Bahtsul Masail

Cara Mengetahui Darah Haid Berhenti sesuai Syariat Islam

Rabu, 23 April 2025 | 16:00 WIB

Cara Mengetahui Darah Haid Berhenti sesuai Syariat Islam

Cara mengetahui darah haid (Amien - NU Online)

Assalamu'alaikum wr wb. Izin bertanya Ustadzah. Ada kasus seorang wanita yang suci dari haid dengan acuan bersihnya darah di celana dalam/pembalut tanpa mengecek menggunakan kapas ke dalam farji atau vagina. Hal tersebut ia lakukan sejak awal haid mulai umur sembilan tahun hingga 25 tahun, padahal perempuan tersebut sudah tahu bahwa wajib mengecek ke farji bagian dalam untuk mengetahui tuntasnya darah atau belum. Lantas bagaimana hukum ibadah wanita tersebut? Terimakasih. (Hamba Allah).
 

Jawaban

Penanya yang dirahmati Allah. Perlu diketahui bahwa mengecek berhenti atau tidaknya darah haid hukumnya adalah wajib, sebab hal tersebut berkaitan dengan kapan kita kembali diwajibkan untuk melaksanakan ibadah seperti shalat dan sebagainya.
 

Utamanya saat memang ada dugaan bahwa darah sudah berhenti atau mencapai kebiasaan di mana darah haid seorang wanita berhenti. Ibnu Hajar Al-Haitami menjelaskan:
 

ومن ثم لو اعتاد الانقطاع في جزء من الوقت بقدر ما يسع الوضوء والصلاة ووثقت بذالك لزمها تحريه فاذا وجد الانقطاع فيه لزمها المبادرة بالفرض فقط ولم يجز لها التعجيل بالسنة
 

Artnya, “Karena itu andaikan seorang wanita biasa terputus darah dalam satu waktu sekira cukup digunakan wudhu dan shalat, serta dia yakin atas hal tersebut, maka wajib baginya memperhatikan waktu tadi, sehingga jika ia menemukan darahnya telah terputus wajib baginya segera melaksanakan shalat fardhu saja dan tidak diperkenankan bersegera shalat sunnah.” (Tuhfahul Muhtaj, [Darul Kutub], juz II, halaman144).
 

Sedangkan status terputus atau tidak darah haid menurut Sayyid Abdurrahman As-Segaf ditentukan oleh ada atau tidaknya darah pada jalan keluarnya. Dengan demikian, jika ia melihat darah sudah bersih, maka haid sudah dianggap berhenti dan ia diwajibkan untuk melakukan mandi besar serta segera kembali melaksanakan ibadah fardhu. (Al-Ibanah wal Ifadah, Darurrahmah Al-Islamiyah, halaman 26).
 

Itu artinya wanita dihukumi suci dari haid jika memang betul-betul sudah bersih dari darah. Informasi tersebut tidak cukup didapatkan hanya dengan melihat bersihnya celana dalam, namun harus mengecek langsung pada jalan keluarnya darah atau vagina.
 

Karena kadang kala celana bersih namun setelah vagina diusap masih terdapat darah yang tersisa. Karenanya dalam memastikan bersih atau tidak dari darah haid, ulama menggambarkan wanita mengetahui terputus darah dengan cara meletakkan kapas putih pada jalan keluar darah atau vagina. Ibnu Hajar menjelaskan:
 

وكذا في الانقطاع بان كانت لو ادخل القطنة خرجت بيضاء نقية فيلزمها حينئذ التزام احكام الطهر
 

Artinya, “Begitu juga dalam urusan terputusanya darah, sekira jika memasukan kapas, kapas tersebut keluar dalam kondisi putih dan bersih, maka dalam kondisi demikian wajib bagi wanita tersebut menjalani hukum orang yang suci”. (Al-Haitami, Tuhfah, I/655).
 

Artinya, orang yang dianggap suci harus betul-betul bersih dari segala jenis warna darah yang ada lima (hitam, merah, merah ke kuning-kuningan, kuning, dan keruh). Bagi orang yang tidak melakukan pengecekan darah sebagaimana di atas bisa dipastikan ia tidak akan tahu betul kapan darahnya benar-benar terputus atau tidak.
 

Secara hukum orang yang demikian kiranya perlu diperinci status hukumnya: pertama hal tersebut terjadi karena memang ia tidak mengetahui, atau kedua karena ada unsur kesengajaan.


Bagi orang yang tidak mengetahui hal tersebut dapat dianggap sebagai orang yang jahl ma’dzur (orang yang ketidaktahuannya diampuni). Hal ini karena metode pengecekan darah haid sebagaimana di atas merupakan bagian fiqih yang sedikit mendalam dan tidak semua orang awam mengetahuinya. (Al-Haitami, I/130).
 

Sedangkan bagi orang yang sengaja tidak melakukannya padahal ia tahu ilmunya, maka tidak dapat dimaafkan (ghairu ma’dzur).
 

Karenanya, status hukum keduanya berbeda. Bagi orang yang tidak mengetahui ia tidak berkewajiban untuk mengqadha’ shalat ataupun puasa apapun yang disebabkan ketidakjelasan waktu sucinya, sedangkan orang yang sengaja tidak melakukan hal tersebut memiliki tanggungan atas ketidakjelasan ibadah yang dilakukan, karena ketidakjelasan status waktu sucinya dari haid. Juga adanya kemungkinan tidak sahnya mandi besar yang dilakukannya setelah haid tersebut, sebab tidak ada kejelasan waktu terputusnya darah. Wallau a’lamu bis shawab.
 


Ustadzah Shofiyatul Ummah, Pengajar PP Nurud-Dhalam Sumenep