menahan-nahan nikmat hanya untuk diri sendiri, enggan berbagi kepada orang lain.
Mengenai ayat ini, Imam Fakhruddin Ar-Razi menafsirkan bahwa ketika Allah mengutus Rasulullah, beliau dibuat takut oleh kaumnya. Bisa dikatakan posisi kaum beliau saat itu ibarat Firaun, raja bengis yang menentang dan dihadapi oleh Nabi Musa. Maka Allah turunkan ayat ini untuk meredakan ketakutan Rasulullah.
إن محمدا عليه السلام لما كان مبعوثا إلى جميع أهل الدنيا، كان كل واحد من الخلق، كفرعون بالنسبة إليه، فدبر تعالى في إزالة هذا الخوف الشديد تدبيرا لطيفا، وهو أنه قدم على تلك السورة هذه السورة فإن قوله: إنا أعطيناك الكوثر يزيل عنه ذلك الخوف
Artinya: "Tatkala Nabi Muhammad diutus untuk seluruh umat manusia, maka setiap orang (kaum) di muka bumi menjadi seperti Fir’aun baginya. Maka Allah merancang cara yang sangat lembut untuk menghilangkan ketakutan besar itu, yaitu dengan menempatkan surat ini (Al-Kautsar) sebelum surat yang berisi peringatan. Firman-Nya: 'Sesungguhnya Kami telah memberimu al-Kautsar' dimaksudkan untuk menghilangkan rasa takut tersebut dari hati beliau." (Tafsir Mafatihul Ghaib, hal. 309).
2. Patuh menjalankan kewajiban
Melalui ayat kedua, Allah memberi perintah menjaga kewajiban shalat. Ritual ini yang membedakan antara mukmin sejati dan munafik. Shalat adalah ekspresi cinta, dan penghambaan yang tulus. Shalat bukan sekadar rutinitas, bukan sekadar formalitas, tapi refleksi rasa syukur kita atas semua nikmat Allah.
Ar-Razi menjelaskan bahwa Syukur terdiri dari tiga unsur: [1] Hati, yaitu dengan menyadari bahwa semua nikmat berasal dari Allah, bukan orang lain. [2] Lisan, yaitu memuji Allah dengan lisan. [3] Perbuatan, yaitu merendah di hadapan Allah, menjalankan semua perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Ketiga rukun syukur ini bisa kita temukan dalam praktik shalat. Hati yang fokus hanya kepada Allah, menyadari bahwa semua kebaikan yang kita rasakan semuanya dari Allah, lisan yang juga tidak berhenti menyebut dan memuji-Nya, dan gerakan shalat yangmenunjukkan bahwa kita menjalankan perintah-Nya, semua ini adalah manifestasi dari Syukur yang memiliki tiga unsur. (Tafsir Mafatihul Ghaib, hal. 317).
3. Menjaga keikhlasan ibadah
Pada ayat kedua Al-Kautsar menegaskan bahwa ibadah itu mesti Ikhlas. Ibadah bukan karena manusia, melainkan tulus karena Allah. Di dalam Al-Mawahibus Saniyah Syarh Al-Faraidul Bahiyyah, definisi Ikhlas adalah:
الإخلاص تصفية العمل من الشوائب، وعدم الالتفات الى مدح الناس وان وقع، ودفن العمل في تابوت السر
Artinya: "Ikhlas adalah menyaring amal dari segala niat-niat kotor, tidak terpikat oleh pujian manusia meskipun memang dipuji, dan merahasiakan amal.” (Abdullah bin Sulaiman Al-Jarhazi, Al-Mawahibus Saniyah Syarh Al-Faraidul Bahiyyah, [Beirut: Darul Basyair Al-Islamiyah, 1996), Juz 1, Halaman 82)
4. Saling berbagi
Melalui potongan ayat kedua, Allah memang berbicara tentang ibadah kurban, tapi di balik itu juga mengandung makna yang lebih luas: bahwa seharusnya mukmin sejati itu mau berbagi satu sama lain, berbagi dalam bentuk pengorbanan yang nyata. Memberi adalah pertanda bahwa kita berterima kasih atas anugerah Allah. Kata “berkurbanlah” bukan sekadar menyembelih hewan kurban di hari raya Idul Adha, tapi juga melambangkan semangat memberi dan berkorban untuk kebaikan orang lain.
Pada akhirnya, jika kita merenungi, kombinasi kedua surat ini seperti dua sisi mata uang kehidupan: surat Al-Ma’un mengingatkan, surat Al-Kautsar menyembuhkan. Al-Kautsar hadir sebagai peta jalan keluar dari karakter munafik yang dilukiskan dalam Al-Ma’un. Allah tidak hanya menunjukkan masalah untuk hamba-Nya, tapi juga memberikan penawar dan jalan keluarnya.
Inilah bukti kasih sayang dalam keindahan Al-Qur’an. Surat Al-Ma’un dan Al-Kautsar adalah dua surat singkat. tapi keduanya adalah kompas spiritual di tengah zaman yang penuh kegersangan. Dari Al-Ma’un kita belajar untuk waspada terhadap kemunafikan. Dari Al-Kautsar, kita belajar untuk bersyukur atas limpahan nikmat, menunaikan kewajiban, keikhlasan, dan pengorbanan.
Kita diingatkan untuk selalu menjaga kewajiban yang Allah perintahkan, beribadah bukan sebagai ajang pencitraan di hadapan manusia, tapi ibadah untuk mencari perhatian Allah dan Ridha-Nya, agar kita tidak terseret ke dalam golongan hamba-hamba yang celaka, sebagaimana yang dimaksud dalam firman Allah “Maka celakalah orang-orang yang shalat.”
Kemudian, kita juga diingatkan untuk tidak menutup mata dari realitas sosial di sekitar. Menjaga hubungan baik dengan Allah (vertikal) masih belum cukup jika kita masih tidak peduli dengan masyakarat dan lingkungan (horizontal). Tekun menunaikan kewajiban Ikhlas karena Allah, tidak pamer, ringan tangan untuk saling berbagi kepada yang lemah, dan hatinya tergerak menolong saat dimintai bantuan, ini semua adalah ekspresi dari sifat mukmin sebenarnya.
Sayyid Munazir, Mahasiswa Pascasarjana Ushuluddin Yarmouk University, Yordania, dan Alumnus Pondok Pesantren MUDI Mesra, Aceh.