Alhafiz Kurniawan
Penulis
Pemuka agama, terutama mubaligh dan penceramah, sudah cukup sukses mempopulerkan kesalehan personal-individual yang ditandai dengan intensitas perilaku seseorang pada ibadah mahdhah atau ibadah murni yang kaitannya dengan Allah, misalnya dengan ibadah sunah yang sangat beragam.
Pemuka agama juga cukup sukses memopulerkan kesalehan sosial yang ditandai dengan kebaikan seseorang dalam bidang muamalah atau segala interaksi sosial dalam bentuk akad atau transaksi ekonomi, kepedulian sosial, toleransi, dan sikap ramah terhadap sesama.
Tetapi pemuka agama mulai hari ini perlu memopulerkan kesalehan lingkungan atau kesalehan ekologis, yaitu sebuah nilai yang menandai kesalehan individu dari sikap ramah terhadap lingkungan. Padahal kita mengetahui bahwa kita telah merasakan sendiri dampak kerusakan lingkungan dengan berbagai indikatornya, yaitu pemanasan global; pencemaran pada tanah, udara, dan air; banjir; gempa; rob, krisis air bersih; punahnya ragam hayati; dan juga kerusakan pada dasar laut.
Kesalehan lingkungan dapat diwujudkan oleh seorang muslim dengan melakukan penghijauhan, membuang sampah pada tempatnya, mengurangi emisi karbon dengan menggunakan transportasi publik, meminimalisasi penggunaan plastik dengan membawa tumbler pada sebuah acara atau goodybag saat berbelanja, menggunakan listrik secara hemat dengan mematikan alat elektronik yang tidak terpakai, dan berhemat menggunakan air.
Kecuali itu, kesalehan lingkungan dapat diwujudkan dengan menghindari pembukaan lahan dengan cara pembakaran hutan, penangkapan ikan dengan alat berat, pengusiran hama dengan pestisida atau zat berbahaya lainnya, alih fungsi lahan dari lahan hijau menjadi lahan perumahan atau lahan industri, ekstraksi besar-besaran sumber daya alam, dan tindakan mafsadah atau tindakan lain yang merusak alam.
Islam sendiri menitipkan amanah penciptaan manusia sebagai khalifah yang menjaga kelestarian alam dan keberlanjutan bumi. Surat Al-Baqarah ayat 30 mengisahkan rencana Allah terkait penciptaan manusia kepada malaikat.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ
Artinya, “Ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat, ‘Aku berencana menciptakan khalifah di muka bumi. malaikat menjawab, ‘Apakah Kau akan menciptakan makhluk yang merusak dan bertikai menumpahkan darah di dalamnya?’” (Surat Al-Baqarah ayat 30).
Dari ayat ini kita mendapatkan isyarat bahwa manusia diciptakan untuk merawat bumi, tidak merusak, dan menumpahkan darah. Ulama dulu bersepakat bahwa tindakan merusak adalah berbuat maksiat yang hari ini tidak hanya diartikan sebagai maksiat personal-individual, maksiat sosial, tetapi juga maksiat ekologis atau dosa lingkungan karena berdampak pada mafsadah atau kerusakan alam.
Kita perlu menginternalisasi nilai-nilai kesalehan lingkungan sehingga tertanam di dalam diri kita sebuah dosa menurut syariat ketika kita melakukan mafsadat atau tindakan kerusakan terhadap alam atau lingkungan. Sebaliknya, kita akan mendapatkan pahala atau kebaikan menurut syariat bila melakukan tindakan ramah lingkungan. Allah berfirman:
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا
Artinya, “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik,” (Al-A‘raf ayat 56).
Sementara kita mengetahui kaidah ushuliyah yang mengatakan, “An-Nahyu yadullu ‘ala fasadil manhiyyi ‘anhu,” atau “Larangan agama menunjukkan mafsadat atau kerusakan menurut syariat pada tindakan tersebut,” dalam konteks ini berbuat kerusakan di muka bumi.
Oleh ulama tafsir zaman dahulu (Abad Pertengahan), mafsadah pada ayat ini dipahami sebagai perbuatan dosa atau maksiat yang bersifat personal-individual. Hal ini dapat dimaklumi karena masalah lingkungan belum menjadi masalah manusia pada zaman tersebut. Sedangkan krisis lingkungan menjadi ancaman umat manusia abad ini yang terus mengalami eskalasi pasca-revolusi industri dan perkembangan teknologi.
Hari ini arti mafsadah pada Surat Al-Araf ayat 56 dapat diperluas sebagai perbuatan dosa atau maksiat ekologis atau dosa lingkungan. Dengan demikian ada kesadaran ekologis pada diri umat Islam sehingga mereka juga menjadikan nilai-nilai kesalehan lingkungan yang syar’i sebagai tolok ukur atas perbuatan sehari-hari mereka.
Kita pun menyadari bahwa kesalehan ekologis atau kesalehan lingkungan demikian juga dosa lingkungan atau maksiat ekologis memerlukan sosialisasi, dakwah, dan ceramah dalam jangka waktu agak panjang untuk menginternalisasikan nilai-nilai kesalehan ekologis di masyarakat. Pasalnya, kajian Islam dan lingkungan terbilang kajian yang jauh lebih muda dibandingkan dengan kajian Islam lainnya, seperti relasi Islam dan perempuan atau Islam dan sains itu sendiri.
Penulis kira, krisis lingkungan atau perubahan iklim merupakan bahaya dan ancaman di depan mata umat manusia hari ini. Inilah saatnya bagi kita umat beragama untuk berkontribusi melestarikan lingkungan, menjaga keasrian bumi, dan merawat alam semesta baik laut, hutan, gunung, daratan, dan juga udara yang menjadi ruang hidup kita bersama. Ini saatnya kita memulai gerakan penyadaran pada bentuk kesalehan baru. Kalau bukan sekarang kapan lagi. Wallahu a’lam.
Ustadz Alhafiz Kurniawan, Dosen MPK Agama Islam UI, Wakil Sekretaris LBM PBNU.
Terpopuler
1
GP Ansor DIY Angkat Penjual Es Teh Sunhaji Jadi Anggota Kehormatan Banser
2
GP Ansor Jatim Ingin Berangkatkan Umrah Bapak Penjual Es Teh yang Viral dalam Pengajian Gus Miftah
3
Gus Miftah Sambangi Kediaman Bapak Penjual Es Teh untuk Minta Maaf
4
LD PBNU Ingatkan Etika dan Guyon dalam Berdakwah, Tak Perlu Terjebak Reaksi Spontan
5
PBNU Tunjuk Ali Masykur Musa Jadi Ketua Pelaksana Kongres JATMAN 2024
6
Respons Pergunu soal Wacana Guru ASN Bisa Mengajar di Sekolah Swasta
Terkini
Lihat Semua