Bahtsul Masail

Hukum Menafkahi Anak Tiri

NU Online  ·  Rabu, 9 Juli 2025 | 12:00 WIB

Hukum Menafkahi Anak Tiri

Ilustrasi anak tiri. Sumber: Canva/NU Online.

Pertanyaan:
Assalamualaikum Wr. Wb. Min, mau tanya, hukum menafkahi anak tiri dalam Islam, beserta dalil yang jelas. Atas perhatian dan jawabannya kami ucapkan terima kasih banyak. 

Jawaban:
Waalaikumussalam Wr. Wb. Saudara penanya yang budiman kami sampaikan terima kasih sudah berkenan bertanya kepada kami. Semoga saudara penanya dan pembaca setia NU Online selalu dimudahkan oleh Allah SWT dalam segala urusannya.


Dalam setiap keputusan besar, sering kali ada pihak yang menjadi korban. Hal ini terlebih nyata dalam kasus perceraian, terutama bagi keluarga yang telah dikaruniai buah hati. Oleh karena itu, sangat penting untuk mempertimbangkan keputusan perceraian secara mendalam dengan kepala dingin.


Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh suami dan istri, tetapi juga, dan bahkan lebih besar oleh anak-anak yang tidak bersalah. Masa depan mereka bisa terganggu akibat perpisahan orang tua, apalagi jika kemudian diasuh oleh ayah tiri. Baik dari segi kasih sayang maupun pemenuhan nafkah, tidak selalu mudah bagi anak untuk mendapatkan sosok pengganti ayah kandungnya. 


Sebelum menjawab pertanyaan saudara penanya, terlebih dahulu perlu kami tegaskan bahwa yang berkewajiban memberi nafkah kepada anak adalah ayah kandungnya sebagaimana firman Allah SWT:


وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ 


Artinya: "Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut." (Al-Baqarah [2]:233)


فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ 


Artinya: "Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka." (Ath-Thalaq [65]:6)


Para ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil atas kewajiban seorang ayah dalam menafkahi anak. Hal ini karena ayat tersebut menjelaskan kewajibannya memberikan upah menyusui anak. Dengan demikian ayat tersebut menunjukkan kewajiban ayah untuk memenuhi segala kebutuhan anaknya. (Lihat karya Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khatib as-Syarbini, al-Iqna' fi Halli Alfadzi Abi Syuja', [Beirut, Darul Fikr: tt], juz II, halaman 480). 


Lalu, ketika ayah kandungnya tidak ada, maka menurut aturan fiqih yang berkewajiban menafkahi adalah kakeknya. 


يجب على الوالد وإن علا نفقة ولده، وإن سفل. فالأب مكلف بالإنفاق على اختلاف أنواع النفقة على أولاده ذكورًا وإناثًا، فإن لم يكن لهم أب، كلَّف بالإنفاق عليهم الجد أبو الأب القريب، ثم الذي يليه


Artinya: "Wajib bagi ayah (dan kakek ke atas) menanggung nafkah anaknya, meskipun pada tingkatan bawah (cucu, cicit, dan seterusnya). Ayah wajib menanggung segala jenis nafkah anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Jika mereka tidak memiliki ayah, maka kewajiban menafkahi berpindah kepada kakek (ayah dari ayah) yang terdekat, kemudian kepada yang setelahnya." (Musthafa al-Khin, Musthafa al-Bugha dan Ali As-Syarbini, Al-Fiqh al-Manhaji [Damaskus, Darul Qalam, cetakan ketiga: 1992] juz IV, halaman 170).


Dengan demikian secara fiqih yang berkewajiban menafkahi anak adalah ayah kandungnya kemudian kakeknya jika ayahnya telah tiada. Dari sini dapat dipahami bahwa kewajiban menafkahi anak tiri bukan merupakan tanggung jawab ayah tiri melainkan tetap kewajiban ayah kandungnya. 


Menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia dalam Pasal 41 UU Perkawinan sebagai salah satu akibat dari terjadinya perceraian diatur sebagai berikut: 


Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.


Namun demikian, jika ayah tiri dengan suka rela memberikan nafkah kepada anak tirinya meskipun bukan kewajibannya maka hal ini dinilai sebagai perbuatan mulia yang bernilai pahala sebagaimana disebutkan dalam Fatwa Dār al-Iftā' al-Miṣriyyah yang dikeluarkan oleh Mufti Mesir, Ustaz Dr. Syauqi Ibrahim ‘Allām, dengan nomor fatwa 7569 tanggal 2 Maret 2023, yang berjudul " حكم نفقة الرجل على أولاد زوجته " (Hukum Nafkah Suami terhadap Anak-anak Istrinya), disebutkan:


فأولاد الزوجة لا تجب نفقتهم على زوج أمهم، لكنه إن أنفق عليهم متبرعًا فله الأجر والثواب


Artinya: "Anak-anak istri tidak wajib dinafkahi oleh suami ibu mereka. Namun, jika ia memberikan nafkah kepada mereka secara sukarela, maka ia akan mendapatkan pahala."


Walhasil, pada dasarnya ayah tiri tidak mempunyai kewajiban menafkahi anak tiri atau anak istri dari hasil perkawinannya dengan suaminya yang terdahulu akan tetapi jika ia dengan sukarela memberikan nafkah kepadanya maka hal tersebut termasuk perbuatan mulia yang bernilai pahala. Wallahu a'lam


Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo.