Tasawuf/Akhlak

Ujub menurut Imam Bisyr Al-Hafi

Jum, 24 Februari 2023 | 17:00 WIB

Ujub menurut Imam Bisyr Al-Hafi

Ilustrasi: Sufi (thesufi.com)sufi (thesufi.com).

Dalam kitab Hilyatul Auliyâ’, Imam Abu Nu’aim Al-Ashbahani mencatat perkataan Imam Bisyr bin Haris Al-Hafi tentang ujub. Berikut riwayatnya:
 

حدثنا إبراهيم بن عبد الله، ثنا محمد بن إسحاق، ثنا محمد بن المثنى، قال سمعت بشر بن الحارث يقول: "العجب أن تستكثر عملك وتستقل عمل الناس أو عمل غيرك."
 

Artin​​​​​ya, “Ibrahim bin Abdullah bercerita kepada kami, Muhammad bin Ishaq bercerita kepada kami, Muhammad bin Al-Mutsanna bercerita, ia berkata: “Aku mendengar Bisyr bin Al-Harits (Al-Hafi) berkata: “Ujub adalah kau anggap banyak amalmu dan kau anggap sedikit amal manusia atau amal selainmu.” (Imam Abu Nu’aim Al-Ashbahani, Hilyatul Auliyâ’ wa Thabaqâtul Ashfiyâ’, [Beirut, Darul Fikr], juz VIII, halaman 49).
 

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Imam Bisyr bin Al-Harits Al-Hafi (wafat 227 H) adalah wali yang tidak pernah memakai sandal (Al-Hâfî). Ia dikenal dengan kecerdasannya yang luar biasa, kezuhudannya yang mantap, dan sangat menjaga lisannya. Ia berguru dan mendengar hadits dari banyak ulama, seperti Abdullah bin Mubarak, Ibrahim bin Sa’d Az-Zuhri, Hammad bin Zaid, Al-Ma’afi bin ‘Imran Al-Maushili, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain sebagainya. Kecerdasannya begitu terkenal sampai Imam Ibrahim bin Ishaq Al-Harabi (wafat 285 H), seorang muhaddits dan ahli fiqih, mengatakan:
 

وكان في كل شعرة منه عقل، ولو قسم عقله على أهل بغداد لصاروا عقلاء وما نقص من عقله شيء
 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

Artinya, “(Bisyr Al-Hafi) di setiap rambutnya terdapat akal, dan andaikan akalnya dibagikan kepada penduduk Bagdad maka mereka akan menjadi orang-orang berakal (yang cerdas juga). Tidak ada kekurangan sesuatu pun dari akal (kecerdasan)nya.” (Imam Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wan Nihâyah fît Târîkh, [Kairo, Mathba’ah Kurdistan Al-‘Ilmiyah], juz X, halaman 298). 
 

Salah satu ucapan yang menarik adalah definisinya tentang ujub. Ia mengatakan, “Ujub adalah kau anggap banyak amalmu dan kau anggap sedikit amal manusia atau amal selainmu.”
 

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Ujub atau al-‘ujbu secara bahasa berarti kebanggaan (azzahwu) atau kesombongan (al-kibr). Istilah ini memiliki akar kata yang sama dengan al-‘ajabu atau atta’ajjub (heran, takjub, kagum), yaitu ‘ajiba-ya’jabu-‘ajaban. Dengan demikian, ujub secara etimologi adalah kekaguman, ketakjuban atau kebanggaan pada diri sendiri (u’jiba bi nafsihi).
 

Kebanggaan pada diri sendiri (ujub) oleh Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam dikategorikan dalam muhlikât (hal-hal yang membinasakan). Beliau bersabda:
 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

ثَلاَثُ مُهْلِكَاتٍ: شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَإعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ
 

Artinya, “Tiga perkara yang membinasakan: 1) Rasa pelit yang ditaati, 2) Hawa nafsu yang diikuti, dan 3) Bangganya seseorang terhadap diri sendiri (ujub).” (HR. At-Thabarani).
 

Ketika seseorang memandang banyak amalnya sendiri, dan menganggap amal orang lain sedikit atau kalah dengannya, ia sedang berada dalam kesombongan, sebagaimana Iblis yang menolak perintah sujud kepada Nabi Adam ‘alaihissalam dengan mengatakan, “Ana khairun minhu” (aku lebih baik dari Adam). Penolakan dan ucapan yang membuatnya terusir dari surga, karena di dalam surga tidak pantas ada orang yang berlaku sombong. Allah berfirman: 
 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

فَٱهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُونُ لَكَ أَن تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَٱخْرُجْ إِنَّكَ مِنَ ٱلصَّٰغِرِينَ
 

Artinya, “Turunlah kamu dari surga, karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, sesungguhnya kamu termasuk dalam golongan yang hina.” (QS Al-A’raf: 13). 
 

Ujub adalah penyakit diri yang berbahaya, bisa membuat seseorang menjadi gemar menilai amal orang lain, dan memandang rendah kepadanya. Karena ujub, seseorang cenderung memandang dirinya lebih baik dari orang lain, dan merasa amalnya lah yang terbanyak di antara manusia.

 

Karena itu, Imam Bisyr Al-Hafi memperingatkan manusia agar tidak memandang diri beramal lebih baik dari orang lain. Sebab, bisa membuka pintu kesombongan yang semakin lama semakin tak dikenali oleh pemiliknya. Orang yang sudah dikuasai kesombongan, tidak merasa dirinya sedang sombong. Bagian jiwa yang semula bertugas mendeteksi kesombongan menjadi tumpul. Padahal, semua manusia memiliki bagian jiwa tersebut, seperti rasa sakit yang terdeteksi atau muncul ketika tubuh terluka.
 

Penjelasan sederhananya begini. Siapa pun orangnya, ketika pertama kali melakukan hal buruk, ia akan merasakan ketidaktenangan dan takut, tapi, setelah sering melakukannya, ketidaktenangan dan takut pun perlahan-lahan menghilang. Hal semacam ini juga bisa terjadi pada hal-hal lainnya, termasuk kesombongan. 
 

Imam Abu Yazid al-Busthami mengatakan: 
 

ما دام العبد يظن أن في الخلق من هو شر منه فهو متكبر
 

Artinya, “Selama seorang hamba mengira bahwa ada makhluk (Allah) yang lebih buruk darinya, maka ia adalah orang sombong.” (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûmiddîn, [Beirut: Darul Ma’rifah], juz III, halaman 343). 
 

Anggapan bahwa ada orang lain atau makhluk Allah yang lebih buruk darinya, menurut Imam Abu Yazid Al-Busthami, hal tersebut sudah termasuk sombong (mutakabbir). Maka, orang yang menganggap amalnya lebih banyak daripada orang lain, dan orang yang menganggap amal orang lain lebih sedikit daripadanya, ia sedang berlaku sombong (ujub) dan, di satu titik bisa dibilang “menyalahi wewenang”. Karena banyak atau sedikitnya amal tidak bisa dihitung oleh manusia, hanya Allah yang berhak melakukannya. 
 

Karena itu, kita harus benar-benar menjaga diri dari ujub. Salah satu caranya dengan mengamalkan ucapan Imam Bisyr Al-Hafi di atas, bahwa kita jangan menganggap banyak amal kita dan jangan menganggap sedikit amal orang lain. Banyak-sedikitnya amal, bukan kita yang menentukan, melainkan Allah subhanahu wa ta’ala. Lagi pula, amal yang kita lakukan, dan larangan yang kita jauhi, bisa dilakukan karena karunia dan nikmat dari Allah juga, bukan murni dari diri kita sendiri. Wajar saja jika Nabi Dawud ‘alaihissalam dalam doanya mengatakan:
 

إِلَهِيْ، كَيْفَ لِيْ أَنْ أَشْكُرَكَ، وَأَنَا لَا أَصِلُ إِلَى شُكْرِكَ إِلَّا بِنِعْمَتِكَ؟ فَأَوْحَى اللهُ إِلَيْهِ: يَا دَاوُدُ، أَلَسْتَ تَعْلَمُ أَنَّ الَّذِيْ بِكَ مِنَ النِّعَمِ مِنِّيْ؟ قَالَ: بَلَى، أَيْ رَبِّ، قَالَ: فَإِنِّيْ أَرْضَى بِذَلِكَ مِنْكَ شُكْرًا

 

Artinya, “Tuhanku, bagaimana mungkin aku bisa bersyukur kepada-Mu, sementara aku tidak akan (bisa) bersyukur kepada-Mu kecuali dengan nikmat-Mu juga?” Kemudian Allah memberitahu Dawud: “Wahai Dawud, bukankah kau tahu bahwa yang ada pada dirimu merupakan bagian dari nikmat-nikmat-Ku?” Nabi Dawud menjawab: “Benar, wahai Tuhanku.”
Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku telah meridhai syukurmu itu.” (Ahmad bin Hanbal, Az-Zuhd, [Kairo, Darur Rayyan lit Turats; 1992], halaman 91-92). 
 

Dengan memandang segala sesuatu berasal dari Allah, seperti kesempatan beramal, dan kemampuan bersyukur, kita bisa menjaga jarak dari ujub. Karena kita sadar betul, bahwa amal kita tidak terjadi karena kita hebat, sehingga menganggap amal kita seperti deposito atau tabungan di rekening bank, yang membuat kita berbangga diri dan merasa lebih mulia atau lebih kaya dari orang lain.
 

Itulah pentingnya memasukkan nilai-nilai tersebut dalam diri kita, agar kita terus berjuang memberi cahaya pada hati kita, dan meneranginya dari ujub. Andaikan ujub tetap datang, kita bisa mengenalinya, lalu menepikannya. 
 

Sebagai penutup, ucapan Imam Abdullah bin Mubarak ketika ditanya tentang ujub perlu kita renungkan. Ia menjawab:
 

أن ترى أن عندك شيئا ليس عند غيرك, لا أعلم في المصلين شيئا شرا من العجب
 

Artinya, “(Ujub adalah) kau memandang (diri)mu memiliki suatu (kelebihan) yang tidak dimiliki selainmu. Aku tidak mengetahui dalam (diri) orang-orang yang shalat sesuatu yang (lebih) buruk dari ujub.” (Ad-Dzahabi, Siyar A’lâmin​​​​​​ Nubalâ’, [Beirut, Muassasah Ar-Risalah: 1982], juz VIII, halaman 407). Wallahu a’lam bish shawwab.


 

Ustadz Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND