Syariah

Hak dan Kewajiban saat Akad Mudharabah Batal di Tengah Jalan

Sel, 24 September 2019 | 03:30 WIB

Hak dan Kewajiban saat Akad Mudharabah Batal di Tengah Jalan

Meski transaksi rusak di tengah jalan, pengelola tetap berhak menerima upah dari pemodal. Berapa jumlahnya?

Akad mudharabah merupakan akad yang bersifat jaiz (boleh) dengan pangkal ikatan transaksi yang bersifat kelaziman atas pihak yang bertransaksi. Disebut lazim, mengingat akad ini bisa dihentikan kapan saja oleh pihak yang terlibat sesuai dengan perjanjian waktu.
 
Karena akad mudharabah bersifat lazim maka penyerahan harta yang dilakukan oleh pemilik modal kepada pengelola merupakan modal amanah. Dengan demikian, penyaluran dan pengelolaannya tidak boleh menyalahi yang disyaratkan oleh pemodal saat akad. 
 
Ditilik dari cara melakukan penyerahan modal oleh pemodal kepada pengelolanya, maka mudharabah ini dibagi menjadi dua, yaitu:
 
1. Adakalanya pemodal hanya menyerahkan berupa harta saja untuk dikembangkan dan dikelola. Sementara itu, jenis usaha yang dibuka diserahkan sepenuhnya kepada pengelola. Akan tetapi, nisbah bagi hasilnya sudah ditentukan sejak awal. Akad mudharabah semacam ini disebut dengan mudharabah muthlaqah. Disebut mutlak disebabkan karena ketiadaan batas ruang penyaluran. Pemodal cukup hanya tahu bahwa bila ada keuntungan dari hasil usaha, maka ia berhak atas bagi hasil keuntungan yang sudah disepakati.
 
2. Adakalanya pemodal menyerahkan harta kepada pengelola dengan disertai ketentuan wilayah kerja operasional pengelolaannya. Misalnya: pemodal menyerahkan harta kepada pengelola untuk membeli ternak dan dikelola di wilayah tertentu. Akad mudharabah semacam ini disebut dengan mudharabah muqayyadah. Disebut muqayyadah karena dibatasinya ruang pengelolaan oleh pemodal. 
 
Mengingat sifat dari pemberian modal ini adalah atas dasar menolong pengelola untuk modal menjalankan usaha, maka kewajiban yang berlaku dan bersifat mengikat atas pengelola adalah dia harus amanah dengan harta modal tersebut dan menyalurkan ke ruang yang dibenarkan oleh syariat. Dalam mudharabah muqayyadah, pengelola wajib menyalurkan ke ruang yang sudah digariskan. Bila ternyata ia telah menyalurkan ke ruang yang tidak digariskan atau ditentukan oleh pemodal, maka ia bisa disebut telah berlaku khianat. Akad mudharabah bisa di-fasakh (dibatalkan) oleh pihak pemodal, dengan ketentuan pihak mudlarib (pengelola) diberikan ujrah (gaji) yang distandarkan dengan gaji pekerja pada umumnya (ujrah mitsil). 
 
Demikian pula sebaliknya, apabila pihak pengelola menemukan gelagat bahwa pihak pemodal telah melanggar kesepakatan dengan mempersempit ruang gerak mudlârib dalam melakukan pengelolaan hartanya. Dalam kondisi demikian, maka pihak pengelola bisa melakukan fasakh atas akad yang dilakukan. Adapun akad mudharabah yang dilaksanakan menjadi mudharabah fâsidah (akad bagi hasil yang rusak). Di saat yang demikian ini, maka mudlârib berhak atas ujrah mitsil
 
Baca juga:
 
Syekh al-Zuhaili menjelaskan ketentuan ujrah mitsil bagi mudlârib di saat akad mudhárabah yg dilaksanakan menjadi fasad (rusak), yang salah satunya sebagai berikut:
 
ولو شرط في المضاربة كون جميع الربح للمضارب، فالعقد قرض عند الحنفية والحنابلة، وهو مضاربة فاسدة عند الشافعية، وحينئذ يكون للعامل أجرة مثل عمله؛ لأن مقتضى المضاربة الاشتراك في الربح، فإذا شرط استئثار العامل بالربح، كان الشرط فاسداً
 
Artinya: "Andai disyaratkan dalam mudhârabah bahwa total keuntungan adalah milik mudlârib (pengelola), maka akad yang berlangsung berubah menjadi akad qardl (utang modal), sebagaimana hal ini menurut Hanafiyah dan Hanabilah. Inilah akad mudharabah yang fasidah (rusak) sebagaimana disebut kalangan Syafiiyah. Dalam kondisi demikian, maka hak yang berlaku bagi pelaksana (amil) adalah menerima ujrah (upah jasa) setara dengan kerja yang dilakukan (ujrah mitsil), karena tujuan dasar dari diadakannya akad mudharabah adalah bersama-sama dalam pembagian keuntungan. Maka dari itu, setiap syarat yang berpengaruh terhadap amil dalam mendapat bagian keuntungannya, maka syarat tersebut adalah syarat yang fasad (rusak)." (Al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islâmi wa Adillatuhu, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1984: 4/849). 
 
Dalam kitab Hasyiyah al-Qalyubi dijelaskan bahwa:
 
وبالمثل صورة في الصحيح والقراض والمساقاة والإجارة، فإنها مضمونة في الفاسد بأجرة المثل، وفي الصحيحة بالمسمى
 
Artinya: "Gambaran dari mencari nilai yang sepadan (mitsil) terhadap kerja yang sudah dilakukan amil ini - menurut pendapat yang shahih, untuk akad qiradl, musâqahdan ijârah - adalah, bahwa sesungguhnya dalam akad yang fasid (rusak), maka tempuh risiko diberikan dalam bentuk ujrah mitsil. Sementara untuk aqad yang benar, maka harus dilakukan dengan yang sudah disebutkan dalam akad." (al-Qalyubi, Hasyiyah al-Qalyûby Syarah Minhaju al-Thâlibîn, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, tt: 439)
 
Berdasar keterangan dari al-Qalyùbi ini, kedudukan ujrah mitsil adalah merupakan bagian dari risiko akibat rusaknya akad. Jadi, dalam mudharabah fâsidah, berlaku ujrah mitsil bagi pihak amil sebagai bagian dari penghargaan atas keringat yang sudah dikeluarkan oleh 'amil. Betapa indahnya agama Islam dalam menghargai jerih payah seseorang dan melindungi hak kerja yang sudah dilakukan. 
 
Sampai di sini, ada hikmah yang patut dicatat, yaitu bahwa rusaknya akad tidak berarti batalnya penghargaan yang harus diterima oleh seorang amil. Mencari nilai standar atas usaha yang dilakukan adalah bagian dari manajemen risiko timbulnya kerugian yang lebih besar bagi seorang amil. Wallahu a'lam bish shawab.
 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur