Bahtsul Masail

Bagaimana Kedudukan Talak Paksa Suami yang Diancam Senjata oleh Istri?

Sel, 17 Januari 2023 | 15:00 WIB

Bagaimana Kedudukan Talak Paksa Suami yang Diancam Senjata oleh Istri?

Islam mengatur perkawinan dan talak, termasuk talak paksa yang dijatuhkan oleh suami di bawah ancaman istri. (Ilustrasi: NU Online)

Assalamu alaikum wr wb

Izin bertanya, Ustadz. Bagaimana jika ada istri yang mengancam suaminya dengan parang supaya menjatuhkan talak. Bahkan, karena si istri mau mengayunkan parangnya, suaminya sampai ketakutan dan terpojok. Karena paksaan istrinya, akhirnya si suami berkata, “jangan-jangan, oke deh diceraikan.” Pertanyaannya, apakah talak dalam keterpaksaan seperti itu jatuh? Terima kasih, Ustadz, mohon jawabannya. Wassalamu ’alaikum wr wb. (Hamba Allah).


Jawaban

Wa’alaikum salam wr wb

Penanya yang budiman, semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. 


Sebelum menjawab pertanyaan di atas, terlebih dahulu kita harus mengetahui siapa saja yang talaknya tidak jatuh ketika menjatuhkannya.


Ibnu Qasim menyebutkan dalam Kitab Fathul Qarib, ada empat orang yang tidak jatuh talaknya: anak kecil, orang tunagrahita, orang tidur, dan orang yang dipaksa tanpa hak. (Lihat: Ibnu Qasim, Fathul-Qarib, halaman 47).


Lagi pula, talak termasuk salah satu akad yang tidak sah dilakukan ketika di bawah tekanan atau paksaan, sebagaimana yang ditegaskan al-Mawardi:


مَا لَا يَصِحُّ مَعَ الْإِكْرَاهِ وَلَا يَتَعَلَّقُ بِهِ حُكْمُ الِاخْتِيَارِ فَهُوَ الْإِكْرَاهُ عَلَى الْكُفْرِ أَوْ بِالطَّلَاقِ 


Artinya, “Perkara yang tidak sah dilakukan di bawah paksaan dan tidak ada kaitan dengan hukum pilihan, di antaranya dipaksa kufur atau dipaksa jatuhkan talak,” (Lihat: al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, juz X/231).


Selanjutnya, kita juga harus melihat seperti apa kriteria ancaman yang tidak menjatuhkan talak, di samping juga harus mencermati kriteria pihak yang diancam dan pihak yang mengancam.


Dalam kaitan ini, al-Mawardi menguraikan secara lengkap kriteria pihak yang memaksa, kriteria pihak yang dipaksa, dan kriteria dan bentuk ancaman itu sendiri.


فَإِذَا قَدْ صَحَّ أَنَّ طَلَاقَ الْمُكْرَهِ لَا يَقَعُ، فَالْكَلَامُ فِيهِ مُشْتَمِلٌ عَلَى ثَلَاثَةِ فُصُولٍ: أَحَدُهَا: فِي صِفَةِ الْمُكْرِهِ. وَالثَّانِي: فِي صِفَةِ الْإِكْرَاهِ. وَالثَّالِثُ: فِي صِفَةِ الْمُكْرَهِ، فَأَمَّا الْمُكْرِهُ، فَهُوَ مَنِ اجْتَمَعَتْ فِيهِ ثَلَاثَةٌ شُرُوطٍ...


Artinya, “Jika benar talak orang yang dipaksa tidak jatuh, maka pembahasannya mencakup tiga pasal. Pasal pertama membahas kriteria orang yang memaksa, pasal kedua membahas kriteria paksaan (ancaman), pasal ketiga membahas kriteria orang yang dipaksa. Adapun orang yang dipaksa harus memenuhi tiga persyaratan...”  (Lihat: al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, juz X/231).


Diuraikan oleh al-Mawardi, pihak yang memaksa harus memenuhi tiga kriteria, berkuasa atas pihak yang dipaksa, baik berkuasa secara umum seperti penguasa atau pemerintah, maupun berkuasa secara khusus seperti orang tertentu yang memiliki kekuatan, pencuri, perampok, dan sebagainya.


Kriteria kedua ada dugaan kuat bahwa pihak yang memaksa akan melakukan ancamannya. Sementara jika tidak ada dugaan kuat bahwa pihak pemaksa tidak akan menjalankan ancamannya, atau mungkin menjalankan, mungkin juga tidak, maka itu tidak termasuk pihak yang memaksa.


Kriteria ketiga keadaan pihak yang memaksa bertindak secara zalim. Artinya, jika si pemaksa bertindak dengan haknya atau tidak bertindak zalim, maka tidak bisa disebut sebagai pihak yang memaksa.


Sementara pihak yang dipaksa harus memenuhi tiga kriteria berikut ini. Pertama, tidak mampu menghindari bahaya yang diancamkan si pemaksa terhadap dirinya. Artinya, jika masih mungkin melarikan diri atau menghindari ancaman, tidak termasuk pihak yang dipaksa.


Kedua, pihak yang dipaksa tahu, jika ditakut-takuti dengan ancaman dan pembalasan Allah, si pemaksa tidak surut sedikit pun tekadnya dan tidak berubah sedikit pun sikapnya. Ia tetap bersikeras dengan ancamannya.


Ketiga, jika pihak yang dipaksa menuruti keinginan si pemaksa, namun hatinya sama sekali tidak menginginkannya, maka itu benar termasuk paksaan. Berbeda halnya, menuruti keinginan si pemaksa, namun hati menginginkannya, maka itu tidak termasuk paksaan.


Selanjutnya, kriteria dan bentuk ancaman. Paksaan sendiri adalah mengalamatkan ancaman dan bahaya yang nyata kepada pihak yang dipaksa. Adapun bentuk-bentuk ancamannya antara lain pembunuhan, tindakan melukai, pemukulan, penahanan, perampasan harta, pengusiran, cacian, penghinaan, dan sebagainya. (Lihat: al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, juz X/231).


Berdasarkan sejumlah kriteria tersebut, kiranya pertanyaan Anda dapat dianalisis dan dijawab. Pertama, dari aspek pengancam atau pemaksa. Istri yang mengancam suami menjatuhkan talak dengan senjata tajam jelas berada di posisi yang kuat dan memiliki kekuatan khusus karena genggaman senjatanya di hadapan suami yang bertangan kosong.


Meski demikian, saya tidak tahu penyebab si istri minta ditalak. Apakah penyebabnya berasal dari pihak suami atau istri. Seandainya benar penyebabnya berasal dari pihak suami dan istri ingin dicerainya, maka si istri tidak boleh bertindak di luar koridor. Ia boleh meminta cerai secara baik-baik atau menggugat suaminya melalui jalur Pengadilan Agama. Bukan dengan cara-cara kekerasan dan melanggar hukum.


Kedua, tindakan istri mengancam suami dengan senjata tajam diduga kuat akan terlaksana atau terwujud. Hal itu terlihat ketika si istri benar-benar sudah mengayunkan parangnya. Kemudian yang terakhir, tindakan istri mengancam suami dengan senjata tajam jelas merupakan tindakan yang zalim dan tidak hak.


Kemudian dilihat dari pihak yang dipaksa, apakah suami saat itu masih dimungkinkan untuk menghindari bahaya yang dialamatkan si istri kepada dirinya? Jika mencermati pertanyaan Anda di atas, suami tampak terpojok dengan ancaman istrinya. Kemudian, situasi kemarahan si istri yang sudah memuncak, kiranya sulit dilawan dan diperingatkan dengan peringatan Allah. Terakhir, suami akhirnya mau menuruti keinginan istrinya untuk menjatuhkan talak.


Hanya saja, meski suami menjatuhkan talak, niat hatinya tidak bisa diketahui secara persis. Apakah lisan menjatuhkan talak, hatinya menolak menjatuhkannya? Ataukah karena ancaman itu, hatinya menyertai dan menyetujui jatuhnya talak?


Hal ini kiranya perlu dikonfirmasi kepada yang bersangkutan, yakni pihak suami. Sebab, walau lisannya mengucapkan, tapi jika hatinya tidak menghendaki dan tidak menyetujui talak, talaknya tidak jatuh. Namun, dugaan kuat ancaman si istri membuat suaminya terpaksa menjatuhkan talak demi menyelamatkan diri dari senjata tajam yang hendak diayunkan. Bukan atas dasar kerelaan dan keinginan hati.


Terakhir, ancaman istri terhadap suaminya  jelas-jelas tindakan membahayakan karena dapat melukai anggota badan. Artinya, talak yang dijatuhkan suami karena ancaman istrinya bisa dinyatakan tidak sah karena memenuhi syarat atau kriteria pemaksaan, baik dari pihak yang memaksa maupun yang dipaksa.


Ingat pesan Rasulullah saw dalam sabdanya:


رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَا اُسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ


Artinya, “Terangkatlah (catatan amal) dari umatku berupa perbuatan tak sengaja, perbuatan karena lupa, dan perkara yang dipaksa,” (HR. ath-Thabrani).


Demikian jawaban saya. Semoga bisa dipahami. Kami terbuka menerima saran dan masukan. Terima kasih. Wallahu ’alam.


Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq

Wassalamu ‘alaikum wr wb.


Ustadz M Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.