Tasawuf/Akhlak

Obat bagi Jiwa yang Kesepian

Sabtu, 9 Agustus 2025 | 14:00 WIB

Obat bagi Jiwa yang Kesepian

Ilustrasi kesepian. Sumber: Canva/NU Online.

Fenomena wabah kesepian adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan peningkatan signifikan dalam perasaan kesepian dan keterasingan sosial yang dialami oleh banyak orang di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. 


Kesepian dalam konteks ini bukan sekadar sendiri, melainkan lebih merujuk pada perasaan terputus dari hubungan yang bermakna, meskipun seseorang mungkin berada di tengah keramaian, dalam keluarga, atau bahkan aktif di media sosial. 


Menurut versi Badan Kesehatan Dunia (WHO), satu dari enam orang di seluruh dunia, sekitar 17%, mengalami kesepian. Angka ini lebih tinggi di kalangan remaja dan dewasa muda, serta di negara berpenghasilan rendah yang mencapai sekitar 24%, sedangkan di negara maju hanya sekitar 11%. Dilansir dari kompas.id, di Indonesia satu dari lima orang mengaku merasa kesepian setidaknya sekali dalam sepekan. Artinya, dalam seminggu, seseorang bisa saja merasakan kesepian dua bahkan tiga kali.


Dalam laporan tersebut juga disebutkan dampak negatif jika wabah kesepian ini tidak kunjung ditangani dengan benar, di antara dampak tersebut adalah gangguan tidur atau sulit tidur, konsentrasi menurun, bahkan berefek terkena penyakit kronis, seperti diabetes dan stroke. 


Pada umumnya, wabah kesepian ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah (1) individualisme ekstrem di budaya modern; (2) ketergantungan pada teknologi dan interaksi digital alih-alih pertemuan fisik; dan (3) hidup di kota besar dan urbanisasi membuat kehidupan lebih anonim. 


Dari perspektif tasawuf, fenomena “wabah kesepian” seperti yang diuraikan sebelumnya dapat dihubungkan dengan pergeseran nilai dalam kehidupan modern. Salah satu contohnya adalah menguatnya individualisme di tengah budaya kontemporer. Pola ini kontras dengan prinsip tasawuf yang diwariskan para ulama Sufi. Syekh Yusuf al-Khattar dalam Al-Mawsu‘atul Yusufiyyah fi Bayani Adillatis Shufiyyah mengutip penjelasan Imam Sahruwardi bahwa akhlak yang dijunjung tinggi oleh para Sufi merupakan inti sari dari akhlak yang dihayati oleh Nabi Muhammad SAW.


ويفصل السهروردي بيان أن ما دعا إليه الصوفية من أخلاق هي نفس ما تخلق به النبي صلى الله عليه وسلم في سلوكه ودعا إليه في أحاديثه


Artinya: “Imam Sahruwardi menjelaskan bahwa akhlak yang didengungkan para Sufi adalah intisari dari akhlak yang diteladankan oleh Nabi dan disabdakan dalam hadits-haditsnya.” (Syekh Yusuf al-Khattar, Al-Mawsu‘atul Yusufiyyah fi Bayani Adillatis Shufiyyah, [Syria: Mathba‘ah Nadhar, 1999], hlm. 47).


Salah satu nilai tasawuf tersebut adalah kesediaan untuk hidup bermasyarakat dan menanggung hal-hal yang kurang menyenangkan yang muncul dalam interaksi sosial. Sebab, bergaul dengan masyarakat pasti mengandung risiko menghadapi ucapan atau tindakan yang bisa melukai hati.


ومن أخلاقهم المداراة واحتمال الأذى من الخلق، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: المؤمن الذي يعاشر الناس ويصبر على أذاهم خير من الذي لا يخالطهم ولا يصبر على أذاهم

 

Artinya: “Termasuk akhlak para Sufi adalah bermasyarakat dan bersabar atas hal-hal yang menyakitkan yang muncul dari masyarakat. Rasulullah SAW bersabda: Mukmin yang bermasyarakat dan sabar menghadapi gangguan mereka lebih baik daripada Mukmin yang tidak bermasyarakat dan tidak sabar atas gangguan tersebut,” (Al-Mawsu‘atul Yusufiyyah, hlm. 47).

 

Nilai-nilai seperti ini menunjukkan bahwa keterlibatan sosial dan kesabaran bukan hanya bagian dari etika pergaulan, tetapi juga menjadi unsur penting dalam membangun kesehatan spiritual dan hubungan yang lebih hangat di tengah masyarakat.


Penyebab kedua adalah meningkatnya ketergantungan pada teknologi. Seperti halnya ketergantungan pada apa pun, kondisi ini cenderung membuat seseorang abai terhadap hal-hal lain yang seharusnya mendapat prioritas. Salah satu di antaranya adalah nilai akhlak dalam tasawuf: senantiasa mengingat Allah SWT dan Rasul-Nya. Ketika waktu dan perhatian terlalu tersita oleh teknologi, apalagi gawai, maka zikir dan shalawat berpotensi tergeser dari rutinitas sehari-hari.


Syekh Yusuf al-Khattar menjelaskan:


ومن أخلاقهم رضي الله تعالى عنهم عدم غفلتهم عن ذكر الله تعالى وعن الصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم في مجلس جلسوه: عملاً بقوله صلى الله عليه وسلم: لا يجلس قوم مجلساً لم يذكروا الله فيه ولم يصلوا على نبيهم محمد صلى الله عليه وسلم إلا كان عليهم تره، أي: تبعة، ونقصاً يوم القيامة. وأيضاً عملاً بقوله صلى الله عليه وسلم: ليس يتحسر أهل الجنة إلا على ساعة مرت بهم لم يذكروا الله فيها.


Artinya: “Termasuk akhlak para Sufi adalah mereka tidak pernah lupa untuk mengingat Allah SWT dan Rasul-Nya di majelis-majelis mereka berada. Sebab, mereka mengamalkan sabda Nabi SAW: Setiap majelis kaum yang tidak mengingat Allah di dalamnya dan tidak ada pembacaan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, niscaya majelis tersebut tak berguna (berbahaya dan bernilai kurang) di hari kiamat. Juga karena mengamalkan sabda Nabi SAW: Ahli surga tidak merasa rugi kecuali pada saat-saat mereka tidak mengingat Allah SWT.” (Al-Mawsu‘atul Yusufiyyah, hlm. 51).


Dengan logika sederhana, jika seseorang telah bergantung penuh pada teknologi, misalnya gawai, maka perhatiannya mudah tersedot hingga lalai pada hal-hal yang lebih esensial, termasuk mengingat Allah dan Rasul-Nya. Ketergantungan ini bukan hanya berpotensi membuat manusia lupa waktu, tetapi juga dapat mengikis kesadaran spiritualnya.


Penyebab ketiga berkaitan erat dengan dua penyebab sebelumnya, dan juga menunjukkan pergeseran dari nilai-nilai tasawuf yang telah diuraikan. Penyebab tersebut adalah kehidupan di kota besar. Lingkungan perkotaan cenderung membentuk pola hidup yang lebih individualistis. 


Interaksi sosial yang akrab seperti di pedesaan jarang ditemui; mayoritas orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat melahirkan individualisme yang lebih ekstrem, serupa dengan penyebab pertama.


Karena itu, temuan riset tentang tiga penyebab umum “wabah kesepian” ini tampak selaras dengan realitas. Jika diperhatikan, banyak anak muda yang mengaku kesepian memiliki pola hidup yang jauh dari dua nilai akhlak tasawuf yang penting: keterlibatan dalam kehidupan bermasyarakat dan kesadaran untuk senantiasa mengingat Allah SWT.


Terdapat sejumlah kalam yang menarik terkait pentingnya mengingat Allah sebagai salah satu penawar bagi “wabah kesepian”. Semua kalam ini dikutip oleh Syekh Yusuf al-Khattar dalam Al-Mawsu‘atul Yusufiyyah fi Bayani Adillatis Shufiyyah (h. 51) dari tiga tokoh ulama, yakni Imam Daud at-Tha‘i, Imam Yahya bin Mu‘adz, dan Imam Wahab bin Munabbih.


Pertama adalah kalam dari Daud at-Tha‘i:


وكان داود الطائي رحمه الله يقول: كل نفس تخرج من الدنيا عطشانة إلا نفس الذاكرين


Artinya: “Imam Daud at-Tha‘i berkata: Setiap jiwa yang keluar dari dunia akan kehausan, kecuali jiwa orang-orang yang mengingat Allah.”


Dalam pandangan tasawuf, istilah kehausan di sini tidak hanya merujuk pada makna fisik, tetapi memiliki konotasi batin: jiwa yang kosong, kering, hampa, atau tidak terpenuhi secara spiritual. Jiwa yang dilanda kesepian, dengan segala rasa sunyi dan hampa yang menyertainya, sangat mungkin termasuk dalam gambaran yang dimaksud kalam ini.


Bagaimana cara agar jiwa tidak mengalami “kehausan” seperti itu? Kuncinya tersirat jelas pada bagian akhir kalam: senantiasa mengingat Allah SWT. Zikir menjadi penyejuk hati dan pengisi ruang batin, sehingga jiwa tetap hidup, segar, dan terhindar dari kekosongan yang dapat melahirkan rasa kesepian.


Kedua adalah kalam Yahya bin Mu‘adz:


وكان يحيى بن معاذ رحمه الله تعالى يقول: حادثوا القلوب بذكر الله فإنها سريعة الغفلة


Artinya: “Yahya bin Mu'adz berkata: Berkomunikasilah dengan hati kalian melalui mengingat Allah, karena hati itu cepat lalai.”


Kalam ini memberi pesan bahwa zikir kepada Allah bukan sekadar ibadah lisan, tetapi juga bentuk percakapan batin dengan diri sendiri. Orang yang membiasakan diri mengingat Allah berarti terus berinteraksi dengan hatinya, sehingga ruang batin tidak dibiarkan kosong. Dengan demikian, rasa kesepian dapat teredam karena hati selalu ‘hidup’ dalam percakapan spiritual.


Ketiga adalah kalam Imam Wahab bin Munabbih:


وكان وهب بن منبه رحمه الله تعالى يقول: واعجبا من الناس، يكون على من مات جسده، ولا يكون على من مات قلبه وهو أشد


Artinya: “Imam Wahab bin Munabbih, rahimahullah, berkata: ‘Yang mengherankan dari manusia adalah mereka menangisi jasad yang mati, tetapi tidak menangisi hati yang mati, padahal kematian hati lebih berat.’


Kalam ini menggambarkan bahwa kematian hati merupakan musibah yang lebih besar dibandingkan kematian jasad. Dalam perspektif tasawuf, hati dapat “mati” karena tidak mendapat asupan gizi rohani, yaitu ilmu dan hikmah. Sebagaimana jasad akan rapuh bila tidak diberi makan dan minum, hati pun akan kering dan kosong bila tidak disuplai dengan ilmu, zikir, dan perenungan. Jangan-jangan rasa kesepian yang kita alami adalah tanda bahwa hati kita sedang kelaparan, karena hanya sibuk memberi makan jasad, tetapi lalai memberi makan hati.


Walhasil, nilai-nilai akhlak yang dijunjung para ulama Sufi dapat menjadi obat mujarab dalam mengatasi “wabah kesepian”. Dengan mempraktikkan nilai-nilai tersebut, baik berupa keterhubungan batin melalui zikir maupun pemeliharaan hidup sosial yang sehat, jiwa akan perlahan terlepas dari rasa hampa. Bahkan di tengah hiruk-pikuk dunia digital dan derasnya arus media sosial, hati akan tetap teduh dan tenteram. Wallāhu a‘lam.


Ustadz Syifaul Qulub Amin, Alumnus PP Nurul Cholil, Sekarang Aktif Menjadi Perumus LBM PP Nurul Cholil dan Editor Website PCNU Bangkalan.