Bahtsul Masail

Mengenal Mubahalah yang Sering Dianggap Mudah oleh Banyak Orang

NU Online  ·  Rabu, 25 Juni 2025 | 10:00 WIB

Mengenal Mubahalah yang Sering Dianggap Mudah oleh Banyak Orang

Ilustrasi orang bersumpah dengan kitab suci. Sumber: Canva/NU Online.

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr. wb.
Yth. Redaktur kolomnis bahtsul masail NU Online, saya izin bertanya tentang ketentuan mubahalah yang dengan mudah sering diucapkan oleh orang-orang saat ini. Apa sebenarnya definisi, dalil dan hukumnya, kok akhir-akhir ini mubahalah diucapkan dengan begitu mudah. Terimakasih atas jawabannya. (Syarif Hidayatullah, Tangerang).

 

Jawaban:
Wa’alaikumussalam wr. wb
Penanya yang budiman, semoga kita selalu dalam lindungan hidayah Allah. Akhir-akhir ini kita memang sering mendengar dan menjumpai istilah. Istilah ini seringkali muncul dalam percakapan sehari-hari, bahkan dalam debat yang dangkal atau perselisihan biasa, seseorang dengan mudahnya menantang lawan bicaranya untuk melakukan mubahalah.


Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Muhammad Mutawalli asy-Syarawi, mubahalah adalah suatu bentuk doa bersama antara dua pihak yang berselisih agar laknat diturunkan atas pihak yang berdusta. Contoh doa mubahalah tersebut di antaranya adalah seperti, “Ya Rabb, turunkanlah laknat-Mu atas siapa pun yang berdusta di antara kami.” (Tafsir asy-Syarawi al-Khawathir, [Mathabi’ Akhbar al-Yaum, t.t], jilid IV, halaman 107).


Mubahalah memiliki landasan dalil yang kuat dalam Al-Qur’an, yang kemudian dikenal dengan istilah “ayat mubahalah” dalam kitab-kitab tafsir. Salah satu ayat tersebut adalah sebagaimana ditegaskan, Allah berfirman:


فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ ما جاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعالَوْا نَدْعُ أَبْناءَنا وَأَبْناءَكُمْ وَنِساءَنا وَنِساءَكُمْ وَأَنْفُسَنا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكاذِبِينَ


Artinya, “Siapa yang membantahmu dalam hal ini setelah datang ilmu kepadamu, maka katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu, kemudian marilah kita bermubahalah agar laknat Allah ditimpakan kepada para pendusta.’” (QS Ali ‘Imran, [3]: 61).


Lantas apakah dengan adanya dalil jelas tentang mubahalah di atas bisa dengan mudah bermubahalah untuk konteks saat ini? Tentu saja tidak demikian. Ayat di atas Allah turunkan  ketika delegasi Nasrani dari Najran datang dan mendebat Nabi Muhammad tentang hakikat Nabi Isa. 


Sebagaimana dikisahkan oleh Imam Abu Said Abdullah al-Baidhawi (wafat 685  H), mereka bersikeras bahwa Isa adalah anak Tuhan, dengan alasan ia lahir tanpa ayah, sementara Rasulullah menegaskan bahwa Isa hanyalah hamba dan rasul Allah, sebagaimana Adam yang juga diciptakan tanpa ayah dan ibu.


Perdebatan itu berlarut, hingga Allah memerintahkan Rasulullah untuk mengajak mereka bermubahalah dengan diturunkannya ayat di atas. Ketika Nabi mengajak untuk melakukan mubahalah, mereka tidak langsung menerimanya. Mereka meminta waktu untuk bermusyawarah. Dalam pertemuan itu, salah satu tokoh bijak mereka yang bernama an-Naqib berkata:


لَقَدْ عَرَفْتُمْ نُبُوَّّتَهُ، وَأَنَّهُ مَا بَاهَلَ قَوْمٌ نَبِيَّا إِلَّا هَلَكُوْا


Artinya, “Sungguh kalian telah mengetahui kenabiannya, dan tidaklah suatu kaum pernah bermubahalah dengan seorang nabi melainkan mereka pasti binasa.” (Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, [Beirut: Darul Ihya at-Turats, 1418 H], jilid III, halaman 245).


Lebih lanjut, setelah mendengar nasihat an-Naqib, mereka kembali mendatangi Rasulullah, tidak untuk menerima tantangan mubahalah tersebut, melainkan untuk memilih jalan damai. Mereka menolak untuk bermubahalah, tetapi memilih berdamai dengan membayar jizyah sebagai bentuk kesepakatan hidup berdampingan di bawah pemerintahan Islam.


Dengan demikian, perkara bermubahalah tak semudah dan sesederhana yang banyak orang pahami saat ini. Ia tidak sekadar retorika dalam perdebatan dan panggung saja. Mubahalah yang hendak dilakukan Rasulullah karena sudah menyentuh inti keimanan dan kemantapan hati dalam membela kebenaran yang diyakini, tidak sekadar perbedaan dalam masalah fikih, mazhab, atau pandangan politik.


Selain itu, Rasulullah mengajak bermubahalah pun juga kepada mereka yang mengingkari ajaran Islam, bahkan menganggap Nabi Isa sebagai anak Tuhan, maka sangat wajar jika dalam kondisi seperti itu turun ayat yang memerintahkan Rasulullah untuk mengajak delegasi Najran untuk bermubahalah.


Ironisnya dalam realitas sekarang, kata “mubahalah” sering diucapkan dengan enteng, bahkan dalam perdebatan dan orasi-orasi di atas panggung dan media sosial. Lebih parahnya, orang-orang yang diajak bermubahalah adalah mereka yang masih satu agama, satu aqidah, dan bahkan satu mazhab, yang membedakan adalah masalah-masalah furu’ dan politik saja. Padahal para ulama salaf dan generasi sahabat sangat berhati-hati dalam urusan ini.


Konsekuensinya pun, sebagaimana disebutkan oleh penasihat Bani Najran, an-Naqib, tidak sederhana. Sehingga mereka memilih mundur dari mubahalah setelah mempertimbangkan risikonya yang besar, kemudian lebih memilih jalan damai, yaitu dengan membayar jizyah dan kembali ke negeri mereka.


Maka tidak sepatutnya jika generasi setelah mereka justru mengumbar mubahalah dalam persoalan yang masih bisa diselesaikan dengan diskusi ilmiah, akhlak mulia, dan saling berbaik sangka di antara sesama Muslim.


Oleh sebab itu, para ulama fikih mendefinisikan mubahalah sebagai tindakan saling melaknat antara dua pihak yang berselisih, di mana masing-masing pihak memohon kepada Allah agar melaknat pihak yang berdusta di antara mereka. Dan benar, bahwa istilah ini berasal dari kata al-bahlah yang berarti laknat, dan digunakan dalam konteks ini sebagai bentuk seruan serius kepada Allah agar menimpakan kutukan-Nya kepada siapa pun yang berbuat zalim atau berdusta. Imam Ibnu ar-Rif’ah dalam kitabnya mengatakan:


وَالْمُبَاهَلَةُ: الْمُلاَعَنَةُ، وَالْبَهْلَةُ: اللَّعْنَةُ يُقَالُ: بَهَلَهُ اللهُ أَيْ: لَعَنَهُ اللهُ، وَهُوَ الدُّعَاءُ عَلىَ الظَّالِمِ مِنَ الْفَرِيْقَيْنِ، وَقِيْلَ: هُوَ التَّضَرُّعُ إِلىَ اللهِ تَعَالىَ


Artinya, “Mubahalah adalah saling melaknat, sedangkan al-bahlah berarti laknat. Dikatakan: bahalahullah, artinya semoga Allah melaknatnya. Mubahalah merupakan bentuk doa agar Allah menimpakan kutukan kepada pihak yang zalim dari dua kelompok yang berselisih. Ada pula yang mengatakan bahwa mubahalah adalah bentuk permohonan yang sungguh-sungguh kepada Allah Ta’ala.” (Kifayatun Nabih fi Syarhit Tanbih, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 2009 M], jilid XII, halaman 502).


Karena merupakan tindakan saling melaknat, maka tentu saja mubahalah tidak bisa diucapkan dengan begitu mudahnya, di mana beberapa tokoh sangat sering mengajak mubahalah ketika berbeda pandangan dalam suatu hal. Seorang muslim sejati seharusnya menjaga lisan dan tidak mudah melontarkan doa keburukan kepada sesama, apalagi terhadap sesama saudara seiman. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw bersabda:


لَيْسَ الْمُؤْمِن بِالطَّعَّانِ وَلَا اللّعَّان وَلَا الْفَاحِش وَلَا الْبَذِيء


Artinya, “Seorang mukmin bukanlah orang yang suka mencela, suka melaknat, berbuat keji, dan juga yang berkata kotor.” (HR al-Baihaqi).


Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mubahalah adalah proses saling melaknat melalui doa bersama antara dua pihak yang berselisih, dengan memohon agar Allah menurunkan laknat-Nya kepada pihak yang berdusta.


Landasannya terdapat dalam Al-Qur’an (QS Ali Imran: 61), yang diturunkan ketika Nabi Muhammad saw berdebat dengan kaum Nasrani Najran tentang hakikat Nabi Isa. Meskipun Nabi mengajak mereka bermubahalah, mereka akhirnya memilih berdamai setelah menyadari besarnya risiko yang ditimbulkan.


Namun perlu diingat, mubahalah bukanlah praktik yang boleh dilakukan secara sembarangan, apalagi untuk perselisihan sepele atau perbedaan pendapat dalam masalah furu’ (cabang) atau politik. Ia hanya dilakukan dalam situasi ekstrem, misalnya ketika kebenaran agama yang fundamental dipertentangkan dan tidak ada jalan lain selain mubahalah.


Sayangnya di era sekarang, istilah mubahalah sering disalahgunakan. Ia seringkali dilontarkan dalam perdebatan biasa, bahkan terhadap sesama Muslim yang seiman. Padahal para ulama dan sahabat sangat berhati-hati dalam hal ini. Tidak hanya itu, Rasulullah juga mengajarkan agar seorang Muslim tidak mudah mencela, melaknat, atau berucap kasar kepada orang lain. Oleh karena itu, mubahalah harus dipahami sebagai langkah serius yang hanya dilakukan dalam kondisi sangat khusus, bukan sebagai retorika emosional dalam perselisihan sehari-hari.


Karena itu, mereka yang ditantang untuk mubahalah dalam urusan-urusan cabang (furu’iyyah), tidak sepantasnya merasa gentar atau dianggap pengecut. Justru, sikap menolak ajakan tersebut dalam hal-hal yang masih bisa diselesaikan dengan ilmu, adab, dan musyawarah, merupakan pilihan paling tepat. Sebab Islam tidak mengajarkan penyelesaian konflik dengan saling melaknat atau bermubahalah, kecuali dalam kondisi yang benar-benar mendesak dan menyangkut prinsip keimanan yang pokok sebagaimana contoh di atas.


Demikian jawaban kami tentang mubahalah yang sering dianggap remeh oleh sebagian orang. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Kami juga menerima saran dan masukan. Terimakasih. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq. Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.