Assalamu’alaikum. Saya ingin menanyakan perihal arisan. Saya mengikuti arisan dengan menyetorkan uang Rp 31 ribu,- setiap harinya selama 100 hari kepada panitia/bandar arisan. Berdasarkan nomor undian, saya dan anggota lainnya akan mendapatkan uang Rp 3 juta rupiah, sedangkan uang yang Rp 1000,- x 100 harinya diberikan kepada panitia sesuai perjanjian awal. <>
Bagaimana hukum praktik seperti ini pak ustadz? Apakah termasuk riba, karena ada yang menganggap transaksi ini termasuk dalam hutang piutang. Mohon penjelasannya. Wassalaamualaikum wr.wb. (Budi, Bangka Belitung)
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.
Saudara budi yang kami hormati. Sebelum membahas pertanyaan yang anda sampaikan, kami menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas keterlamabatan jawaban yang telah lama anda nantikan.
Dalam hidup bermasyarakat, kita sering berinteraksi (mu’amalah) dengan sesama warga. Antara satu dengan yang lain sudah barang tentu tidak dapat terhindar dari proses pergaulan keseharaian ini. Adanya Interaksi antar individu dengan yang lain meniscayakan adanya kerelaan hati atas tiap transaksi yang dilakukan. Tanpa adanya kerelaan hati akan terjadi ketidak puasan diantara mereka sehingga yang timbul adalah ketidak keharmonisan dalam pergaulan antar sesama.
Oleh karena itu tidak mengherankan kiranya apabila Islam mengatur proses interaksi antar individu ini lebih-lebih yang ada kaitannya dengan pelepasan harta atau pengeluaran dana dan sering dikenal dalam bahasa santri dengan fiqh mu’amalah. Saudara penanya yang disayangi Allah. Memakan harta dengan cara yang batil dan tanpa adanya kerelaan hati dari orang orang maupun pihak-pihak yang terlibat dalam proses transaksi adalah haram hukumnya, hal ini sebagaimana dicetuskan dalam friman Allah surat an-Nisa’ ayat 29:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta diantara kalian dengan cara yang bathil.”
Selain larangan memakan harta dengan jalan yang batal, Allah juga memberikan rambu-rambu yang tegas mengenai keharaman transaksi yang didalamnya terdapat dan mengandung riba.
Selanjutnya menanggapi persoalan arisan sebagaimana saudara sampaikan, ada hal yang nampaknya perlu dijadikan pertimbangan dan diperhatikan yakni mengenai status panitia/bandar arisan tersebut. Apabila ia dianggap sebagai orang yang menghutangi para anggota dan transaksi yang dilakukakannya dengan para anggota arisan tersebut adalah akad utang piutang (qiradlh), serta pengembalian utang dengan nilai lebih bagi panitia disebutkan dalam transaksi, maka hukumnya adalah riba.
Namun apabila panitia/bandar arisan ini statusnya adalah sebagai petugas/pegawai yang layak mendapatkan upah/gaji dalam mengurusi arisan sehingga akad/transaksi yang dilakukan adalah ujrah/upah, maka hal semacam ini hukumnya adalah boleh.
Dalam hal ini, Kami lebih cenderung mengikuti pendapat yang kedua yakni posisi bandar/panitia arisan tersebut adalah petugas yang layak mendapat gaji/upah atas jerih payah yang mereka lakukan.
Mengenai rujukan dapat dilihat dalam banyak kitab fiqih seperti I’anah at-Thalibin dan yang lain. Demikian jawaban singkat ini, mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Maftukhan
Terpopuler
1
Guru Madin Didenda Rp25 Juta, Ketua FKDT: Jangan Kriminalisasi
2
Khutbah Jumat: Meneguhkan Qanaah dan Syukur di Tengah Arus Hedonisme
3
Gus Yahya Dorong Kiai Muda dan Alumni Pesantren Aktif di Organisasi NU
4
MK Larang Wamen Rangkap Jabatan di BUMN, Perusahaan Swasta, dan Organisasi yang Dibiayai Negara
5
Pemerintah Perlu Beri Perhatian Serius pada Sekolah Nonformal, Wadah Pendidikan Kaum Marginal
6
KH Kafabihi Mahrus: Tujuan Didirikannya Pesantren agar Masyarakat dan Negara Jadi Baik
Terkini
Lihat Semua