Tafsir Kepemimpinan Nabi Sulaiman: Mendengar dan Menghargai Suara Rakyat Kecil
Rabu, 27 Agustus 2025 | 10:00 WIB
Melihat sepak terjang para pemimpin dunia, kita akan menemukan satu sosok Nabi yang telah menorehkan namanya dengan tinta emas di panggung sejarah, yaitu Nabi Sulaiman alaihissalam. Kekuasaan yang dipegangnya adalah terbesar dan tak ada tandingan setelahnya. Beliau sendiri yang meminta itu kepada Allah.
Sebagai Nabi dengan kerajaan terbesar terkadang memunculkan pertanyaan problematik, apa sejatinya pesan di balik kekuasaan yang superior tersebut? Lalu, apakah kekuasaan sebesar itu tidak berdampak pada timbulnya arogansi dan kesombongan? Berkaca pada pemimpin di dunia modern, banyak pemimpin dunia yang malah terjebak dalam keangkuhan bias dari kekuasaannya yang begitu absolut.
Sebelum menjawabnya, penting diketahui bahwa sebagai seorang utusan Allah, Nabi Sulaiman sudah pasti terbebas dari segala sifat buruk yang kerap hinggap dalam diri para pemimpin. Istilah ma’shum yang diartikan terjaga dari perbuatan maksiat, adalah julukan yang wajib disematkan kepada setiap nabi dan rasul. Sehingga Nabi Sulaiman lepas dari prasangka dan asumsi miring jika kesombongan dan keangkuhan terpatri dalam diri beliau setelah memperoleh kekuasaan sebesar itu.
Doa Nabi Sulaiman: Meminta Kekuasaan Absolut
Al-Qur’an menampilkan bagaimana Nabi Sulaiman pernah melangitkan doa kepada Allah subhanahu wa taa’ala. Hal itu terekam jelas dalam Surah Shad ayat 35:
قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَهَبْ لِيْ مُلْكًا لَّا يَنْۢبَغِيْ لِاَحَدٍ مِّنْۢ بَعْدِيْۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ
Artinya: “Dia (Sulaiman) berkata; Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak patut (dimiliki) oleh seorang pun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.”
Permintaan Nabi Sulaiman yang memohon kerajaan yang tak tertandingi ini seringkali salah diartikan sebagai ambisi duniawi belaka. Dalam Tafsir Mafatih Al-Ghaib, Ar-Razi mencoba meluruskan pandangan miring tersebut. Menurutnya, diksi “kerajaan yang tidak patut dimiliki oleh seorang pun sesudahku” yang dimaksud berfungsi sebagai mukjizat yang menunjukkan keabsahan risalah kenabiannya. Karakteristik dari mukjizat itu sendiri ialah mengadakan tandingan yang tak mampu seorang pun buat mengalahkannya.
لا شَكَّ أنَّهُ مُعْجِزَةٌ دالَّةٌ عَلى نُبُوَّتِهِ، فَكانَ قَوْلُهُ: (هَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لِأحَدٍ مِن بَعْدِي) هو هَذا المَعْنى لِأنَّ شَرْطَ المُعْجِزَةِ أنْ لا يَقْدِرَ غَيْرُهُ عَلى مُعارَضَتِها،: ﴿لا يَنْبَغِي لِأحَدٍ مِن بَعْدِي﴾ يَعْنِي لا يَقْدِرُ أحَدٌ عَلى مُعارَضَتِهِ.
Artinya: “Tidak diragukan bahwa kerajaan itu merupakan mukjizat yang menunjukkan kenabiannya. Firman Allah: “Anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak patut (dimiliki) oleh seorang pun sesudahku” inilah maknanya (sebagai mukjizat) karena syarat mukjizat itu siapapun tidak mampu buat melawannya.” (Ar-Razi, Tafsir Mafatih Al-Ghaib, Juz 26, Cet. 3, 1420 H, halaman 394)
Sebagai utusan Allah yang berpangkat raja, Nabi Sulaiman harus membuktikan kebenaran risalahnya menjadi utusan Allah. Caranya dengan memohon kepada Allah diberikan keajaiban yang membuat semua orang tunduk dan takluk di hadapannya guna membuktikan bahwa beliau memang benar seorang nabi Allah. Bentuk mukjizat itu adalah dengan hadirnya kerajaan superior yang hanya diperuntukkan bagi Nabi Sulaiman.
Di sisi lain, Imam Ibnu Asyur menjelaskan bahwa pernyataan ini juga mengindikasikan Nabi Sulaiman tak memiliki rasa iri atau dengki. Ia justru iba bila ada orang berkuasa seperti dirinya tanpa bimbingan kenabian. Alih-alih ia akan memikul beban berat yang memungkinkan orang lain iri dan dengki kepadanya. Sehingga, terjadilah pertikaian dan sengketa jika suatu saat kerajaannya sebanding dengan miliknya Nabi Sulaiman. Itulah yang tidak diinginkan oleh Nabi Sulaiman. (Ibnu ‘Asyur, At-Tahrir wa At-Tanwir, Juz 23, halaman 263)
Ibnu Asyur juga menyoroti penggalan terakhir dari ayat tersebut, tatkala Sulaiman mengakhiri doanya dengan ungkapan, “Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi”. Baginya, kalimat ini menyatakan bahwa Allah adalah satu-satunya yang Maha Absolut Maha Pemberi. Karena Allah bisa memberikan apapun yang tidak seorang pun mampu memberikannya. Dari sini, Sulaiman sadar jika kekuasaan itu adalah anugerah yang perlu dipertanggungjawabkan. Bukan merasa mendapat hak istimewa, tapi kewajiban yang menuntut tanggung jawab. (Ibnu ‘Asyur, halaman 263)
Menyadari Semuanya Pemberian
Setelah memahami tujuan dari doa tersebut, kita dapat melihat bagaimana kesadaran ini juga tercermin dalam sikap Nabi Sulaiman terhadap segala anugerah yang ia terima. Ini tercermin dalam surat An-Naml ayat 16.
وَوَرِثَ سُلَيْمٰنُ دَاوٗدَ وَقَالَ يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَّيْرِ وَاُوْتِيْنَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍۗ اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِيْنُ
Artinya: “Sulaiman telah mewarisi Daud dan dia (Sulaiman) berkata, “Wahai manusia, kami telah diajari (untuk memahami) bahasa burung dan kami dianugerahi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar karunia yang nyata.”
Ayat ini secara terang menggunakan sighat fi’il mabni majhul (kata kerja pasif), “diajari” dan “diberikan”. Keduanya menjadi bukti pengakuan dari Nabi Sulaiman bahwa kekuasaan yang ada dalam genggamannya adalah sebuah pemberian, bukan pencapaian. Sulaiman menganggapnya sebagai suatu anugerah dari Allah kepadanya. Anggapan tersebut menjadikannya tahu apa sejatinya pesan di balik sebuah kekuasaan, yakni sebagai misi bukanlah ambisi. Ia sadar apa yang mesti diperbuat lewat kekuasannya itu.
Peka Terhadap Rakyat Kecil
Ayat yang disoroti berikutnya adalah kisah aduan ratu semut terkait para kawanannya yang hampir saja diinjak bala tentaranya Nabi Sulaiman. Sebagaimana terekam di ayat ke 18 surah An-Naml.
حَتّٰىٓ اِذَآ اَتَوْا عَلٰى وَادِ النَّمْلِۙ قَالَتْ نَمْلَةٌ يّٰٓاَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوْا مَسٰكِنَكُمْۚ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمٰنُ وَجُنُوْدُهٗۙ وَهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ
Artinya: “hingga ketika sampai di lembah semut, ratu semut berkata, “Wahai para semut, masuklah ke dalam sarangmu agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadarinya.”
Dalam kisah yang disambung ayat selanjutnya, Nabi Sulaiman yang mendengar suara tersebut meresponsnya dengan tersenyum dan tertawa. Seraya melantunkan doa yang tertera dalam ayat ke 19.
“Dia (Sulaiman) tersenyum seraya tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dia berdoa, “Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku (ilham dan kemampuan) untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan untuk tetap mengerjakan kebajikan yang Engkau ridai. (Aku memohon pula) masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.”
Respons yang diperlihatkan oleh Nabi Sulaiman menjadi sebuah cerminan menakjubkan yang layak dicontoh bagi para pemimpin. Beliau bukannya tersinggung ketika dikritik oleh golongan kecil seperti semut, tapi malah menanggapinya dengan bersyukur lalu berdoa.
Potret ini dapat kita analogikan dengan pemimpin saat ini bahwa interaksi seorang pemimpin harus tetap menyentuh lapisan rakyat kecil. Mengingat suara-suara kaum yang terpinggirkan seringkali tidak didengar bahkan ditindas, karena dinilai tidak pantas dan bukanlah prioritas. Cara seperti ini ditampik oleh Nabi Sulaiman. Ketika mereka melayangkan sebuah kritikan, beliau menunjukkan apresiasinya yang tinggi kepada kaum semut, bukan menilainya sebagai hinaan yang akan meruntuhkan pamor dan wibawanya.
Inilah letak sebuah nilai keadilan, kata Ibnu Asyur. Mereka yang bertindak sebagai pemimpin, harus berusaha menegakkan keadilannya kepada seluruh aspek, tanpa perlu melihat sosok orangnya. Nabi Sulaiman telah menjadi figur pemimpin yang adil dan mampu menempatkan sesuatu pada posisi yang layak dan bagaimana semua yang dipimpinnya memperoleh hak-hak sebagaimana mestinya.
وهَذا تَنْوِيهٌ بِرَأْفَتِهِ وعَدْلِهِ الشّامِلِ بِكُلِّ مَخْلُوقٍ لا فَسادَ مِنهُ أجْراهُ اللَّهُ عَلى نَمْلَةٍ لِيَعْلَمَ شَرَفَ العَدْلِ ولا يَحْتَقِرَ مَواضِعَهُ وأنَّ ولِيَّ الأمْرِ إذا عَدَلَ سَرى عَدْلُهُ في سائِرِ الأشْياءِ
Artinya: “ini adalah pengingat akan belas kasih dan keadilan Sulaiman yang menyeluruh terhadap setiap makhluk, tanpa kerusakan sedikit pun. Allah memberlakukannya kepada semut agar ia dapat mengetahui kemuliaan keadilan dan tidak meremehkan tempatnya, dan agar ketika penguasa berlaku adil, keadilannya akan menyebar ke segala sesuatu.” (Ibnu ‘Asyur, At-Tahrir wa At-Tanwir, Juz 19, halaman 243)
Kepemimpinan sebagai Ujian
Selanjutnya, kisah perpindahan singgasana Ratu Bilqis menjadi kejadian luar biasa yang dilakukan bala tentara Nabi Sulaiman. Peristiwa ini tidak lantas membuat Sulaiman berbangga diri. Melainkan sebagai sarana introspeksi diri, apakah ia termasuk hamba yang bersyukur ataukah mengklaim semua itu atas usaha pribadinya semata.
فَلَمَّا رَاٰهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهٗ قَالَ هٰذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّيْۗ لِيَبْلُوَنِيْٓ ءَاَشْكُرُ اَمْ اَكْفُرُۗ
Artinya: “Ketika dia (Sulaiman) melihat (singgasana) itu ada di hadapannya, dia pun berkata, “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau berbuat kufur.” (An-Naml: 40)
Nabi Sulaiman meyakinkan dirinya bahwa peristiwa berpindahnya singgasana dengan sekejap mata merupakan bentuk ujian dari Allah kepadanya. Apakah mau ia bersyukur atau malah menjadi kufur atas nikmat Allah. Rasa syukur sangat penting karena sejatinya akan berimbas pada siapa yang bersyukur dan juga mendapatkan nikmat yang telah hilang. Pun demikiannya ketika ia kufur, itu akan menimpa dirinya sendiri. (At-Thabari, Jam’ul Bayan, Juz 19, halaman 468)
Kesimpulan
Praktik nyata dari Nabi Sulaiman yang menjadi pemimpin superpower sangat penting buat direfleksikan sekarang, khususnya bagi para pemimpin dan penguasa. Lewat Nabi Sulaiman, kita menyadari hakikat dari kepemimpinan adalah pemberian dan anugerah Allah semata bukan hasil pencapaian pribadi.
Tatkala mampu memahaminya sebagai sebuah anugerah, maka selanjutnya akan membentuk kesadaran akan adanya misi yang harus ditunaikan dari kekuasaan yang diamanatkan. Sebuah misi bagaimana keadilan itu harus diikhtiarkan tercapai dan diterima oleh semua kalangan. Tanpa membedakan ras, suku, dan golongan tertentu.
Di samping itu, hal yang tak kalah penting adalah kekuasaan yang dimiliki juga sebagai bentuk cobaan. Cobaan yang akan menguji sejauh mana dapat bersyukur atas karunia yang diberikan ataukah malah mengingkari karunia tersebut.
Melalui Nabi Sulaiman, kita diajarkan perspektif baru bahwa tolak ukur kesuksesan bukan dilihat dari sejauh mana pencapaian lahiriah. Tapi bagaimana memaksimalkan kesempatan dan keistimewaan yang diberikan dengan tetap bersyukur lalu terus berkontribusi.
Maka, setiap amanah kepemimpinan yang kita emban, sekecil apa pun, hendaknya dijalani dengan kesadaran bahwa itu adalah ujian dari Allah—bukan untuk meninggikan diri, melainkan untuk meninggikan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Muhammad Izharuddin, Mahasantri STKQ Al-Hikam.