Tafsir

Tafsir Surat An-Nisa Ayat 11

Sab, 13 Februari 2021 | 04:00 WIB

Tafsir Surat An-Nisa Ayat 11

Imam Abul Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi (wafat 468 H/1076 M) menyebutkan dua riwayat sababun nuzul ayat. Pertama, ayat turun berkaitan dengan harta warisan Jabin bin Abdillah RA. 

Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas Surat An-Nisa ayat 11:

يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۚ فَاِنْ كُنَّ نِسَاۤءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَۚ وَاِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُۗ وَلِاَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ اِنْ كَانَ لَهٗ وَلَدٌۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهٗ وَلَدٌ وَّوَرِثَهٗٓ اَبَوٰهُ فَلِاُمِّهِ الثُّلُثُۚ فَاِنْ كَانَ لَهٗٓ اِخْوَةٌ فَلِاُمِّهِ السُّدُسُ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْ بِهَآ اَوْ دَيْنٍۗ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْۚ لَا تَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًاۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا


Yūshīkumullāhu fī awlādikum lid dzakari mitslu hazhzhil untsayayn. Fa in kunna nisā’an fawqatsnatayni fa lahunna tsulutsā mā taraka. Wain kānat wāhidatan fa lahan nishfu, wa li abawaihi li kulli wāhidim minhumas sudusu mimmā taraka in kana lahū walad. Fa in lam yakul lahū waladun wa waritsahū abawāhu fa li ummihit tsuluts. Fa in kāna lahu ikhwatun fa li ummihis sudusu mim ba’di washiyyatin yūshī bihā aw dayn. Ābā’ukum wa abnā’ukum lā tadrūna ayyuhum aqrabu lakum naf’an, farīdhatam minallāh, innallāha kāna ‘alīman hakīman..


Artinya, “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana..” (Surat An-Nisa ayat 11)


Sababun Nuzul

Imam Abul Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi (wafat 468 H/1076 M) menyebutkan dua riwayat sababun nuzul ayat. Pertama, ayat turun berkaitan dengan harta warisan Jabin bin Abdillah RA. 


عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: عَادَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ فِي بَنِي سَلَمَةَ مَاشِيَيْنِ، فَوَجَدَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا أَعْقِلُ، فَدَعَا بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ مِنْهُ ثُمَّ رَشَّ عَلَيَّ فَأَفَقْتُ، فَقُلْتُ: مَا تَأْمُرُنِي أَنْ أَصْنَعَ فِي مَالِي يَا رَسُولَ اللهِ؟ فَنَزَلَتْ يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلَادِكُمْ. (متفق عليه)


Artinya, “Diriwayatkan dari Jabir RA, ia berkata: ‘Nabi SAW dan Abu Bakar RA menjengukku di kampung bani Salamah dengan berjalan kaki, lalu Nabi SAW menemuiku dalam kondisi tidak sadarkan diri. Lalu ia meminta diambilkan air, berwudhu, memercikkan air kepadaku, kemudian aku sembuh. Akupun kemudian berkata kepadanya: ‘Apa yang Anda perintahkan untuk Aku lalukan pada harta warisanku wahai Rasulullah?’ Kemudian  turunlah ayat: ‘Yuushiikumullahu fii auladikum [Surat An-Nisa ayat 11]’.” (Muttafaq ‘Alaih))


Kedua, ayat turun berkaitan dengan harta warisan Tsabit bin Qaid RA atau Sa’d bin Ar-Rabi’ RA. 


عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: جَاءَتِ امْرَأَةٌ بِابْنَتَيْنِ لَهَا فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ هَاتَانِ بِنْتَا ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ، أَوْ قَالَتْ سَعْدِ بْنِ الرَّبِيعِ قُتِلَ مَعَكَ يَوْمَ أُحُدٍ وَقَدِ اسْتَفَاءَ عَمُّهُمَا مَالَهُمَا وَمِيرَاثُهُمَا فَلَمْ يَدْعُ لَهُمَا مَالًا إِلَّا أَخَذَهُ، فَمَا تَرَى يَا رَسُولَ اللهِ؟ فَوَاللهِ مَا يُنْكَحَانِ أَبَدًا إِلَّا وَلَهُمَا مَالٌ. فَقَالَ: يَقْضِي اللهُ فِي ذَلِكَ، فَنَزَلَتْ سُورَةَ النِّسَاءِ وَفِيهَا: يُوصيكُمُ اللهُ في أَوْلَادِكُم لِلذَّكَرِ مِثلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ) إلى آخر الآية. فَقَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اُدْعُ لِي الْمَرْأَةَ وَصَاحِبَهَا، فَقَالَ لِعَمِّهِمَا: أَ    عْطِهِمَا الثُّلُثَيْنِ وَأَعْطِ أُمُّهُمَا الثُّمُنَ وَمَا بَقِيَ فَلَكَ. (رواه الواحدي والدارقطني)


Artinya, “Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah RA, Ia berkata: ‘Telah datang seorang perempuan dengan dua anaknya, lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, ini dua anak Tsabit bin Qais, atau ia berkata: ‘ini dua anak Sa’d bin Ar-Rabi’, yang mati bersamamu saat perang Uhud, sementara pamannya telah merampas harta dan warisan mereka, lalu tidak meninggalkan harta sedikitpun bagi mereka kecuali diambilnya; maka bagaimana menurutmu wahai Rasulullah?’ Maka demi Allah mereka tidak akan dinikahi selamanya kecuali mereka punya harta. Lalu Rasulullah SAW bersabda: ‘Allah akan memutuskan urusan itu.’ Lalu turunlah surat An-Nisa’ yang di dalamnya terdapat ayat ‘Yuushiikumullaaaha fii aulaadikum lidzdzakari mitslu hazhzhil untsayain … [surat An-Nisa’ ayat 11]’. Kemudian Rasulullah SAW bersabda kepadaku: ‘Panggilkan kepadaku perempuan itu dan temannya.’ Lalu Rasulullah SAW bersabda kepada paman dua anak perempuan itu: ‘Berilah mereka berdua dua pertiga, berilah ibunya sepertiga, dan sisinya maka untukmu’.” (HR. Al-Wahidid dan Ar-Daruquthni). (Abul Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi an-Naisaburi, Asbabun Nuzul, [Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1431 H/2010 M], tashih: Muhammad Dzul Kifli Zaiuddin al-Wathani, cetakan pertama, halaman 90).


Ragam Tafsir

Surat An-Nisa ayat 11 turun sebagai penjelas ayat sebelumnya yang masih bersifat umum (mujmal), yaitu ayat 7 yang secara umum menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai bagian waris. Kemudian ayat 11 mulai menjelaskan detail masing-masing bagian waris mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Pakar tafsir kota Naisabur, Imam Nizhamuddin al-Hasan bin Muhammad an-Naisaburi (wafat 850 H/1446 M). (Nizhamuddin al-hasan bin Muhammad al-Qummi an-Naisaburi, Gharaib al-Quran wa Raghaib al-Furqan, [Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah: 1416 H/1996 M], cetakan pertama, juz II, halaman 355).


Secara substansial ada lima hal yang dibahas ayat, yaitu: rasionalisasi perbedaan bagian waris laki-laki dan perempuan, bagian waris anak, bagian waris orang tua, waktu pembagian, dan hikmahnya.


Pembahasan pertama, berkaitan dengan perbedaan bagian waris anak laki-laki dan perempuan, dimana anak laki-laki mendapatkan bagian waris dua anak perempuan sesuai frasa: يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ “Allah memerintahkan kalian tentang (pembagian harta waris untuk) anak-anak kalian, yaitu bagian laki-laki sama dengan bagian dua perempuan”.


Grand Syekh Universitas al-Azhar Muhammad As-Sayyid Thanthawi (1347-1431 H/1928-2010 M) menjelaskan, ketentuan demikian mengingat tanggung jawab finansial (at-takalif al-maliyyah) perempuan lebih sedikit daripada laki-laki. Sebab laki-laki terbebani tanggung jawab finansial untuk biaya hidup diri, anak-anak, istri dan setiap orang yang menjadi tanggung jawabnya, yang tentunya membutuhkan harta yang lebih banyak untuk memenuhinya, sehingga ia mendapatkan bagian waris dua kali lipat.


Lain halnya dengan perempuan, secara syar’i ia tidak mempunyai tanggung jawab finansial seperti laki-laki, sehingga harta warisnya hanya menjadi haknya, tanpa wajib dikeluarkan untuk kebutuhan hidup orang lain. Dari sini menjadi jelas, meski tidak mempunyai tanggung jawab finansial terhadap orang lain sebagaimana laki-laki, Islam benar-benar memuliakan wanita dengan tetap memberinya hak waris sesuai bagiannya, setelah sebelumnya dalam tradisi Jahiliyyah ia sama sekali tidak mendapatkan hak waris tersebut. 


Selain itu juga perlu diperhatikan, diksi aulad “anak-anak” dalam ayat mencakup setiap anak mayit baik laki-laki maupun perempuan, cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-lakinya. Dengan kata lain diksi aulad mencakup anak-anaknya sendiri dan anak-anak dari anak laki-lakinya, semuanya baik laki-laki maupun perempuan.


Adapun cucu dari anak perempuannya, baik laki-laki maupun perempuan, tidak masuk dalam cakupan diksi ‘aulad’. Demikian menurut Ahlussunnah wal Jama’ah. Lain halnya dengan Syi’ah yang tidak membedakan antara cucu dari anak laki-laki dan cucu dari anak perempuan yang dianggap sama-sama tercakup oleh diksi ‘aulad’ tersebut. 


Pembahasan kedua, berkaitan bagian waris anak, terdapat tiga kondisi yang dijelaskan ayat.


Satu, bila ahli waris terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, maka anak laki-laki mendapatkan dua kali lipat bagian waris perempuan sesuai frasa: ِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ “bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan”. 


Dua, bila ahli waris terdiri dari dua anak perempuan atau lebih tanpa ada anak laki-laki, maka mereka mendapatkan dua pertiga harta, sesuai dengan frasa: فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ “bila semuanya perempuan yang lebih dari dua orang, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan mayit”.


Mengingat redaksi ayat: فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ “bila semuanya perempuan yang lebih dari dua orang”, maka terjadi perbedaan pendapat antara Ibnu Abbas RA dan jumhur ulama, apakah frasa ayat juga mencakup kasus bila ahli waris terdiri dari dua anak perempuan saja? Jumhur ulama mengatakan frasa ayat mencakupnya, sementara Ibnu Abbas RA menyatakan tidak mencakupnya. 


alam kasus ini, menurutnya mereka mendapatkan separo harta warisan. Namun begitu, kemudian ditemukan riwayat bahwa Ibnu Abbas RA telah mencabut pendapatnya dan akhirnya sepakat dengan pendapat jumhur.


Tiga, bila ahli waris hanya satu orang anak perempuan, maka ia mendapatkan separo harta warisan, sesuai redaksi ayat: وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ “bila anak perempuan itu satu orang saja, maka ia memperoleh separo harta”.    


Pembahasan ketiga, berkaitan dengan bagian waris orang tua, juga terdapat tiga kondisi yang dijelaskan oleh ayat.


Satu, bila ahli waris terdiri dari ayah, ibu dan anak mayit, maka bagian masing-masing ayah dan ibu adalah seperenam harta warisan sesuai frasa: وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ “dan untuk dua orang ibu-ayah, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, bila orang yang meninggal mempunyai anak”.


Dua, bila ahli waris terdiri dari ayah dan ibu saja, tidak ada anak dari mayit, maka ibu mendapatkan sepertiga harta, sesuai frasa: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ “bila ia tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-ayahnya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga”, sementara sisa hartanya yang masih dua pertiga menjadi bagian ayahnya.


Tiga, bila ahli waris terdiri dari ayah, ibu dan saudara perempuan—baik seayah seibu, seayah atau seibu saja, semuanya laki-laki, perempuan atau campuran—, maka ibu mendapatkan seperenam harta, ayah mendapatkan sisanya, sementara saudaranya terhalangi mendapatkan warisan karena adanya ayah, sesuai frasa: فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ “bila orang yang meninggal mempunyai saudara perempuan, maka ibunya mendapat seperenam”. 


Pembahasan keempat, berkaitan dengan waktu pembagian waris yaitu setelah pemenuhan wasiat mayit dan hutang-hutangnya, sesuai dengan frasa: مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَآ أَوْ دَيْنٍ “(pembagian-pembagian tersebut) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.” Redaksi ayat yang secara tekstual mendahulukan urusan wasiat daripada hutang berfungsi mengingatkan pentingnya memenuhi wasiat mayit, sebab umumnya ahli waris bersifat pelit dengan warisannya dan sering menentang orang yang mendapatkan wasiat. Lain halnya dengan hutang mayit, biasanya mereka tidak mempermasalahkannya. Demikian penjelasan Imam Ahmad As-Shawi. (Ahmad bin Muhammad as-Shawi, Hasyiyyah as-Shawi ‘ ala Tafsir al-Jalalain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], editor: Shidqi Muhammad Jamil, juz I, halaman 275).


Pembahasan kelima, berkaitan dengan hikmah pembagian harta waris yang berbeda-beda bagiannya, antara orang tua dan anak. Dalam hal ini Allah berfirman: آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا “Orang tua dan anak-anak kalian, kalian tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagi kalian”. Maksudnya, orang tidak tahu secara nyata siapa yang lebih baik dan bermanfaat baginya, apakah orang tua atau anak-anaknya. Adakalanya orang mengira yang lebih baik dan lebih bermanfaat baginya—baik di dunia seperti memenuhi berbagai kemaslahatan hidupnya atau di akhirat seperti memberikan syafaat kepadanya—adalah anaknya, sehingga ia memberi harta warisan kepadanya, tapi nyatanya yang lebih baik adalah ayahnya, atau sebaliknya. Nah, dalam kesimpangsiuran ini maka hanya Allah yang mengetahui secara persis siapa sebenarnya yang lebih baik dan lebih bermanfaat baginya. Karenanya sangat wajar bila Allah yang menentukan bagian waris mereka.


Sementara penghujung ayat: فَرِيضَةً مِنَ اللهِ، إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا  حَكِيمًا “Itu adalah ketetapan dari Allah, sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”, merupakan penegasan bahwa aturan waris dalam ayat merupakan ketentuan yang wajib dilaksanakan dari Allah yang maha mengetahui kebaikan hambanya, baik urusan dunia maupun akhirat, yang maha bijaksana atas berbagai keputusan dan hukum syariatnya. Sebab itu sudah semestinya manusia memenuhi ketentuan dan syariat pembagian harta warisan sebagaimana petunjuk Al-Qur’an demi kebaikan dirinya sendiri dan sesuai dengan ridha-Nya. (Muhammad As-Sayyid Thanthawi, Al-Wasith, juz I, halaman 875-879).


Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda