Syariah

Aset Wakaf Masjid Dikembangkan lewat Usaha Ekonomi?

Kam, 26 September 2019 | 09:00 WIB

Aset Wakaf Masjid Dikembangkan lewat Usaha Ekonomi?

Mengelola aset wakaf masjid secara ekonomi di satu sisi upaya cerdas menjadikan masjid semakin terawat dan mandiri secara ekonomi, tapi di sisi lain punya risiko kerugian tersendiri.

Sebagai barang yang wajib dijaga kelestariannya, barang wakaf tentu membutuhkan biaya perawatan yang cukup. Selain itu hak maquf ‘alaihi (orang yang diberi wakaf) untuk memanfaatkan fasilitas barang wakaf wajib dipenuhi. Oleh sebab itu, tugas nazir (pengelola wakaf) tidak hanya menjaga fisik barang wakaf, tapi juga mengembangkan asetnya.
 
Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’i mengatakan:
 
وَوَظِيْفَةُ النَّاظِرِ حِفْظُ الْأُصُوْلِ وَثَمْرَتُهَا عَلَى وَجْهِ الْاِحْتِيَاطِ كَوَلِيِّ الْيَتِيْمِ كَمَا يَتَوَلَّى الْإِجَارَةَ وَالْعِمَارَةَ
 
“Kerja nazir adalah menjaga pokok harta wakaf dan hasilnya atas jalan kehati-hatian seperti wali anak yatim, sebagaimana ia bekerja menyewakan dan membangun harta wakaf” (Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’i, Takmilah al-Majmu’, juz  15, hal.  363).
 
Misalnya ada sebidang tanah yang diwakafkan untuk masjid, nazir wajib mengelola tanah tersebut agar menjadi produktif dengan cara disewakan, ditanami, atau lainnya. Setelah menuai hasil, uang pemasukannya dimanfaatkan untuk ‘imarah al-masjid, yaitu segala kebutuhan yang berkaitan dengan fisik masjid. Bisa juga dibelikan tanah untuk memperluas wilayah tanah milik masjid.
 
Baca juga:
 
Ketentuan ini berlaku bila shighat (ungkapan) pewakafan tanah diperuntukan untuk kemaslahatan masjid atau wakaf yang mutlak. Contoh sighat wakaf tanah untuk kemaslahatan masjid: “Aku wakafkan tanah ini untuk kemaslahatan masjid”. Contoh shighat wakaf mutlak: “Aku wakafkan tanah ini untuk masjid.” 
 
Jika shighat pewakafannya dibatasi untuk ‘imarah al-masjid, misalnya pewakaf mengatakan, “Aku wakafkan sebidang tanah ini untuk kebutuhan pembangunan fisik masjid”, maka hasil pengembangan tanah tersebut hanya boleh dialokasikan untuk kebutuhan pembangunan fisik masjid, tidak diperbolehkan dibelikan tanah atau inventaris lainnya.
 
Selama kebutuhan fisik masjid belum terpenuhi, hasil pengembangan aset wakaf milik masjid tidak diperbolehkan dibuat usaha, semisal dengan memperdagangkan. Sebab nazir wajib mendahulukan kebutuhan masjid yang paling mendesak, dalam hal ini adalah merawat fisik masjid.
 
Masalah muncul ketika kebutuhan masjid sudah terpenuhi. Apakah saldo tersebut boleh diperdagangkan? Di satu sisi memperdagangkan aset wakaf milik masjid adalah upaya cerdas menjadikan masjid semakin terawat dan mandiri secara ekonomi. Di sisi yang lain, memperdagangkan memiliki risiko kerugian yang tidak terduga.
 
Dalam titik ini, ulama berbeda pendapat. Sebagian melarang praktik memperdagangkan tersebut. Menurut pendapat ini, uang saldo pengembangan aset wakaf milik masjid yang berkecukupan wajib disimpan untuk kebutuhan masjid di masa mendatang. 
 
Sebagian ulama muta’akhirin (kontemporer) memperbolehkannya. Kebolehan memperdagangkan ini tidak bertentangan dengan salah satu tugas nazir, yaitu mengembangkan aset barang wakaf. Berpijak dari pendapat yang membolehkan, teknis memperdagangkan wajib dikelola dengan baik dan penuh kehati-hatian, misalnya dengan melibatkan tenaga profesional dengan kemampuan manajemen yang kredibel, hal ini untuk mengantisipasi kerugian yang berdampak buruk kepada keuangan masjid. 
 
Syekh Syihabuddin al-Qalyubi mengatakan:
 
تَنْبِيهٌ لَوْ زَادَ رَيْعُ مَا وُقِفَ عَلَى الْمَسْجِدِ لِمَصَالِحِهِ أَوْ مُطْلَقًا اُدُّخِرَ لِعِمَارَتِهِ وَلَهُ شِرَاءُ شَيْءٍ بِهِ مِمَّا فِيهِ زِيَادَةٌ عَلَيْهِ، وَلَوْ زَادَ رَيْعُ مَا وُقِفَ لِعِمَارَتِهِ لَمْ يُشْتَرَ مِنْهُ شَيْءٌ وَيُقَدَّمُ عِمَارَةُ عَقَارِهِ عَلَى عِمَارَتِهِ وَعَلَى الْمُسْتَحِقِّينَ، وَإِنْ لَمْ يَشْتَرِطْهُ الْوَاقِفُ كَذَا فِي الْعُبَابِ 
 
“Peringatan. Bila saldo aset yang diwakafkan atas masjid untuk kemaslahatannya atau wakaf mutlak melebihi kebutuhan masjid, maka disimpan untuk kebutuhan pembangunan masjid, nazir diperbolehkan membeli sesuatu dengan saldo tersebut dari perkara-perkara yang dapat menambah wilayah masjid. Bila saldo aset yang diwakafkan untuk ‘imarah masjid melimpah, maka tidak boleh dibelikan apa pun. Dan wajib didahulukan membangun tanah masjid atas bangunan fisik masjid dan kebutuhan orang-orang yang berhak, meski tidak disyaratkan oleh pewakaf.”
 
وَيَجِبُ عَلَى نَاظِرِ الْوَقْفِ ادِّخَارُ شَيْءٍ مِمَّا زَادَ مِنْ غَلَّتِهِ لِعِمَارَتِهِ وَشِرَاءُ عَقَارٍ بِبَاقِيهِ وَأَفْتَى بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ بِجَوَازِ الِاتِّجَارِ فِيهِ إنْ كَانَ مِنْ وَقْفِ مَسْجِدٍ وَإِلَّا فَلَا وَسَيَأْتِي إِقْرَاضُهُ
 
“Dan wajib atas nazir wakaf menyimpan dana yang melebihi (kebutuhan wakaf) dari hasil wakaf untuk pembangunan wakaf dan membeli tanah dengan sisanya. Sebagian ulama muta’akkhirin berfatwa kebolehan memperdagangkan dana tersebut bila berasal dari wakaf masjid, bila tidak demikian maka tidak diperbolehkan” (Syekh Syihabuddin al-Qalyubi, Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala al-Mahalli, juz 3, hal. 108).
 
Pendapat sebagian ulama muta’akhhirin dipilih oleh para kiai dalam Konferensi Besar Pengurus Besar Syuriyah Nahdlatul Ulama ke-2 yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 1-3 Jumaadil Ula 1381 H/11 - 13 Oktober 1961 M.
 
Demikian bunyi keputusannya:
 
Soal: Apakah boleh memperdagangkan barang wakaf?
 
Jawab: Kalau yang dimaksud barang wakaf itu barang hasil dari wakaf untuk masjid yang lebih dari kebutuhan masjid, maka hukumnya menurut fatwa sebagian ulama akhir adalah boleh (tidak dilarang) diperdagangkan. Kalau tidak demikian, artinya mauquf ‘alaih bukan masjid, atau tidak lebih dari kebutuhan mauquf ‘alaih maka haram diperdagangkan.
 
Para masyayikh dalam forum tersebut merujuk referensi dalam kitab Hasyiyah Umairah sebagai berikut:
 
(فَرْعٌ) فَضُلَ مِنَ الْوَقْفِ شَيْءٌ هَلْ يَجُوْزُ اْلإِتِّجَارُ فِيْهِ أَفْتَى الْمُتَأَخِّرُوْنَ بِالْجَوَازِ إِنْ كَانَ لِلْمَسْجِدِ وَإِلاَّ فَلاَ .
 
“Bila ada sejumlah harta wakaf tersisa, apakah boleh memperjualbelikannya? Para ulama mutaakhkhirun berfatwa dengan memperbolehkannya, bila sejumlah harta wakaf itu milik masjid. Bila bukan, maka tidak boleh” (Syekh Umairah, Hasyiyah Umairah ‘ala al-Mahalli, juz 3, hal. 111).

 
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.