Bahtsul Masail

Hukum Gurauan Cerai Pinggir Jurang

NU Online  ·  Jumat, 4 Oktober 2024 | 14:00 WIB

Hukum Gurauan Cerai Pinggir Jurang

Hukum gurauan cerai (via yaumma.ru).

Assalamu'alaikum wr wb. Saya mau bertanya tentang hukum islam. Dalam keseharian ada tiga (3) orang bercanda tentang pasangan. Sebut saja Andi, Bejo, dan Budi.
 

Andi bertanya kepada Bejo, "Seandainya istrimu diambil istri Budi, kamu boleh tidak?"
 

Dijawab Bejo, "Boleh."
 

Tapi sebenarnya Bejo tidak ada niatan menalak istrinya, karena ini hanya bercanda. Budi juga tidak ada niatan sama sekali mengambil istri Bejo.
 

Terus Budi menghampiri Bejo. Kata Budi, jangan ucapkan boleh nanti kena talak.
 

Nah akhirnya Bejo menjadi bimbang. Pikirnya kan ini sekadar gurauan yang diawali dengan perkataan Andi 'seandainya'. Toh Budi juga tidak suka istri orang.
 

Yang saya mau tanyakan, apakah ucapan Budi termasuk talak?
 

Demikian pertanyaan saya, mohon balasan. Atas ilmunya diucap terima kasih. (Hamba Allah).
 

Jawaban

Terimakasih atas pertanyaan yang telah anda sampaikan. Semoga penanya dan pembaca senantiasa diberi kemudahan dan keberkahan dalam segala aspek kehidupan. Amin.
 

Sebelum menjawab pertanyaan, perlu diketahui dahulu bahwa sebaiknya seorang laki-laki yang beristri selalu menjaga lisannya dari kata-kata yang mengandung makna perceraian, meskipun dalam konteks bercanda. Karena Rasulullah saw bersabda:
 

ثَلاثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وهَزْلُهُنَّ جِدٌّ: النِّكاحُ، والطَّلاقُ، والرَّجْعَةُ
 

Artinya, "Ada tiga hal yang seriusnya dihukumi serius, bercandanya pun dihukumi serius, yaitu: nikah, talak, dan rujuk". (HR At-Tirmidzi).
 

Berdasarkan hadits ini, kata 'seandainya' yang diucapkan Andi yang menunjukkan bahwa pertanyaan tersebut hanya sebatas candaan, tetap dihukumi sama seperti ucapan yang serius.
 

Sebab itu, sebaiknya jauhi candaan yang menyangkut talak. Berbeda dengan bercanda dengan mengisahkan dan memeragakan adegan talak, secara fiqih tidak dianggap sebagai talak.
(Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu'in, [Beirut: Dar Ibn Hazm, tt], halaman 507).
 

Dalam hukum Islam shighat (ucapan) talak dibagi menjadi dua:

  1. Talak sharih (jelas), yaitu kalimat yang tidak memiliki kemungkinan makna lain selain talak. Contohnya seperti kalimat: "Aku ceraikan kamu" atau "Aku telah menjatuhkan talak pada istriku".
    Jika seorang suami mengucapkan sighat talak sharih, maka otomatis jatuh talak, meskipun tanpa disertai niat menceraikan istri.
     
  2. Talak kinayah (sindiran), yaitu kalimat yang memiliki kemungkinan makna lain selain talak. Contohnya seperti kalimat: "Aku telah berpisah dengan istriku". Kata 'berpisah' selain bisa dimaknai sebagai perceraian, bisa juga dimaknai sebagai terpisah secara fisik karena jarak yang jauh.
    Talak yang diucapkan dengan shighat kinayah tidak berdampak pada putusnya ikatan pernikahan kecuali jika disertai dengan niat menceraikan istri.
 

Dalam kitab Fathul Mu'in disebutkan suatu kasus yang memiliki kemiripan dengan pertanyaan yang kita bahas. 
 

لو قال لوليها: زوّجها فمقر بالطلاق
 

ِArtinya, "Jika seorang laki-laki berkata kepada wali istrinya: "Nikahkanlah dia (istriku), maka laki-laki tersebut berarti telah mengakui (beriqrar) bahwa istrinya sudah dicerai olehnya." (Al-Malibari, 509).
 

Hal ini karena, dengan mempersilahkan wali istrinya untuk menikahkannya, artinya suami telah memutus ikatan pernikahan dengan istrinya. Karena salah satu syarat seorang perempuan halal dinikahi adalah tidak memiliki ikatan pernikahan dengan siapapun.
 

Berkaitan dengan pembahasan, jawaban Bejo pada Andi sebagaimana dalam pertanyaan memiliki kemiripan dengan kasus dalam kitab Fathul Mu'in di atas, yakni sama-sama mempersilahkan istrinya dinikahi orang lain.
 

Namun, apakah ucapan Bejo juga dianggap sebagai pengakuan bahwa ia telah mentalak istrinya?
 

Untuk menjawabnya, hemat penulis kita perlu melihat kaidah bahasa sebagaimana penjelasan Imam As-Suyuthi berikut:
 

إنَّمَا يَتَجَاذَبُ الْوَضْعُ وَالْعُرْفُ فِي الْعَرَبِيِّ، أَمَّا الْأَعْجَمِيُّ فَيُعْتَبَر عُرْفُهُ قَطْعًا
 

Artinya, "Kontradiksi antara penggunaan makna asal dan makna yang berlaku secara umum hanya terjadi dalam bahasa Arab. Adapun bahasa selain Arab, yang dipandang adalah makna yang berlaku secara umum." (Al-Asybah wan Nazhair [Beirut, Darul Kutubil 'Ilmiyyah: 1983], halaman 95).
 

Berdasarkan kaidah ini, maka ucapan Bejo tidak dianggap sebagai pengakuan bahwa ia telah mencerai istrinya. Karena dalam bahasa Indonesia, ucapan seperti itu tidak biasa digunakan untuk menyatakan sebuah pengakuan (iqrar).
 

Namun, ucapan Bejo tersebut tergolong shighat talak kinayah karena dengan mempersilahkan istrinya dinikahi orang lain, secara tidak langsung mengandung makna melepas ikatan pernikahannya. 
 

Ucapan Bejo sebagaimana dalam pertanyaan tidak menyebabkan jatuhnya talak, kecuali jika saat mengucapkan disertai niat menceraikan istrinya.
 

Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan, semoga dapat diterima dan dipahami sebaik-baiknya. Kami terbuka menerima kritik dan masukan untuk penyempurnaannya.  Wallahu a'lam.
 

Ustadz Rif'an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan, Purworejo