Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 180-182: Ini Perintah Allah agar Umat Islam Jadi Orang Kaya

Jum, 24 Februari 2023 | 05:00 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 180-182: Ini Perintah Allah agar Umat Islam Jadi Orang Kaya

Ilustrasi: Kitab tafsir Marahu Labid karya Syekh Nawawi Banten (Muntaha).

Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat Al-Baqarah ayat 180-182: 
 

كُتِبَ عَلَيْكُمْ اِذَا حَضَرَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ اِنْ تَرَكَ خَيْرًاۖ  ࣙالْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَۗ (180) فَمَنْۢ بَدَّلَهٗ بَعْدَمَا سَمِعَهٗ فَاِنَّمَآ اِثْمُهٗ عَلَى الَّذِيْنَ يُبَدِّلُوْنَهٗۗ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌۗ (181) فَمَنْ خَافَ مِنْ مُّوْصٍ جَنَفًا اَوْ اِثْمًا فَاَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌࣖ (182)

 

(180) kutiba ‘alaikum idzā ḫadlara aḫadakumul-mautu in taraka khairanil-washiyyatu lil-wālidaini wal-aqrabīna bil-ma‘rūf, ḫaqqan ‘alal-muttaqīn (181) fa mam baddalahū ba‘da mā sami‘ahū fa innamā itsmuhū ‘alalladzīna yubaddilūnah, innallāha samī‘un ‘alīm (182) fa man khāfa mim mūshin janafan au itsman fa ashlaḫa bainahum fa lā itsma ‘alaīh, innallāha ghafūrur raḫīm.
 

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Artinya: “(180) Diwajibkan kepadamu apabila seseorang di antara kamu didatangi (tanda-tanda) maut sedang dia meninggalkan kebaikan (harta yang banyak), berwasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang patut (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. (181) Siapa yang mengubahnya (wasiat itu), setelah mendengarnya, sesungguhnya dosanya hanya bagi orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (182) Akan tetapi, siapa yang khawatir terhadap pewasiat (akan berlaku) tidak adil atau berbuat dosa, lalu dia mendamaikan mereka, dia tidak berdosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
 

 

Ragam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 180-182

Ayat ini mengandung perintah berwasiat untuk kedua orang tua dan kerabat. Prof Quraisy Syihab dalam tafsirnya mendefinisikan wasiat, yaitu: “Pesan-pesan yang disampaikan untuk dilaksanakan setelah kematian yang memberi wasiat”. (Quraisy Syihab, Tafsir al-Misbah, Al-Baqarah ayat 180). 
 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

Wasiat dapat dilakukan ketika harta yang dimiliki oleh pewasiat banyak. Karenanya, Abu Hayyan mengartikan lafal “khairan” yang memiliki makna asal “baik” dengan harta. Sebagaimana dijelaskan juga oleh Mujahid.
 

Penjelasan Abu Hayyan tersebut juga memberi pemahaman bahwa Allah memerintahkan umat Islam untuk kaya harta dengan tujuan memanfaatkannya untuk kebaikan.(Abu Hayyan, Al-Bahrul Muhith, [Beirut, Darul Fikr], juz II, halaman 157).
 

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Syekh Nawawi Al-Bantani dalam tafsirnya meriwayatkan dari Al-Asham, ia menjelaskan bahwa perintah wasiat ini turun dikarenakan masyarakat saat itu banyak yang memberikan wasiatnya terhadap orang-orang yang jauh dari mereka atau bukan kerabat untuk mencari kemuliaan; dan meninggalkan kerabat mereka dalam kemiskinan dan kefakiran. Karenanya Allah mewajibkan wasiat di awal periode Islam untuk mereka. (Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsirul Munir li Ma’alimt Tanzil, [Beirut, Darul Fikr], juz II, halaman 41). 

 

Perintah berwasiat ini bersifat wajib sebelum turunnya ayat tentang waris yang kemudian menaskh (hukum) perintah dari ayat ini.
 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya:
 

اشتملت هذه الأية الكريمة على الأمر بالوصية للوالدين والأقربين. وقد كان واجبا- على أصح القولين- قبل نزول أية المواريث, فلما نزلت أية الفرائض نسخت هذه وصارت المواريث المقدرة فريضة من الله يأخذها أهلوها حتما من غير وصية ولا تحمل منة الموصى
 

Artinya: “Ayat yang mulia ini mengandung perintah berwasiat untuk kedua orang tua dan kerabat. Perintah tersebut berlaku wajib—menurut yang paling sahih dari dua pendapat—sebelum turunnya ayat waris. Setelah turunnya ayat waris, ayat ini dinaskh (hukumnya) dan warisan yang dipastikan (bagiannya) diwajibkan oleh Allah untuk diambil oleh keluarga (mayit) dengan pasti, tanpa wasiat ataupun menunggu pemberian dari pewasiat. (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anil Azhim, [Riyadh, Dar Thayyibah lin Nasyri wa Tauzi’: 1999 M/ 1420 H] juz I, halaman 492).
 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

Terhapusnya hukum dari ayat ini juga dikuatkan dengan hadits yang menjelaskan bahwa ahli waris tidak mendapatkan wasiat. 
 

 عن عمرو بن خارجة قال: سمعت رسول الله (ص) يخطب وهو يقول: إن الله قد أعطى كل ذي حق حقه فلا وصية لوارث

 

Artinya: “Diriwayatkan dari Amr bin Kharijah berkata: Rasulullah berkhutbah ia bersabda: “Sesungguhnya Allah memberikan kepada setiap yang memiliki hak apa yang berhak untuknya, dan tidak ada wasiat bagi pewaris.” (HR At-Tirmidzi).
 

Dalam hal ini, ulama yang berpendapat. Pertama, kewajiban berwasiat dinaskh hanya pada kerabat yang mendapatkan bagian warisan, namun masih berlaku bagi kerabat yang tidak mendapatkan bagian waris dari orang tua dan kerabat.
 

Seperti contoh orang kafir yang tidak berhak mendapatkan warisan. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Abbas. Sayyidina ​​​​​​Ali mengatakan: “Orang yang tidak berwasiat sebelum kematiannya kepada kerabatnya yang tidak mendapatkan bagian warisan, maka amalnya telah dipungkasi dengan kemaksiatan.”
 

Kedua, kewajiban wasiat tersebut dinaskh secara menyeluruh. Meski demikian, dihukumi sunnah berwasiat untuk kerabat yang tidak mendapatkan warisan. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. (Mahmud al-Alusi, Ruhul Ma’ani, [Beirut, Ihyaut Turats Al-'Arabi], juz II, halaman 54). 
 

Keterangan tersebut juga dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya. (Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’an, juz I, halaman 493).
 

Dalam menafsirkan ayat 181, Syekh Nawawi menjelaskan bahwa maksud dari mengubah wasiat ialah dengan mengingkarinya, menguranginya, mengganti sifatnya atau dengan pengubahan lainnya. Orang-orang yang melakukan pengubahan terhadap wasiat mendapatkan dosa sesuai dengan apa yang mereka ubah. Sebab Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengatahui. 
 

Pada ayat setelahnya, Syekh Nawawi menjelaskan bahwa orang-orang yang khawatir terhadap pewasiat melakukan kesalahan dalam wasiatnya atau dosa, kemudian ia melakukan sesuatu yang bernilai kebaikan (mendamaikan) antara orang yang menerima wasiat dan pewasiat dengan adil, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang. (Nawawi Al-Jawi, Marah Labid, juz I, hal 41).
  


Ustadz Alwi Jamalulel Ubab, Alumni Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Mahasantri Ma'had Aly Saidussidiqiyah Jakarta.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND