Al-Qur’an sejak awal telah mengisyaratkan bahwa bumi bukan sekadar permukaan kosong. Ia bukan tanah hampa yang bisa diinjak seenaknya, tetapi ruang hidup yang kaya; kaya akan isi, manfaat, dan potensi. Dalam Surat Al-Hijr ayat 19, Allah berfirman:
وَالْأَرْضَ مَدَدْنَاهَا وَأَلْقَيْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْبَتْنَا فِيهَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَوْزُونٍ
wal-ardla madadnâhâ wa alqainâ fîhâ rawâsiya wa ambatnâ fîhâ ming kulli syai'im mauzûn
Artinya; “Kami telah menghamparkan bumi, memancangkan padanya gunung-gunung, dan menumbuhkan di sana segala sesuatu menurut ukuran.”
Sejatinya, ayat ini menegaskan bahwa segala sesuatu di bumi tumbuh “menurut ukuran”. Tidak sembarangan. Tidak liar. Tidak tanpa aturan. Ada keseimbangan yang melekat dalam ciptaan. Ini bukan hanya soal tumbuhan, tapi juga tentang sumber daya yang terkandung dalam bumi, mineral, logam, minyak, dan lainnya.
Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menyebut bahwa bumi disiapkan dengan cermat agar manusia dapat hidup di atasnya. Ia menyebutkan bahwa gunung-gunung adalah penyeimbang, dan semua tumbuhan serta sumber daya diciptakan dalam kadar yang seimbang (Prof. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, [Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2002], Jilid VII, hlm. 109-110).
Selanjutnya, Surat Al-Baqarah ayat 29 menegaskan kembali bahwa bumi ini memang disediakan untuk manusia:
هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا ثُمَّ اسْتَوٰٓى اِلَى السَّمَاۤءِ فَسَوّٰىهُنَّ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ ۗ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Artinya, "Dialah (Allah) yang menciptakan segala yang ada di bumi untukmu, kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu."
Ulama besar Nusantara, Syekh Nawawi al-Bantani, menjelaskan dalam Tafsir Marah Labib bahwa segala yang ada di bumi diciptakan “li mashlahatikum fid-dīn wa ad-dunya,” untuk kemaslahatan kalian (manusia) dalam hal agama dan dunia.
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ أي لأجل انتفاعكم في الدين والدنيا بالاستدلال على موجدكم، وإصلاح الأبدان ما فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً
Artinya, “Dialah yang menciptakan untuk kalian, yakni untuk kemaslahatan kalian dalam urusan agama dan dunia, sebagai sarana untuk mengenal Pencipta kalian dan untuk memperbaiki tubuh kalian, apa yang ada di bumi seluruhnya,” (Syekh Nawawi Al-Bantani, Tafsir Marah Labib, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1417 H], Jilid I, hlm. 48).
Dalam tafsir ini, Syekh Nawawi juga menyebut bumi sebagai sarana untuk al-istidlāl ‘ala muwjidikum, media untuk mengenal Tuhan melalui ciptaan-Nya. Artinya, bumi bukan sekadar tanah untuk diinjak atau digali, tapi juga “tanda” untuk dibaca.
Lebih jauh, dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 13, dijelaskan Allah telah menciptakan bumi beserta seluruh isinya. Termasuk di dalamnya sumber daya tambang yang dianugerahkan untuk dimanfaatkan oleh manusia. Simak firman Allah ini:
وَمَا ذَرَاَ لَكُمْ فِى الْاَرْضِ مُخْتَلِفًا اَلْوَانُهٗ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّقَوْمٍ يَّذَّكَّرُوْنَ
wa mâ dzara'a lakum fil-ardli mukhtalifan alwânuh, inna fî dzâlika la'âyatal liqaumiy yadzdzakkarûn
Artinya; “(Dia juga mengendalikan) apa yang Dia ciptakan untukmu di bumi ini dengan berbagai jenis dan macam warnanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran.”
Imam al-Qurthubi dalam Tafsir al-Jami’ li Ahkamil Qur’an menafsirkan “alwānuhū” sebagai bentuk-bentuk dan rupa, meliputi binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa. Tambang, logam, batu bara, semua itu bagian dari kekayaan bentuk bumi.
الثَّالِثَةُ- قَوْلُهُ تَعَالَى: (مُخْتَلِفاً أَلْوانُهُ) “ مُخْتَلِفاً” نُصِبَ على الحال. و” أَلْوانُهُ” هَيْئَاتُهُ وَمَنَاظِرُهُ، يَعْنِي الدَّوَابَّ وَالشَّجَرَ وَغَيْرَهَا. (إِنَّ فِي ذلِكَ) أَيْ فِي اخْتِلَافِ أَلْوَانِهَا. (لَآيَةً) أَيْ لَعِبْرَةً. (لِقَوْمٍ يَذَّكَّرُونَ) أَيْ يَتَّعِظُونَ وَيَعْلَمُونَ أَنَّ فِي تَسْخِيرِ هَذِهِ الْمُكَوَّنَاتِ لَعَلَامَاتٌ عَلَى وَحْدَانِيَّةِ اللَّهِ تَعَالَى، وَأَنَّهُ لَا يَقْدِرُ عَلَى ذلك أحد غيره.
Firman-Nya Ta‘ala: (مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهُ). Kata “mukhtalifan” (berbeda-beda) berfungsi sebagai keterangan keadaan (hal), sedangkan “alwānuhu” berarti bentuk-bentuk dan rupa-rupanya, seperti binatang, pepohonan, dan sebagainya. (إِنَّ فِي ذَٰلِكَ), yaitu pada perbedaan warna-warna dan bentuk-bentuknya, (لَآيَةً) — sungguh terdapat tanda kekuasaan Allah, (لِقَوْمٍ يَذَّكَّرُونَ) — bagi kaum yang mau mengambil pelajaran dan peringatan, serta menyadari bahwa segala yang diciptakan dan ditundukkan ini adalah bukti keesaan Allah Ta‘ala, dan bahwa tidak ada seorang pun yang mampu melakukannya selain Dia. (Imam Qurthubi, Tafsir Al-Jami’ Li Ahkami Al-Qur’an, Jilid X, hlm. 85).
Dengan demikian, 3 ayat di atas, tampak terang bahwa Allah tidak melarang orang menggali bumi. Bahkan, kalau mau jujur, ajaran Islam justru membolehkan manusia memanfaatkan isi bumi. Al-Qur’an memang tidak secara langsung menyebut kata “tambang”. Tapi banyak ayat yang bicara soal bumi dan segala isinya, dan semuanya diciptakan untuk manusia. Maka, selama tidak merusak atau menzalimi, menggali logam, batu bara, atau apa pun yang terkandung di perut bumi itu boleh-boleh saja.
Emas, besi, dan batu bara itu bukan kutukan mutlak. Pada satu sisi, justru itu rezeki dari langit—meski bentuknya ada di dalam tanah. Bisa dipakai untuk membangun ekonomi, memperkuat teknologi, dan meningkatkan kesejahteraan. Di Surah An-Nahl ayat 13, secara gamblang, Allah sebutkan bahwa di bumi ini ada ciptaan-ciptaan dengan warna dan bentuk yang berbeda-beda. Itu semua tanda-tanda bagi orang yang mau berpikir.
Termasuk di dalam perut bumi itu; logam, batu, dan segala macam benda tak bernyawa. Artinya: boleh dimanfaatkan. Tapi bukan sembarangan. Islam memang tidak alergi pada kemajuan. Tapi kemajuan yang menjaga bumi. Bukan merusaknya. Maka tambang, kalau dijalankan dengan benar, bisa jadi ibadah juga.
Indonesia barangkali adalah salah satu negeri yang paling tekun menggali dirinya sendiri. Hingga November 2024, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat 4.634 izin tambang mineral dan batubara yang masih aktif. Sebagian besar berupa izin usaha pertambangan (IUP) sebanyak 4.302 buah, disusul kontrak karya, PKP2B, SIPB, IPR, dan IUPK. Dari 1.798 IUP khusus mineral logam dan batubara, hampir semuanya sudah masuk tahap produksi.
Secara keseluruhan, luas wilayah pertambangan di Indonesia mencapai 9,1 juta hektare. IUP mendominasi dengan 6,5 juta hektare, disusul PKP2B 1,17 juta hektare dan kontrak karya 1,16 juta hektare. Sisanya terbagi dalam izin-izin lain dengan skala lebih kecil. Angka-angka ini menunjukkan bagaimana eksploitasi sumber daya alam berjalan masif di berbagai penjuru negeri.
Lebih jauh lagi, data WALHI tahun 2021 mencatat bahwa total konsesi tambang di Indonesia mencapai 97,7 juta hektare, setara dengan setengah dari luas daratan negara ini. Sektor mineral dan batubara menguasai 11,19 juta hektare, sementara sektor migas mencaplok 86,57 juta hektare. Artinya, secara harfiah, separuh tubuh Indonesia sedang digali dan ditambang.
Larangan Merusak Bumi dan Sebab Turunnya Bencana
Namun, Imam Qurthubi juga mengingatkan, kendati diperbolehkan, semua ini adalah tanda-tanda, bukan sekadar sumber daya. Maka logam dan minyak bukan sekadar komoditas, tapi bagian dari wahyu kosmis, ayat kauniyah, yang harus dimaknai dengan kesadaran spiritual.
Dalam semua ayat tadi muncul pola: batas, takaran, dan kemaslahatan. Tambang boleh digali, asal tidak melampaui “mauzūn” yang sudah ditentukan. Bukan semata aturan teknis, tapi etis. Bahkan jika tidak dijaga, anugerah ini bisa berbalik menjadi musibah. Bumi yang seharusnya menopang bisa runtuh. Sungai bisa kering. Udara bisa menjadi racun. Pun, lingkungan bisa tercemar, dan memakan korban lanjutan.
Ketika manusia menggali bumi tanpa batas, membakar hutan tanpa perhitungan, ia sedang mengkhianati amanah. Maka peringatan Allah dalam ayat lain, surat Al-A'raf ayat 56 agar tak merusak bumi, dengan segala bentuk perusakannya;
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ ٥٦
Artinya; “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”
Menurut Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, ketika Allah melarang manusia merusak bumi, itu tidak hanya soal berbuat dosa seperti maksiat. Yang dimaksud kerusakan juga termasuk mencemari lingkungan, menebang hutan sembarangan, atau perang yang menghancurkan kehidupan. Semua itu merusak keseimbangan alam yang sudah Allah atur dengan baik.
Allah menciptakan bumi ini dengan sangat teratur. Gunung menjadi penyangga bumi, hutan membersihkan udara, dan air mengalir untuk kehidupan. Semua saling berhubungan dan saling membantu. Kalau manusia merusaknya karena serakah, artinya dia melawan aturan Allah. Kerusakan itu bukan hanya merugikan alam sekarang, tapi juga anak cucu kita nanti.
Dalam Islam, manusia diberi tugas sebagai penjaga bumi. Kita punya tanggung jawab untuk merawat alam, bukan merusaknya. Ini bukan pilihan, tapi perintah dari Allah. Orang yang berbuat baik, atau disebut muḥsin, bukan hanya baik pada sesama manusia, tapi juga pada lingkungan. Dan Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik
Menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam Tafsir Mafatihul Ghaib, ayat ini adalah perintah penting untuk menjaga lingkungan, kehidupan sosial, dan nilai-nilai agama. Merusak bumi bukan hanya soal merusak alam. Ar-Razi menjelaskan bahwa kerusakan bisa terjadi dalam banyak bentuk.
Misalnya, merusak jiwa dengan membunuh, merusak harta orang lain dengan mencuri atau menipu, merusak agama dengan melakukan kekafiran atau ajaran sesat, merusak keturunan dengan perbuatan zina atau hubungan sesama jenis, dan merusak akal dengan minuman keras. Semua ini adalah bentuk-bentuk kerusakan yang dilarang oleh Allah.
Menjaga bumi berarti menjaga alam tetap seimbang, tidak menebang hutan sembarangan, tidak mencemari udara dan air, serta menggunakan sumber daya alam dengan bijak. Jika manusia serakah dan terus merusak alam, akibatnya bisa sangat berbahaya. Pencemaran lingkungan bisa menimbulkan banyak penyakit. Perubahan iklim bisa menyebabkan cuaca ekstrem, banjir, kekeringan, dan badai. Semua ini tidak hanya merugikan alam, tapi juga kehidupan manusia.
Imam Fakhruddin Ar-Razi menjelaskan:
مَعْنَاهُ وَلَا تُفْسِدُوا شَيْئًا فِي الْأَرْضِ، فَيَدْخُلُ فِيهِ الْمَنْعُ مِنْ إِفْسَادِ النُّفُوسِ بِالْقَتْلِ وَبِقَطْعِ الْأَعْضَاءِ، وَإِفْسَادِ الْأَمْوَالِ بِالْغَصْبِ وَالسَّرِقَةِ وَوُجُوهِ الْحِيَلِ، وَإِفْسَادِ الْأَدْيَانِ بِالْكَفْرِ وَالْبِدْعَةِ، وَإِفْسَادِ الْأَنْسَابِ بِسَبَبِ الْإِقْدَامِ عَلَى الزِّنَا وَالْلِّوَاطَةِ وَسَبَبِ الْقَذْفِ، وَإِفْسَادِ الْعُقُولِ بسبب شرب المكسرات، وَذَلِكَ لِأَنَّ الْمَصَالِحَ الْمُعْتَبَرَةَ فِي الدُّنْيَا هِيَ هَذِهِ الْخَمْسَةُ: النُّفُوسُ وَالْأَمْوَالُ وَالْأَنْسَابُ وَالْأَدْيَانُ وَالْعُقُولُ
Artinya, “Makna ayat adalah janganlah merusak apapun di muka bumi. Ini mencakup larangan merusak jiwa dengan membunuh dan mencabik-cabik tubuh, merusak harta dengan melakukan ghasab, pencurian, dan berbagai bentuk penipuan. Merusak agama dengan kufur dan bid'ah, merusak keturunan dengan melakukan zina, homo seksual [anal], dan sebab-sebab qadhaf. Termasuk merusak akal pikiran dengan mengkonsumsi berbagai minuman keras. Hal ini dikarenakan lima maslahat yang diperhatikan dalam dunia ini adalah jiwa, harta, keturunan, agama, dan akal pikiran.” (Fakhruddin Ar Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut; Dar Ihya al Arabi, 1420 H], halaman 283).
Sementara itu, Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa ayat ini awalnya merujuk pada seseorang yang membakar ladang dan membunuh hewan tanpa alasan. Orang seperti ini dilaknat karena perbuatannya yang merusak kehidupan. Namun, para ulama lain menjelaskan bahwa laknat tersebut berlaku umum. Siapa pun yang berbuat seperti itu, merusak tanaman, membunuh hewan sembarangan, atau merusak lingkungan, maka ia juga pantas mendapatkan celaan dan hukuman dari Allah.
Mujahid, salah satu ulama tafsir generasi awal, yang dikutip Imam Qurthubi, menambahkan bahwa ketika manusia berbuat zalim dan merusak bumi, maka salah satu balasannya adalah Allah menahan turunnya hujan. Ini adalah bentuk teguran langsung dari alam yang diperintahkan oleh Tuhan. Jika manusia tidak lagi menghargai kehidupan, maka kehidupan pun tak lagi berpihak kepadanya.
Kerusakan terhadap alam bukan hanya soal dosa pribadi, tapi menyangkut nasib semua makhluk hidup. Ketika hutan dibakar, bukan hanya pohon yang mati, tapi juga hewan kehilangan tempat tinggal, udara menjadi kotor, dan manusia menderita akibat kabut asap dan kekeringan. Maka jelas, merusak bumi adalah perbuatan yang tidak hanya mendatangkan murka Tuhan, tetapi juga bencana nyata di dunia.
Sementara itu, berdasarkan hasil Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33 yang diselenggarakan di Jombang, Jawa Timur, menegaskan bahwa eksploitasi sumber daya alam (SDA) secara berlebihan yang menyebabkan kerusakan ekosistem adalah haram secara syar'i.
Keputusan ini lahir dari keprihatinan atas maraknya praktik pertambangan dan eksploitasi alam yang tidak memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Dalam pandangan para kiai dan ahli fikih NU, bumi adalah amanah yang tidak boleh dirusak secara semena-mena. Oleh karena itu, eksploitasi SDA secara berlebihan—baik berupa penebangan hutan, pertambangan yang merusak, pencemaran sungai, atau kegiatan lainnya yang menyebabkan kerusakan permanen terhadap lingkungan—secara tegas dinyatakan haram.
Fatwa tersebut menyatakan: “Eksploitasi kekayaan alam yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan hukumnya adalah haram,” (LTN PBNU, Hasil-hasil Muktamar Ke-33 NU, hlm. 140).
Menariknya, keputusan ini tidak hanya menyasar pelaku usaha atau korporasi tambang, tetapi juga aparat pemerintahan. Bila pemerintah atau pejabat yang berwenang memberikan izin eksploitasi terhadap lingkungan secara sembarangan dan menyebabkan kerusakan yang tak dapat dipulihkan, maka tindakan tersebut juga dinyatakan haram.
Dengan demikian, NU mendorong agar proses pengambilan kebijakan lingkungan dilakukan dengan sangat hati-hati dan berorientasi pada kemaslahatan jangka panjang.
“Pemberian ijin eksploitasi oleh aparat pemerintah yang berdampak pada kerusakan alam yang tidak bisa diperbaiki lagi maka hukumnya haram jika disengaja,” (Hasil-hasil Muktamar NU, hlm. 140)
Tak berhenti pada tataran fatwa, Muktamar NU ke-33 juga mengajak seluruh umat Islam, khususnya warga Nahdliyyin, untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap segala bentuk eksploitasi yang merusak lingkungan. Ini berarti masyarakat harus aktif bersuara, berdakwah, hingga melakukan advokasi dan gerakan sosial demi menjaga keberlangsungan alam.
Keputusan ini menunjukkan bagaimana NU secara progresif mengembangkan teologi lingkungan, yakni pendekatan keagamaan yang menjadikan pelestarian alam sebagai bagian dari ibadah dan tanggung jawab moral-spiritual. Dalam Islam, manusia bukan pemilik mutlak bumi, melainkan khalifah (wakil) Allah yang diberi tugas menjaga dan merawat ciptaan-Nya
Dengan demikian, sejatinya tafsir-tematik ini menegaskan bahwa dalam perspektif Al-Qur’an, tambang bukanlah objek eksploitasi bebas tanpa etika. Ia adalah bagian dari amanah kekhalifahan manusia, yang harus dijaga dengan prinsip keberlanjutan, keseimbangan, dan keadilan. Eksploitasi berlebih yang menyebabkan kerusakan ekologis adalah pengkhianatan terhadap amanah itu. Wallahu a'lam.
Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal di Parung.