Syariah

Hukum ‘Refinancing’ dengan Agunan Rumah KPR yang Belum Lunas

Sel, 2 Februari 2021 | 15:30 WIB

Hukum ‘Refinancing’ dengan Agunan Rumah KPR yang Belum Lunas

Apakah pembiayaan ulang (refinancing) dengan agunan rumah KPR yang belum lunas termasuk riba?

Rumah KPR merupakan rumah yang dibeli dengan jalan jual beli secara kredit. Rumah ini merupakan hasil dari kerja sama pemerintah lewat Menteri Perumahan Rakyat dengan beberapa bank penyalurnya. Oleh karenanya, ketika seorang warga menghendaki membeli rumah dengan skema KPR (kredit pemilikan rumah) maka ia harus melakukan kredit kepada bank penyalur tersebut.

 

Persoalan yang akan dibahas kali ini adalah tentang agunan rumah KPR. Misalnya, pihak yang membeli rumah KPR belum sanggup melunasi kewajibannya. Kemudian di tengah jalan, ia bermaksud mengajukan sebuah pembiayaan untuk keperluan lain, misalnya untuk menambah biaya pengembangan usaha, dan sejenisnya. Beberapa bank Plat Merah menyediakan fasilitas itu, dengan label program refinancing.

 

Karena pembiayaan disampaikan kepada perbankan, tentu pihak bank membutuhkan adanya jaminan (agunan). Tidak ada pilihan lain bagi nasabah ini kemudian menjadikan rumah KPR-nya tersebut sebagai agunan. Jadi, agunan itu terdiri dari barang yang belum lunas pembeliannya. Bolehkah praktik seperti ini dalam syariat? Apakah transaksi ini termasuk transaksi riba?

 

Di sini, kajian ini difokuskan. Kita akan coba mengupasnya dari sisi beberapa akad fiqih yang mendasarinya.

 

Kedudukan Agunan dalam Kredit

Sebagaimana kita ketahui bersama, suatu barang yang dijadikan jaminan (agunan) bagi suatu akad utang-piutang, maka barang itu berposisi sebagai barang jaminan gadai (watsaiq al-rahn). Oleh karenanya, ketentuan yang berlaku atas barang jaminan tersebut adalah mengikuti segala ketentuan dari barang gadaian (marhun bih).

 

Di antara beberapa ketentuan yang wajib terpenuhi atas barang gadai adalah barang itu harus terdiri dari barang yang sah untuk disewagunakan. Sebab, segala sesuatu yang bisa disewakan adalah bisa pula untuk digadaikan dan diwakafkan. Sebagaimana kaidah yang masyhur berlaku “kullu ma jazat ijarutuhu, jaza lahu rahnuhu wa waqfuhu.

 

Adapun batasan bahwa suatu barang bisa disewakan adalah bila barang tersebut bisa diambil manfaat barangnya.

 

Dengan mencermati dua hal yang berlaku atas barang yang bisa disewakan ini, maka tidak diragukan lagi bahwa rumah yang belum selesai dalam suatu akad jual beli, secara hukum adalah boleh untuk dijadikan objek sewa. Oleh karena itu pula, maka rumah KPR, juga tidak syak lagi sebagai yang sah untuk disewakan, dan sekaligus berarti boleh pula untuk digadaikan. Alasannya adalah karena rumah KPR bisa untuk diambil manfaatnya bagi penyewa.

 

Masalahnya kemudian adalah akad yang berlaku dalam mengajukan refinancing (pengajuan kredit ulang) harus dilakukan di tempat nasabah itu mengajukan kredit KPR. Itu sebabnya, jika praktik tersebut dilakukan, maka terjadi kredit ganda dengan satu objek yang sama, sementara itu, basis akadnya berbeda.

 

Akad kredit KPR yang pertama adalah akad jual beli secara kredit (bai’ taqshith). Akad kredit yang kedua adalah akad rahn (gadai). Dua-duanya berbasis utang.

 

Utang pertama, lahir akibat kredit KPR. Utang kedua, lahir akibat utang gadai. Alhasil, seolah telah terjadi bai’ataini fi bai’atin (dua transaksi jual beli dalam satu akad). Atau bisa juga disebut jual beli utang kredit (bai’ taqshith) dengan utang gadai (rahn), sehingga secara ringkas seolah masuk dalam ranah bai al-dain bi al-dain (jual beli utang dengan utang).

 

Jual beli Utang dengan Utang dan Batasannya

Larangan jual beli utang dengan utang pada dasarnya sudah tercantum dalam hadits Nabi. Namun, para ahli fiqih memerinci bahwa tidak selamanya akad transaksi tersebut mutlak dilarang. Buktinya ada akad hiwalah (pengalihan tanggungan) yang diperbolehkan dalam syariat. Di dalam praktik akad hiwalah, utangnya A kepada B, bisa dialihkan pembayarannya oleh B kepada C, sehingga terjadi penyingkatan pembayaran, yaitu dari A ke C. Akad ini seolah bisa dibaca sebagai utang A ke B, dibeli dengan utang B ke C.

 

Syarat kebolehan akad hiwalah adalah bila utang A ke B, nilainya sama besar dengan besaran tanggungan B ke C.

 

Apakah proses menjadikan agunan rumah KPR sama mekanismenya dengan akad hiwalah di atas?

 

Ternyata tidak. Utang pemilik KPR kepada bank, terdiri atas dua, yaitu:

  1. utang KPR yang diketahui besarannya, misalnya Rp100 juta, dan
  2. utang gadai (rahn) yang juga diketahui besarannya, misalnya Rp120 juta.

 

Jadi, secara tidak langsung, utang pemilik KPR ini seolah berlipat menjadi 2 kali akibat pengajuan pembiayaan tersebut untuk 2 tujuan utang yang berbeda.

 

Kendala dari kedua akad ini adalah:

  1. Keberadaan status hak milik KPR belum menjadi milik sempurna dari pemilik KPR. Bagaimanapun juga, sifat kepemilikan barang yang masih ada dalam utang adalah masih merupakan milik yang lemah (milkun dlaif). Mengapa? Karena barang yang masih dalam status utang, memiliki kesempatan untuk kembali ke pihak yang menghutangi tatkala pihak yang berhutang mengalami kasus gagal bayar akibat bangkrut, dan sejenisinya.
  2. Untuk itu, harus berlaku kesepakatan di luar akad yaitu menjadikan kepemilikan KPR tersebut sebagai yang sempurna terlebih dulu bagi nasabah (milkun tamm).
  3. Pelunasan terhadap “kredit rumah KPRsetelah dikucurkannya “utang gadai dengan agunan rumah KPR”, sifatnya merupakan janji (muwa’adah) yang terjadi di luar akad rahn (gadai).
  4. Setelah KPR dilunasi oleh nasabah, selanjutnya status barang “agunan KPR” menjadi milkun tamm (milik sempurna) dari nasabah. Alhasil, pihak nasabah tinggal memiliki tanggungan gadai kepada pegadaian atau perbankan dalam rangka mengajukan refinancing (pembiayaan ulang).

 

Titik Tengkar Masalah

Jika mencermati akad di atas, sebenarnya akad refinancing ini sebenarnya juga mengundang dilema. Jelasnya, ada dua cara pembacaan yang bisa dilakukan terhadap akad tersebut:

  1. Akad refinancing bisa dibaca sebagai praktik riba nasiah yang haram. Sebab, seolah terjadi praktik utang rumah KPR dibeli dengan utang gadai, meskipun hasil akhirnya berbunyi tinggal utang gadai (rahn).
  2. Akad refinancing bisa juga dibaca sebagai dua akad yang berbeda, sebab muqtadla al-aqdi (tujuan pengajuan pembiayaan ulang) secara jelas memiliki latar belakang berbeda.
  3. Sebagaimana disampaikan lewat program refinancing oleh bank-bank plat merah, bahwa tujuan refinancing adalah untuk pemenuhan kebutuhan pembukaan usaha dan meningkatkan produktifitas, sementara pihak yang mengajukan adalah pemilik KPR yang belum lunas cicilan rumahnya sehingga tidak bisa mengajukan agunan.
  4. Sementara itu, tujuan dari akad KPR adalah untuk tujuan kepemilikan rumah.
  5. Alhasil, kedua tujuan sebagaimana disinggung pada poin nomor 3 dan 4, dua-duanya adalah sama sekali berbeda. Meski tidak menutup kemungkinan bisa dijadikan dasar melakukan rekayasa akad, yaitu untuk menghindari kasus gagal bayar KPR secara tepat pada waktunya, akhirnya dipilihlah cara melakukan refinancing.

 

Solusi Masalah

Sebagai solusi keluar dari perbedaan pendapat di atas, secara tidak langsung praktik pembiayaan kembali (refinancing) dengan agunan KPR pada bank yang sama dan objek akad yang sama adalah:

 

Pertama, hendaknya masyarakat yang mengajukan refinancing ini adalah benar-benar terdiri dari pihak yang ingin melakukan pembukaan usaha sehingga jauh dari nuansa melakukan praktik jual beli utang KPR dengan utang gadai (bai al-dain bi al-dain).

 

Kedua, adanya tujuan pengajuan pembiayaan ulang, hanya semata karena dilatarbelakangi untuk menutup kewajiban pelunasan utang KPR dengan jalan utang gadai adalah secara tidak langsung telah menceburkan seseorang dalam sebuah praktik riba nasiah yang diharamkan.

 

Ketiga, kebolehan melakukan transaksi refinancing dibolehkan adalah semata karena latar belakang kebutuhan (dlarurah li al-hajah) pembukaan usaha. Tanpa adanya unsur dlarurah, maka menurut pendapat yang unggul adalah status keharamannya disebabkan jebakan riba nasiah-nya tersebut. Wallahu a’lam bi al-shawab

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim