Syariah

Bolehkah Membeli Emas dengan Cara Mengangsur?

Jum, 9 Oktober 2020 | 14:30 WIB

Bolehkah Membeli Emas dengan Cara Mengangsur?

Karena emas merupakan barang ribawi, maka segala ketentuan yang berlaku atasnya adalah juga mengikut tata cara penggunaan barang ribawi.

Sudah menjadi kemakluman bersama bahwa emas merupakan produk barang ribawi. Selain emas, ada juga perak dan semua jenis bahan makanan yang dikonsumsi oleh manusia.

 

Karena merupakan produk barang ribawi, maka segala ketentuan yang berlaku atasnya adalah juga mengikut tata cara penggunaan barang ribawi. Termasuk ketika emas tersebut harus ditukarkan dengan emas, atau dengan perak, atau ke produk barang ribawi yang lain.

 

Jika emas itu ditukarkan dengan sesama jenisnya, maka wajib berlaku ketentuan wajibnya tamatsul (sama takaran, timbangan dan ukuran), taqabudl (saling serah terima dalam penguasaan), dan hulul (diketahui jatuh tempo pelunasannya).

 

Di dalam ketentuan hadits yang menjelaskan praktik bisnis emas ini, dua ketentuan yang disampaikan secara langsung oleh Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah matsalan bi matsalin (sesama jenis) dan yadan bi yadin (tangan dengan tangan). Untuk idiom pertama, para fuqaha’ menyatakan kesepakatannya. Namun, untuk idiom kedua (yadan bi yadin), para ulama berbeda pendapat.

 

Sebagian ulama menyatakan bahwa maksud yadan bi yadin adalah harus kontan, serah terima harga dan barang secara langsung. Sebagian yang lain menyatakan bukan harus kontan, melainkan terjadinya pindah kuasa (qabdlu).

 

Itu sebabnya, kemudian dlabith (batasan) dari yadan bi yadin ini diuraikan oleh para fuqaha’, dengan menetapkan adanya syarat: (a) taqabudl, yaitu saling menyerahkan kekuasaan atas barang kepada pihak lainnya, dan (b) syarat hulul, yaitu ditetapkannya batasan jatuh tempo masa pelunasan angsuran (hulul al-ajli), khususnya pada praktik jual beli secara mencicil (nasa’).

 

Dengan demikian, syarat hulul ini pada dasarnya tidak berlaku atas praktik tukar-menukar barang ribawi sejenis, bila praktik pertukarannya menggunakan sistem kontan dan jual beli tempo (bai’ bi al-tsamani al-ajil). Mengapa? Karena di dalam kedua model tukar menukar ini, tidak memerlukan pembatasan waktu penyerahan.

 

Pada akad jual beli secara kontan, pertukaran langsung dilakukan seketika di majelis akad secara tunai. Dan hal ini merupakan sebuah keniscayaan. Alhasil, tidak perlu adanya syarat hulul al-ajal (masa jatuh tempo).

 

Demikian halnya, dengan jual beli secara tempo (bai bi al-ajal). Syarat hulul ini tidak diperlukan, sebab jika ada syarat hulul, maka tidak ada bedanya antara jual beli tempo dengan jual beli dengan jalan mengangsur (nasa’) selama waktu tertentu.

 

Jadi, pada akad jual beli secara angsuran inilah syarat hulul itu berlaku, sebagai wujud penyempurnaan dari idiomatik yadan bi yadin sebagaimana yang sudah disinggung terdahulu, yang menurut ulama madzhab empat dimaknai sebagai pindah kuasa atas suatu kepemilikan barang yang dibeli secara tunai di majelis akad. Penjual menguasai atas harga (tsaman) dan pembeli menguasai atas barang (mutsman).

 

Dengan mencermati ketiga konsep jual beli secara kontan, tempo dan angsuran di atas, maka larangan yang berlaku atas pertukaran barang ribawi sejenis dan tidak sejenis juga masuk ke dalam tiga skema akad jual beli tersebut. Larangan tersebut adalah terjadinya praktik riba.

 

Riba sendiri, makna dasarnya adalah al-ziyadah fi al-ain, yaitu tambahan yang berlaku atas fisik barang atau harga. Sebagaimana praktik dasar dari riba bisa diketahui berdasarkan konsepsi riba al-fadhli, yaitu kelebihan atas salah satu dari pertukaran 2 barang ribawi sejenis secara kontan. Emas 1 kg, ditukar dengan emas 1,1 kg. Akad semacam ini adalah termasuk riba al-fadhli. Seharusnya, yang berlaku adalah emas 1 kg, ditukar dengan emas 1 kg. Tidak boleh disyaratkan lebih di salah satu barang yang ditukar. Ini konsepp dasar riba.

 

Bagaimana bila disertai adanya jeda waktu?

Ketika pertukaran 2 barang ribawi sejenis harus disertai adanya jeda waktu penyerahan, sehingga salah satu barangnya harus ditunda penyerahannya di belakang, maka akad semacam ini masuk rumpun akad qardl (utang).

 

Saya utang emas ke anda seberat 1 kg, maka saya berkewajiban mengembalikan emas 1 kg pula, tidak boleh disyaratkan lebih. Jika terjadi lebih, maka kelebihan itu masuk kategori riba al-qardli (riba utang).

 

Karena di dalam utang itu meniscayakan adanya 2 barang yang saling berganti secara fisik yang dipertukarkan, maka akad utang semacam ini juga bisa diartikan sebagai akad pertukaran (muawadlah) yang disertai tempo penyerahan. Akad pertukaran dengan disertai tempo penyerahan merupakan istilah lain dari bai’ bi al-ajal (jual beli tempo).

 

Jadi, konsepsi dasar akad utang (qardl) dengan akad jual beli tempo (bai bi al-ajal) adalah sama, yaitu sama-sama pertukaran yang disertai tempo. Alhasil, jika tidak mau disebut utang, ya sebut saja tukar (jual beli) dengan tempo! Demikian pula sebaliknya, jika tidak mau disebut jual beli tempo, ya sebut saja sebagai utang! Langkah solutif, bukan?

 

Itulah sebabnya, dalam jual beli tempo, jika obyek harganya adalah emas, sementara barang yang dihargai (mutsman) adalah emas pula, maka kaidah dasar kesamaan jenis, berat dan takaran itu juga harus sama. Dalam hal ini, berlaku syarat, yaitu tidak boleh lebih di salah satu barang yang ditukarkan.

 

Bagaimana bila harga yang ditukar itu berganti dengan uang, sementara barangnya adalah emas?

 

Dalam kondisi semacam ini, maka uang menduduki maqamnya emas pengganti (‘iwadl) yang berperan sebagai harga (tsaman) untuk menggantikan fisik emas yang diserahkan. Asalnya, emas (tsaman) ditukar dengan emas (mutsman)”, berubah menjadi uang (tsaman) ditukar dengan emas (mutsman). Alhasil, uang menduduki maqam emas yang pertama, sehingga berlaku sama-sama sebagai tsaman.

 

Yang perlu dicatat adalah bahwa setiap transaksi pertukaran, meniscayakan salah satunya adalah berperan sebagai harga (tsaman) dan satunya lagi sebagai barang yang dibeli (mutsman).

 

Meskipun, dua barang yang ditukar itu berupa emas dengan emas. Emas yang diserahkan bisa berlaku sebagai tsaman, dan emas berikutnya bisa berlaku sebagai mutsman. Demikian pula sebaliknya.

 

Karena uang menduduki maqam emas dalam tsaman (harga), maka hal yang harus diperhatikan dalam akad pertukaran itu adalah wajib memenuhi harga yang disepakati saat terjadinya penyerahan harga / barang di majelis akad sebelum berpisah majelis (taqabudl qabla tafarruq al-majelis).

 

Jika harga emas 1 gramnya, disepakati sebagai 1 juta di majelis akad (misalnya), maka harga 1 kg emas, adalah sebesar 100 juta. Artinya, jika pihak pembeli sudah membawa pulang emas seberat 1 kg, maka kelak saat ia menyerahkan harganya di belakang hari, maka harga itu wajib sebesar 100 juta. Tidak boleh berubah menjadi lebih dari harga tersebut.

 

Jika terjadi kelebihan dari nilai 100 juta, maka tak diragukan lagi, bahwa telah terjadi praktik riba al-yad dalam akad jual beli itu, yaitu kelebihan dari harga yang disepakati akibat jual beli tempo barang ribawi.

 

Lantas, bagaimana dengan jual beli emas, kemudian harganya dicicil?

Jual beli dengan jalan mencicil (mengangsur) pada dasarnya adalah sama dengan jual beli tempo, akan tetapi dibatasi oleh waktu, yaitu masa jatuh tempo (hulul al-ajal). Sementara itu, jual beli tempo adalah istilah lain dari akad qardl (utang).

 

Berangkat dari konsep dasar utang (qardl) ini, kita bisa memahami, bagaimana akad jual beli emas itu bisa dilakukan dengan jalan mencicil.

 

Jika anda utang uang sebesar 100 juta, anda bisa melunasinya dengan 2 jalan, yaitu: (a) dengan jalan melunasinya secara langsung 100 juta, dan (b) melunasinya dengan jalan mengangsur.

 

Suatu misal, anda mengangsurnya selama 10 bulan, dengan kewajiban per bulannya menyerahkan uang sebesar 10 juta. Degan jalan mengangsur sebesar 10 juta per bulan ini, maka ketika genap 10 bulan, utang anda sebesar 100 juta itu menjadi lunas.

 

Jika uang menduduki maqamnya emas, maka uang sebesar 100 juta itu hakikatnya juga merupakan barang yang menduduki maqam emas. Uang yang anda gunakan untuk mengangsur, juga menduduki maqamnya emas.

 

Ketika genap 10 bulan, angsuran anda genap 100 juta, secara tidak langsung, uang angsuran itu juga menduduki maqam angsuran emas yang kadarnya adalah sama takaran dan timbangannya dengan uang 100 juta yang anda bawa sebelumnya.

 

Alhasil, jika utang uang yang notabene menduduki maqam emas, kemudian dilunasi dengan jalan mengangsur adalah boleh, maka membeli emas dengan jalan mengangsur hukumnya juga boleh. Sebab, utang pada hakikatnya adalah akad pertukaran dua barang ribawi yang sejenis.

 

Perhatikan silogisme berikut:

  • Emas (tsaman) bertukar dengan emas (mutsman).
  • Emas (tsaman) bertukar dengan uang 100 juta (mutsman).
  • “Utang yang dibayar dengan angsuran 10 juta per bulan selama 10 bulan” (tsaman) bertukar dengan uang 100 juta (mutsman).
  • Uang 100 juta (tsaman) bertukar dengan uang 100 juta (mutsman)
  • Uang 100 juta (dengan kes atau diangsur selama 10 bulan) bertukar dengan emas 1 kg.

 

Lamanya waktu angsuran selama 10 bulan ini, menempati maqam hulul al-ajal. Unsur taqabudl, terpenuhi saat kesepakatan harga dan barang itu terjadi di majelis akad, dengan barang yang terdiri dari emas 1 kg, berubah menjadi milik pembeli, dengan harga yang diserahkan secara angsuran.

 

Apakah praktik angsuran seperti ini tidak menerjang larangan melakukan riba nasiah?

Sebagaimana riba al-yad, yang terjadi akibat harganya tidak disepakati di majellis akad, melainkan harganya ditetapkan saat penyerahan uang, maka demikian halnya yang terjadi pada riba nasiah.

 

Riba nasiah dicirikan dengan harga barang ribawi yang dibeli, ditetapkan menurut pola hitungan sebagai berikut:

 

Pertama, hitungan harga saat jatuh tempo. Misalnya, harga saat membawa barang adalah 100 juta per 1 kg. Kemudian harga saat jatuh tempo berlaku sebesar 110 juta. Kemudian keputusan harga yang harus dilunasi pembeli menjadi sebesar 110 juta. Ini adalah salah satu ciri riba nasiah.

 

Kedua, hitungan harga dihitung menurut naik turunnya harga emas saat penyerahan uang angsuran setiap bulannya. Misalnya, membawa emas seberat 1 kg. Harga emas di bulan pertama angsuran adalah sebesar 101 juta per kg, sehingga angsuran bulan pertama menjadi 10,1 juta. Bulan kedua, harga emas berubah menjadi 105 juta per kg, sehingga angsuran di bulan kedua berubah menjadi 10,5 juta. Demikian seterusnya ditetapkan berdasar hisab harga per satuannya, maka di situ besaran angsuran ditetapkan besarannya. Akad semacam ini adalah termasuk akad riba nasiah yang diharamkan.

 

Praktik sebagaimana dua mekanisme di atas yang dikenal sebagai praktik riba nasiah yang dilarang. Secara jual beli, akad tersebut merupakan praktik gharar, sebab ketiadaan jelasnya harga barang yang dibeli. Harga barang berlangsung spekulatif (leverage).

 

Lain halnya bila praktiknya semacam ini:

 

“Harga emas 1 kg sebesar 100 juta yang disepakati pada saat di majelis akad dan akan dilunasi dengan jalan mengangsur selama 10 bulan. Selanjutnya emas tersebut diberikan kepada pihak pembeli. Pihak pembeli membayar angsurannya sebesar 10 juta per bulan, sehingga ketika jatuh tempo, utang harganya genap terlunasi sebesar 100 juta.”

 

Praktik semacam ini, dalam pandangan Syekh Wahbah al-Zuhaili dilarang karena alasan dasar saddu al-dzariah (antisipasi dampak negatif), sebab bisa menyeret seseorang ke dalam praktik riba nasiah. Namun, jika hal terakhir ini disimak lebih lanjut lewat mekanismenya, maka hukumnya adalah boleh dengan qiyas terhadap utang yang bisa diangsur pelunasannya.

 

Adapun terkait dengan praktik saddu al-dzariah (antisipasi dampak negatif) sebagaimana yang disampaikan Syekh Wahbah tersebut, adalah tidak mengurangi kebolehan praktiknya, sebagaimana anggur yang diperas dan bisa diproduksi sebagai cuka atau sebagai khamr.

 

Jika perasan anggur itu diproduksi hendak dijadikan sebagai khamr (muqtadla al-aqdi), maka tak diragukan lagi bahwa hukum memeras anggur tersebut hukumnya adalah haram. Akan tetapi, jika perasan anggur tersebut diproduksi dengan tujuan (muqtadla al-aqdi) sebagai cuka, maka tak diragukan lagi bahwa hukum memeras anggur adalah boleh. Alhasil, segala praktik muamalah pada hakikatnya adalah boleh, namun dikembalikan lagi pada ada atau tidaknya larangan yang mengharamkan.

 

Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur