Syariah

Hukum Mencari Penghasilan dari Pengakses Aplikasi

Sab, 6 Juni 2020 | 03:15 WIB

Hukum Mencari Penghasilan dari Pengakses Aplikasi

Apakah aplikasi-aplikasi yang membuahkan koin yang dapat dirupiahkan itu merupakan pendapatan yang halal?

Hari ini, ada banyak aplikasi yang menjanjikan penghasilan atau pendapatan bagi pembacanya. Tentu ini menjadi sebuah hal menarik bagi para pengguna handphone. Apalagi di tengah masa Pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, ada banyak masyarakat kehilangan pekerjaan karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaan guna melakukan efisiensi kerja industri.


Sebenarnya kehadiran aplikasi semacam sudah lama hadir di dunia maya. Mereka menawarkan koin atau poin yang bisa dirupiahkan setelah mencapai kuota tertentu yang disyaratkan. Sudah pasti, masing-masing mengajukan syarat, di antaranya menginstall aplikasi tersebut di pesawat handphone pengguna.


Ada banyak ragam aplikasi yang ditawarkan. Ada yang berbasis berita, game, atau bentuk lainnya. Jika aplikasi itu berbasis game, barang kali tidak ada masalah sebab game biasanya dipasarkan dengan jalan kerja sama developer dan seseorang yang menciptakan game. Namun, ketika aplikasi itu berbentuk berita, maka hubungannya sudah pasti bersangkutan dengan hak kekayaan intelektual. Jika ada itikad baik dari developer untuk bekerja sama dengan pemilik asal berita, maka setidaknya izin yang diberikan kepadanya sudah dapat dijadikan alasan bagi halalnya sumber pendapatan developer dan yang dibagikan kepada penggunanya. 


Pertanyaan dari para pengguna, apakah dengan menjalankan aplikasi-aplikasi di atas, kemudian mendapatkan koin yang pada akhirnya bisa dirupiahkan itu sebagai pendapatan yang halal?


Jika kita menelurusi dari pola pemberian koin beberapa aplikasi di atas, terlepas dari apakah sumber keuangan mereka halal atau tidak, maka dalam hemat penulis, pendapatan yang diraih oleh pengguna adalah pendapatan dari akad ju’alah (sayembara). Sebab, berdasarkan penjelasan yang diturutsertakan pihak developer di playstore mereka membayar pembaca setelah pembaca mendapatkan poin yang disyaratkan. Misalnya setelah 15 detik, mereka mendapatkan 0.01 Euro. Jika saldo koin sudah terkumpul sebanyak 50 Euro, maka koin itu baru bisa dirupiahkan.


Pada aplikasi Cashzine misalnya, pendapatan itu dapat diperoleh melalui dua mekanisme. Pertama, dengan jalan membaca berita yang disajikan oleh aplikasi. Dari setiap akses berita, pengguna aplikasi mendapatkan 50 koin. Dalam aturannya, mereka menstandarkan bahwa 5000 koin Cashzine bisa ditukar menjadi uang 1000 rupiah. Artinya, untuk mendapatkan 10 ribu rupiah, maka koin yang harus didapatkan adalah sebanyak 50 ribu koin, dan seterusnya, dengan perbandingan di atas.


Bonus juga dijanjikan bila memberikan referral kepada penggguna lain sehingga kemudian pengguna itu menginstall aplikasi tersebut pada handphonenya. Bonus referral itu diberikan pihak developer secara langsung ke akun pemberi referral. Artinya, tidak ada sepeserpun kerugian pihak yang diberi referral sehingga itu mutlak merupakan bonus dari developer. Oleh karenanya, bonus referral ini juga dipandang sah secara syara’.


Menimbang akad tersebut, maka jelas sudah bahwa akad yang berlaku antara pihak developer dan penggunanya adalah akad ju’alah, sebab dalam ju’alah berlaku ketentuan sebagai berikut:


وَيشْتَرط فِي الْجعل أَن يكون مَعْلُوما لِأَنَّهُ عوض فَلَا بُد من الْعلم بِهِ كالأجرة فِي الْإِجَارَة


Artinya, “Disyaratkan dalam ja’lu (poin/koin/bonus) sesuatu diketahui (sesuatu yang jelas), karena ja’lu (poin) merupakan upah (‘iwadh), maka dari itu wajib diketahui oleh peserta sayembara sebagaimana ujrah yang wajib diketahui pada akad ijarah (oleh penyewa),” (Taqiyuddin Al-Hushni, Kifayatul Akhyar, halaman 298).


Karena pendapatan pengguna aplikasi (ja’lu) adalah didasarkan pada pekerjaan mengakses / membaca lewat aplikasi yang tersedia, serta tidak berhubungan dengan kontrak berbasis waktu, maka itu yang menjadi pembedanya untuk tidak memasukkan akad di atas sebagai akad ijarah.


Dengan merujuk pada keterangan Syekh Taqiyuddin Al-Hushni dalam Kifayatul Akhyar bahwa akad ju’alah merupakan akad jaizah (boleh) dalam hukum Islam, maka tanpa syak wasangka lagi, penghasilan yang didapat dari pengakses aplikasi di atas adalah halal bagi penggunanya sebab tidak ada unsur gharar (menipu), ghabn (curang), riba, maysir (spekulatif), atau menjual barang haram.


Maksud dari menjual barang haram bila dalam aplikasi di atas, adalah barang yang bukan menjadi hak intelektual miliknya secara tidak sah. Jika hal ini terjadi, maka ketiadaan izin pemilik hak terhadap developer menjadikan pendapatan developer itu tidak sah sehingga berujung pada haram, sebab ada perilaku ghashab di sana, atau pencurian hak kekayaan intelektual pihak lain untuk memperkaya diri sendiri. Wallahu a’lam bis shawab.

 


Ustadz Muhammad Syamsuddin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah–Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur.