Tafsir

Tafsir Surat An-Nisa' ayat 110: Pintu Tobat Selalu Terbuka bagi Pendosa

Rabu, 30 April 2025 | 15:00 WIB

Tafsir Surat An-Nisa' ayat 110: Pintu Tobat Selalu Terbuka bagi Pendosa

Ilustrasi doa. Sumber: Canva/NU Online.

Di balik sosok jenaka yang sering kali digambarkan sebagai penghibur raja dan pengocok perut rakyat, Abu Nawas menyimpan kedalaman spiritual yang jarang terungkap di permukaan. Namanya memang lekat dengan humor cerdas. Namun, siapa sangka bahwa di balik semua kelucuannya, tersimpan jiwa seorang hamba yang begitu sadar akan kelemahan dirinya di hadapan Sang Pencipta. 


Salah satu bukti paling menyentuh dari sisi ini terekam dalam syair berjudul Al-I’tiraf, sebuah pengakuan dosa yang tulus dan penuh kerendahan hati. Syair itu dimulai dengan pengakuan yang mencengangkan:


“Wahai Tuhanku, hamba tiadalah pantas menjadi penghuni surga-Mu (Firdaus).  Namun, hamba juga tiada kuat menahan panas siksa api neraka.”
“Maka, perkenankanlah hamba untuk bertobat dan ampunilah dosa-dosa hamba. Karena sesungguhnya Engkaulah Sang Maha Pengampun atas dosa-dosa besar.”


Syair ini bukan sekadar retorika puitis. Ia adalah jeritan jiwa manusia yang sadar bahwa dirinya penuh dengan dosa, namun tak sanggup juga menerima konsekuensi dari dosa itu. Abu Nawas menggambarkan kondisi manusia yang gamang: tidak merasa layak atas kenikmatan surga, tetapi juga tak tahan menghadapi panasnya neraka. Dalam kegamangan itulah, muncullah pengharapan yang paling murni dari seorang hamba: harapan akan ampunan Tuhan.


Dari syair ini pula, kita belajar bahwa pintu tobat senantiasa terbuka. Sebesar apapun dosa yang pernah dilakukan, kasih sayang Allah selalu lebih luas. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 110:


وَمَنْ يَّعْمَلْ سُوْۤءًا اَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهٗ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللّٰهَ يَجِدِ اللّٰهَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ۝١١٠


wa may ya’mal sû’an au yadhlim nafsahû tsumma yastaghfirillâha yajidillâha ghafûrar raḫîmâ


Artinya; "Siapa yang berbuat kejahatan atau menganiaya dirinya, kemudian memohon ampunan kepada Allah, niscaya akan mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."


Imam Sya’rawi, dalam Tafsir Al-Khawatir as-Sya’rawi, menjelaskan dalam ayat 110 surat An-Nisa tersebut, Allah menyebutkan bahwa siapa pun yang melakukan dosa atau menzalimi dirinya sendiri, lalu memohon ampunan, maka Allah akan mengampuni dosanya. Pasalnya, Allah Tuhan yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang. 


Meski demikian, Imam Sya’rawi mengingatkan kita agar tidak memahami ayat ini secara dangkal. Sebab, banyak orang salah sangka bahwa setiap dosa itu sama dengan menzalimi diri sendiri. Padahal, Al-Qur’an secara halus tapi jelas membedakan antara dua hal: dosa yang merugikan orang lain dan dosa yang merugikan diri sendiri.


Kata Imam Sya’rawi, ada dua jenis dosa. Pertama, dosa yang menyakiti atau merugikan orang lain, seperti mencuri, membunuh, atau berbohong. Dosa seperti ini bukan cuma urusan pribadi, tapi juga melanggar hak orang lain dan berdampak pada keadilan sosial.


Kedua, ada dosa yang tidak secara langsung merugikan orang lain, tapi justru membahayakan diri sendiri. Contohnya seperti minum minuman keras (khamar) sendirian. Walaupun tidak merugikan orang lain secara langsung, perbuatan ini tetap dianggap menzalimi diri sendiri karena bisa membawa keburukan di dunia dan di akhirat.


Jadi, Imam Sya’rawi menjelaskan bahwa yang dimaksud “berbuat kejahatan” biasanya berarti menyakiti orang lain, sedangkan “menzalimi diri sendiri” adalah melakukan dosa yang dampaknya kembali ke diri sendiri.


Meski demikian, maksiat atau perbuatan dosa sebenarnya adalah bentuk kezaliman, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Ada orang yang berbuat dosa karena mengikuti hawa nafsu atau ingin bersenang-senang sesaat tanpa memikirkan akibatnya.

 

Bahkan, ada juga yang berdosa hanya karena ingin menyenangkan orang lain. Contohnya, seseorang yang memberikan kesaksian palsu agar pihak yang salah bisa menang. Dalam hal ini, orang tersebut tidak mendapat apa-apa, justru mengorbankan imannya.


Menurut Imam Sya’rawi, ini adalah contoh yang paling menyedihkan dari orang yang “menjual” agamanya demi urusan dunia. Ia rela mengorbankan iman dan prinsipnya hanya supaya disukai, dihormati, atau terlihat baik di mata orang lain. Padahal, ia tidak mendapatkan balasan yang sepadan. Rasulullah pun pernah mengingatkan bahwa akan datang masa di mana orang bisa beriman di pagi hari, lalu menjadi kafir di sore hari, karena menjual agamanya demi urusan duniawi.


Karena itu, Imam Sya’rawi mengingatkan umat Islam agar selalu menjaga iman dan hati-hati terhadap berbagai godaan yang bisa menjerumuskan ke dalam dosa. Baik itu dosa terhadap diri sendiri maupun orang lain, semuanya membutuhkan kesadaran dan keinginan kuat untuk bertobat dan kembali kepada Allah. Dengan memahami jenis dan dampak dari setiap dosa, kita bisa lebih berhati-hati dan tidak mudah terjebak dalam kesalahan yang bisa merusak iman kita.


وهل فعل الفاحشة مخالف لظلم النفس؟ . إنه إساءة لغيره أيضا، لكن ظلم النفس هو الفعل الذي يسئ إلى النفس وحدها. أو أن الإنسان يصنع سيئة ويمتع نفسه بها لحظة من اللحظات ولا يستحضر عقوبتها الشديدة في الآخرة. وقد تجد إنساناً يرتكب المعصية ليحقق لغيره متعة، مثال ذلك شاهد الزور الذي يعطي حق إنسان لإنسان آخر ولم يأخذ شيئاً لنفسه، بل باع دينه بدنيا غيره، 


Artinya, "Lalu apakah perbuatan keji berbeda dengan menzalimi diri sendiri? Sebenarnya perbuatan keji juga merupakan bentuk kezaliman terhadap orang lain. Sedangkan menzalimi diri sendiri adalah perbuatan yang hanya merugikan dirinya sendiri. Atau bisa jadi seseorang melakukan maksiat dan menikmatinya sesaat, namun ia tidak menyadari akibat beratnya di akhirat. Bahkan, terkadang seseorang melakukan dosa demi menyenangkan orang lain. Misalnya, seorang saksi palsu yang memberikan hak seseorang kepada orang lain tanpa mengambil keuntungan apa pun untuk dirinya sendiri. Ia telah menjual agamanya demi dunia orang lain." (Imam Sya’rawi, Tafsir al-Khawatir, [Mesir: Al-Akhbar el Yom Press, 1997 M], Jilid V, hlm. 2615).


Sementara itu, menurut Ibnu Asyur bahwa yang dimaksud dengan amal as-suu’ (perbuatan buruk) adalah tindakan jahat terhadap sesama manusia, khususnya yang melanggar hak-hak mereka. Sedangkan berbuat zhalim terhadap diri sendiri adalah bentuk maksiat pribadi, yaitu pelanggaran terhadap perintah dan larangan Allah yang berdampak langsung pada diri pelakunya. Dengan kata lain, ayat ini membedakan antara dosa yang berkaitan dengan sesama dan dosa yang berkaitan dengan hubungan pribadi seorang hamba dengan Tuhannya.


Selanjutnya, Ibnu Asyur juga menjelaskan bahwa istighfar dalam ayat ini mengandung makna tobat, yaitu penyesalan dan permohonan ampun kepada Allah atas dosa-dosa yang telah diperbuat, sebelum seseorang benar-benar kembali kepada-Nya. Frasa “dia akan mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” menunjukkan kepastian bahwa Allah akan benar-benar memberikan ampunan dan rahmat-Nya. Kata “mendapati” (yajid) dipakai sebagai kiasan untuk memperkuat keyakinan bahwa siapa pun yang bertobat dengan sungguh-sungguh akan memperoleh pengampunan secara nyata dari Allah.


Lebih lanjut, frasa “Ghafuran Rahima” menggambarkan keluasan ampunan dan kasih sayang Allah. Ini adalah gaya bahasa kiasan untuk menunjukkan bahwa rahmat Allah mencakup segala dosa dan tidak terbatas oleh waktu atau keadaan. Artinya, siapa pun yang memohon ampun dan kembali kepada Allah tidak akan ditolak. Penggunaan kata-kata ini bersama dengan “yajid” mempertegas bahwa Allah menerima setiap orang yang bertobat, bukan karena mereka layak, tapi karena kemurahan dan kasih sayang-Nya yang tidak terbatas.


أَنَّ عَمَلَ السُّوءِ أُرِيدَ بِهِ عَمَلُ السُّوءِ مَعَ النَّاسِ، وَهُوَ الِاعْتِدَاءُ عَلَى حُقُوقِهِمْ، وَأَنَّ ظُلْمَ النَّفْسِ هُوَ الْمَعَاصِي الرَّاجِعَةِ إِلَى مُخَالَفَةِ الْمَرْءِ فِي أَحْوَالِهِ الْخَاصَّةِ مَا أُمِرَ بِهِ أَوْ نُهِيَ عَنْهُ. وَالْمُرَادُ بِالِاسْتِغْفَارِ التَّوْبَةُ وَطَلَبُ الْعَفْوِ مِنَ اللَّهِ عَمَّا مَضَى مِنَ الذُّنُوبِ قَبْلَ التَّوْبَةِ، وَمَعْنَى يَجِدِ اللَّهَ غَفُوراً رَحِيماً يَتَحَقَّقُ ذَلِكَ، 


Artinya; “Sesungguhnya yang dimaksud dengan ‘amal yang buruk’ adalah perbuatan buruk terhadap sesama manusia, yaitu melanggar hak-hak mereka. Adapun yang dimaksud dengan ‘zalim terhadap diri sendiri’ adalah kemaksiatan yang berkaitan dengan pelanggaran seseorang terhadap perintah atau larangan Allah dalam urusan pribadinya. Yang dimaksud dengan ‘memohon ampun’ adalah bertobat dan memohon pengampunan dari Allah atas dosa-dosa yang telah dilakukan sebelum tobat. Dan makna ‘akan mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’ adalah bahwa hal tersebut benar-benar akan terwujud (bagi yang bertobat).” (Syekh Ibnu Asyur, At Tahrir wa Tanwir, [Tunisia: Darul Tunisiah, 1984 M], Jilid V, hlm. 196)


Munasabah Surat An-Nisa’ Ayat 110

Lebih lanjut, ayat ini mengandung korelasi dengan ayat lain, antara lain dengan Surat Ali Imran ayat 135. Pada ayat ini, Allah juga menyebutkan orang-orang yang saat melakukan dosa besar atau menzalimi diri sendiri, mereka segera ingat kepada Allah dan memohon ampun, maka Allah mengampuni dosanya. Allah berfirman dalam Ali Imran ayat 135;


وَالَّذِيْنَ اِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً اَوْ ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللّٰهَ فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْۗ وَمَنْ يَّغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلَّا اللّٰهُۗ وَلَمْ يُصِرُّوْا عَلٰى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ ۝١٣٥


Artinya; "Demikian (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka (segera) mengingat Allah lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya. Siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Mereka pun tidak meneruskan apa yang mereka kerjakan (perbuatan dosa itu) sedangkan mereka mengetahui(-nya)."


Kandungan surat an-Nisa ayat 110 ini juga ada korelasi dengan surat Az-Zumar ayat 53, bahwa dalam Islam selama napas masih berhembus, pintu tobat masih terbuka lebar. Seyoginya orang yang berdosa tidak berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah, simak firman berikut:


۞ قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًاۗ اِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ ۝٥٣ 


qul yâ ‘ibâdiyalladzîna asrafû ‘alâ anfusihim lâ taqnathû mir raḫmatillâh, innallâha yaghfirudz-dzunûba jamî‘â, innahû huwal-ghafûrur-raḫîm

 

Artinya, "Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."


Menanggapi ayat ini,  Syekh Jamaluddin Al-Qasimi dalam kitab Mahasinut Ta'wil menjelaskan bahwa ayat 53 ini merupakan seruan penuh kasih dari Allah kepada orang-orang yang sudah terlalu jauh melakukan dosa dan kekafiran. Meskipun mereka telah berbuat salah, Allah tetap memanggil mereka dengan lembut, “Wahai hamba-hamba-Ku,” sebagai tanda kasih sayang dan penerimaan-Nya.


Lewat ayat ini, kata Syekh Al-Qasimi, bahwa siapa pun tidak boleh putus asa dari rahmat Allah. Tidak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni, asalkan orang tersebut benar-benar ingin bertobat dan kembali kepada Allah dengan iman yang tulus. Bahkan orang yang sebelumnya tidak beriman pun akan diampuni jika masuk Islam dan beriman kepada Allah.


قُلْ يا عِبادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلى أَنْفُسِهِمْ أي جنوا عليها بالإسراف في المعاصي والكفر لا تَقْنَطُوا قرئ بفتح النون وكسرها مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ أي لا تيأسوا من مغفرته بفعل سبب يمحو أثر الإسراف إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً أي لمن تاب وآمن. فإن الإسلام يجبّ ما قبله إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ 


Artinya, “Katakanlah: ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri’”—yakni mereka yang telah berbuat zalim terhadap diri mereka dengan berlebihan dalam maksiat dan kekufuran—“janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah.” Ada dua qira’ah: dibaca la taqnathu (dengan fathah) dan la taqnitu (dengan kasrah), maksudnya: janganlah kalian berputus asa dari ampunan-Nya karena Dia bisa menghapuskan dosa akibat perbuatan yang melampaui batas. “Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya,” yakni bagi siapa yang bertobat dan beriman. Sebab, Islam menghapus semua dosa sebelumnya. “Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Jamaluddin Al-Qasimi, Mahasinut Ta’wil, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1418 H], Jilid VIII, halaman 8).

 

Sampai Kapan Tobat Diterima?

Namun, perlu digarisbawahi bahwa tobat hanya diterima sebelum ajal tiba. Dalam Surat An-Nisa’ ayat 18 juga disebutkan bahwa tobat seseorang tidak diterima jika dilakukan ketika maut telah datang.  Syekh Nawawi Banten dalam kitab tafsir Marah Labib mengingatkan kita bahwa pintu tobat tidak selalu terbuka selamanya. Ada batas waktu yang sangat penting: tobat hanya diterima selama seseorang masih hidup dan ajal belum datang.


وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السَّيِّاٰتِۚ حَتّٰىٓ اِذَا حَضَرَ اَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ اِنِّيْ تُبْتُ الْـٰٔنَ وَلَا الَّذِيْنَ يَمُوْتُوْنَ وَهُمْ كُفَّارٌۗ اُولٰۤىِٕكَ اَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًا ۝١٨


Artinya; "Tidaklah tobat itu (diterima Allah) bagi orang-orang yang melakukan keburukan sehingga apabila datang ajal kepada seorang di antara mereka, (barulah) dia mengatakan, “Saya benar-benar bertobat sekarang.” Tidak (pula) bagi orang-orang yang meninggal dunia, sementara mereka di dalam kekufuran. Telah Kami sediakan azab yang sangat pedih bagi mereka."


Dalam tafsirnya atas Surah An-Nisa’ ayat 18, Syekh Nawawi mengatakan Allah tidak menerima tobat dari orang yang terus menerus melakukan dosa lalu baru bertobat saat kematian sudah di depan mata. Ketika nyawa sudah sampai di tenggorokan, artinya saat-saat terakhir hidup, maka waktu tobat pun telah habis. Ini berlaku baik bagi orang beriman yang suka menunda tobat, maupun bagi orang kafir yang baru ingin beriman ketika melihat kematian mendekat.


Contoh paling jelas adalah kisah Firaun. Ia baru mengakui keimanannya kepada Allah saat sudah ditenggelamkan di laut. Tapi iman itu tidak diterima, karena ia mengucapkannya saat ajal sudah datang. Ini menunjukkan bahwa tobat yang dilakukan karena ketakutan melihat kematian, bukan karena kesadaran dan penyesalan yang tulus, tidak akan diterima oleh Allah.


وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئاتِ حَتَّى إِذا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ أي وليس التوبة للذين يعملون الذنوب إلى حضور موتهم أي علامات قربه وقولهم حينئذ: إِنِّي تُبْتُ الْآنَ. ولذلك لم ينفع إيمان فرعون حين أدركه الغرق.


Artinya; “Maksudnya; tobat tidak berlaku bagi orang-orang yang terus-menerus berbuat dosa hingga datang tanda-tanda kematian kepada mereka, lalu mereka berkata di saat itu: “Sesungguhnya sekarang aku bertobat.” Karena itulah, iman Firaun tidak bermanfaat ketika ia ditenggelamkan,” (Syekh Nawawi Banten, Tafsir Marah Labib, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1417 H], Jilid I, hlm. 188).


Dengan demikian, Surat An-Nisa’ ayat 110, seruan kasih sayang dari Sang Pencipta kepada setiap jiwa yang ingin memperbaiki dirinya. Betapa pun besar dosa yang dilakukan, selama masih ada kehidupan, pintu tobat tidak pernah tertutup. Maka jangan menunggu esok untuk bertobat, karena setiap detik adalah kesempatan untuk kembali kepada Allah.


Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat kajian Keislaman Tinggal di Parung, Bogor