Tafsir

Surat Fusshilat Ayat 22-23, Bahaya Buruk Sangka Kepada Allah

Sab, 30 Oktober 2021 | 09:00 WIB

Surat Fusshilat Ayat 22-23, Bahaya Buruk Sangka Kepada Allah

‘Ala kulli hal, mari kita menata hati agar terus berbaik sangka kepada Tuhan, Tuhan sembahan agama manapun. Kami mengajak semua orang tanpa pandang bulu; entah nonmuslim apalagi beragama Islam.

Dahulu, lebih 14 abad lalu, pada zaman nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada tiga orang dari salah sebuah keluarga sedang berbincang hangat soal Tuhan. Mereka mendiskusikan tema yang cukup berat untuk kapasitas keilmuan yang teramat dangkal.


Rupanya, tiga orang yang berawak tinggi besar dengan berat badan yang tak lagi ideal itu tengah membicarakan ihwal kemahamendengaran Allah subhanahu wa ta’ala.


Diskusi tersebut berawal dari salah seorang dari mereka yang menyoal,“Benarkah Allah, Tuhan sembahan Muhammad itu mendengar apa yang kita bicarakan saat ini?” ungkapnya sembari memandang serius bola mata kedua lawan bicaranya.


Satu di antaranya menjawab, “Tergantung, jika bersuara keras jelas akan terdengar. Tapi jika tidak, Allah tidak mungkin mendengarnya,” ungkapnya simpel dengan ekspresi muka tanpa beban.


Si penanya pun tampak cukup bingung. Kendati dirinya bodoh, namun tak sekonyong-konyong menerima apa yang dikatakan temannya tadi. Akhirnya, ia memandang ke arah temannya yang lain. Berharap mendapat jawaban pembanding yang lebih masuk akal.


Karena merasa dituntut untuk harus menjawab, ia pun mengubah posisi duduknya agar tampak lebih serius dan meyakinkan. “Ya tidak begitulah! Kalau memang Allah mendengar sesuatu, tidak mungkin dipilah-pilih begitu; yang teriak bisa didengar, sementara yang bicara lirih, tidak,” jawab pihak ketiga berusaha meyakinkan keduanya. Walaupun, dahi penjawab pertama mulai tampak berkedut serius.


Sahabat Abdullah bin Mas’ud yang kebetulan waktu itu menguping perbincangan mereka dari balik tirai Ka’bah, lekas beranjak menuju kediaman Rasulullah, melapor apa yang didengarnya. Sesaat kemudian, turunlah ayat 22 dan 23 Surat Fusshilat yang berbunyi:


وما كنتم تستترون أن يشهد عليكم سمعكم ولا أبصاركم ولا جلودكم ولكن ظننتم أنّ الله لا يعلم كثيرا مما تعملون * وذلكم ظنكم الذي ظننتم بربكم أرداكم فأصبحتم من الخاسرين


Artinya, “Kamu tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, pengelihatan dan kulitmu terhadapmu, bahkan kamu mengira Allah tidak mengetahui banyak tentang apa yang kamu lakukan. Itulah dugaanmu yang telah kamu sangkakan terhadap Tuhanmu, hal itu telah membinasakanmu, sehingga jadilah kamu termasuk orang yang rugi.”


Kisah asbabun nuzul di atas disadur dari Kitab At-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa as-Syari’ah wa al-Manhaj (juz 24, hal. 210) karya besar syekh Wahbah bin Musthofa az-Zuhaili.


Konon, di akhirat, orang-orang kafir itu heran bukan main saat menyaksikan semua anggota tubuh mereka bersaksi silih berganti di hadapan Allah atas apa yang pernah dilakukan empunya. Seketika itu juga mereka bertanya pada kulit-kulit mereka, “Mengapa kalian begitu tega bersaksi demikian, mempermalukanku di hadapan Tuhan?” ungkap mereka jengkel. Lalu, kulit-kulit itu pun menjawab:


أنطقنا الله الذي أنطق كل شيء


Artinya, “Allah yang telah menciptakan lisan dapat bicara di dunia, sekarang telah menjadikan semua anggota badanmu bisa melapor apa yang telah kauperbuat.”


Jawaban ini membuat mereka tercengang dahsyat, bungkam seribu bahasa dan hanya bisa tertunduk malu.


Bahaya Buruk Sangka kepada Allah

Dalam Surat Fusshilat ayat 22 dan 23 di atas, Allah telah mengabadikan kisah orang-orang yang mendustakan ajaran nabi Muhammad dan masih mempersoalkan ihwal kemahaan Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka masih menduga, kemahamendengaran Allah tidak meliputi segala suara. Sebagaimana juga kemahamelihatan-Nya, kemahatahuan-Nya, dan lain-lain.


Sekali lagi, mereka menyangka, ada sekian banyak yang telah mereka lakukan di tengah persada ini, dan Tuhan tidak tahu-menahu hal itu.


Menafsiri penggalan akhir ayat 22 Surat Fusshilat, syekh Wahbah az-Zuhaili mengatakan:


أي: ولكنكم ظننتم ظانا مخطئا أن الله حال ارتكابكم المعاصي لا يعلم كثيرا مما تعملون من المعاصي فاجترأتم على فعلها


Artinya, “Bahkan, kalian menyangka dengan sangkaan yang fatal sekali, bahwa banyak yang Allah tidak ketahui dari kemaksiatan dan kemungkaran yang kalian lakukan, sehingga itulah yang membuatmu semua sangat berani melakukannya.”


Lalu, apa dampak dari prasangka mereka yang teramat kejam itu? Allah subhanahu wa ta’ala melanjutkan, Ardakum fa ashbahtum minal khasirin, “Prasangkamu itu meluluhlantakkanmu hingga akhirnya kalian menjadi orang-orang merugi”.


Kabarnya, orang-orang kafir yang memiliki prasangka yang tak sewajarnya itu akan mengemis-ngemis di hadapan Allah saat mereka diadili nanti. Mereka menangis ‘air mata darah’ sejadi-jadinya. Memohon kasih sayang, meminta ampun tanpa henti. Namun sayang, Allah tak menghiraukannya. Lantaran telah sekian lama terlalu kejam melecehkan kesempurnaan-Nya. Dan, tentu berbeda siksa bagi yang hanya tidak berucap syahadat dengan mereka yang sekaligus melecehkan kemahaan-Nya.


Terkait penyesalan mereka yang tak kunjung dilirik, Ibnu Abbas meriwayatkan sebuah hadist, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


ولا بعد الموت من مستعتب


Artinya, “Tak ada belas kasih (bagi mereka) setelah maut meregang nyawa.”


Hadist ini termasuk dalil yang digunakan syekh Wahbah az-Zuhaili saat menafsiri ayat setelahnya, surah Fusshilat ayat 24 yang berbunyi, Fa iy yashbiru fan naru matswal lakum, wa iy yasta’tibu fa ma lahum minal mu’tabin(a), “Meskipun mereka bersabar (atas azab neraka) tetaplah neraka tempat tinggal mereka. Jika mereka meminta belas kasihan, maka mereka termasuk orang yang tak pantas dikasihani.” (At-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa as-Syari’ah wa al-Manhaj [juz 24, halaman 211])


‘Ala kulli hal, mari kita menata hati agar terus berbaik sangka kepada Tuhan, Tuhan sembahan agama manapun. Kami mengajak semua orang tanpa pandang bulu; entah nonmuslim apalagi beragama Islam. Alasan sederhananya, kalau memang itu terkait Tuhan yang disembah oleh penganut agama lain, maka setidaknya kita tidak sedang melecehkan Tuhan mereka dengan berprasangka ‘kejam’ kepadanya. Allah suhanahu wa ta’ala berfirman dalam Surah Al-An’am 108:


ولا تسبوا الذين يدعون من دون الله فيسبوا الله عدوا بغيرعلم كذلك زينا لكل أمة عملهم ثم إلى ربهم مرجعهم فينبئهم بما كانوا يعملون


Artinya, “Janganlah kalian memaki sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian, kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang mereka kerjakan.” Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawab.


Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur.