Tafsir

Tafsir Surat At-Taubah Ayat 34-35: Memahami Larangan Menimbun Harta

Ahad, 14 Maret 2021 | 23:00 WIB

Tafsir Surat At-Taubah Ayat 34-35: Memahami Larangan Menimbun Harta

Dalam pelbagai kitab, baik fiqih maupun tafsir, yang kontemporer maupun klasik, rata-rata memandang ayat di atas--larangan menimbun harta--sebagai salah satu dalil kewajiban zakat. Itu artinya, ada kaitan erat antara menimbun harta dengan berzakat.

Menimbun harta sebanyak mungkin dan berbangga-bangga dengannya merupakan aktivitas tidak terpuji. Bahkan, berpotensi mencetak pelakunya menjadi pribadi anti sosial. Sebab, sifat-sifat tercela yang kerap kali tumbuh dari kebiasaan menimbun dan berbangga-bangga dengan harta benda.

 

Al-Qur’an dan hadist sangat tegas melarang hal ini, sekaligus dengan tegas pula memerintahkan untuk senantiasa berbagi agar menjadi pribadi yang dermawan dan saleh sosial. Karenanya, tak heran bila syariat begitu gencar menyuarakan kewajiban zakat dan 'membombardir' Muslim antisosial yang enggan menunaikannya.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

 

Menimbun harta yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah kanzul amwāl, secara etimologi berarti mengumpulkan atau menimbun harta (al-jam’u). Tentu, makna ini terlalu global untuk memahami larangan menimbun harta dalam Al-Qur'an Surat At-Taubah ayat 34-35. Mengingat, aktivitas umat manusia pada umumnya yang tak bisa lepas dari itu. Terutama ketika dewasa ini yang menabung di mana-mana, di bank konvensional, bank syariah, bahkan di Baitul Maal wa Tamwil (BMT). Lalu pertanyaannya, menyimpan harta seperti apakah yang dilarang dalam Al-Qur’an?

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Sebelum mengkajinya, baik kiranya terlebih dahulu kita menyimak bunyi ayat yang melarang hal ini. Allah SWT berfirman dalam penggalan Surah At-Taubah ayat 34-35:

ADVERTISEMENT BY OPTAD

 

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (34) يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُون (35)

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Artinya, "Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih.” (34) “(Ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahanam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (35)


Dalam pelbagai kitab, baik fiqih maupun tafsir, yang kontemporer maupun klasik, rata-rata memandang ayat di atas--larangan menimbun harta--sebagai salah satu dalil kewajiban zakat. Itu artinya, ada kaitan erat antara menimbun harta dengan berzakat.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Di antara metodologi memahami nash, baik Al-Qur’an maupun hadist, kita mengenal istilah rabthun nushush ba’dhiha bilba’dhi (mengaitkan satu nash dengan nash yang lain). Jadi, untuk memahami larangan menimbun harta di atas, kita membutuhkan nash lain sebagai penjelasnya. Dalam kitab al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain (juz 1, hal. 547) imam Abu Abdillah al-Hakim (405 H) menulis hadist riwayat Ummu Salamah, bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah SAW perihal berbagai macam perhiasan emas yang dikenakannya. Berikut redaksinya:

فَسَأَلَتْ عَنْ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: أَكَنْزٌ هُوَ؟ فَقَالَ: إِذَا أَدَّيْتِ زَكَاتَهُ فَلَيْسَ بِكَنْز
 

Artinya, “Lalu (Ummu Salamah) bertanya kepada Nabi SAW, ‘Apakah ini termasuk menyimpan harta?’ Rasulullah menjawab, ‘Bila engkau tunaikan zakatnya, maka bukanlah termasuk menimbun harta’.” (HR. Al-Hakim)

 

Juga hadist riwayat Abdullah bin Umar yang diriwayatkan secara marfu’ (terangkat) sampai pada baginda nabi, dan mauquf (terhenti) pada Ibnu Umar, dalam kitab Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari (juz 3, hal. 313), karya Ibnu Hajar al-‘Atsqallani (773-852 H), dan dalam kitab at-Tafsir al-Kabir atau karib dikenal Mafatih al-Ghaib (juz 16, hal. 38), karya imam Fakhruddin ar-Rozi (544-604 H), disebutkan:

 

كُلُّ مَا أَدَّيْتَ زَكَاتَهُ وَإِنْ كَانَ تَحْتَ سَبْعِ أَرَضِينَ فَلَيْسَ بِكَنْزٍ وَكُلُّ مَا لَا تُؤَدَّى زَكَاتُهُ فَهُوَ كَنْزٌ وَإِنْ كَانَ ظَاهِرًا عَلَى وَجْهِ الْأَرْض

 

Artinya, “Setiap harta yang ditunaikan zakatnya, walaupun (disimpan) di bumi lapis ketujuh, bukanlah disebut menimbun harta. Dan yang tak ditunaikan zakatnya, jelas disebut menimbun. Walaupun tampak di permukaan.” (HR. Al-Baihaqi)

 

Hal ini, sejalan juga dengan kalam sayidina Jabir yang ditulis Imam Fakhruddi ar-Razi dalam kitab dan pembahasan yang sama, yang berbunyi:

إذا أخرجت الصدقة من مالك فقد أذهبت عنه شره وليس بكنز

 

Artinya, “Apabila engkau telah menunaikan zakat hartamu, berarti engkau berhasil menghilangkan keburukan harta itu dan bukan lagi disebut menyimpan harta.”


Jadi, aktivitas menimbun harta yang diharamkan Al-Qur’an surah At-Taubah ayat 34-35 di atas, adalah ketika harta benda yang disimpan telah memenuhi syarat dan tidak ditunaikan zakatnya. Oleh karena itu, bila seseorang menabung uang dan belum mencapai satu nisab, atau telah mencapai satu nisab, namun taat berzakat, maka bukanlah termasuk pelaku penimbunan harta yang diharamkan. Wallahu a’lam.

 

Ahmad Dirga, santri di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo, Jawa Timur.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND