Tafsir Surat An-Nisa Ayat 131: Takwa Kunci Selamat Dunia Akhirat
NU Online · Rabu, 18 Juni 2025 | 12:00 WIB
Zainuddin Lubis
Penulis
Takwa bukan sekadar petunjuk arah. Ia lebih menyerupai kompas, tak semata menunjukkan jalan, tapi juga memberi orientasi. Dalam Al-Qur’an, ayat perintah takwa mengalir seperti gema yang melintasi zaman. "Sungguh Kami telah mewasiatkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, dan juga kepadamu: bertakwalah kepada Allah." Sebuah kalimat yang menyapa generasi demi generasi, dari Sinai hingga Mekkah, dari Musa ke Muhammad. Wasiat yang tak pernah kadaluarsa.
Pun, ayat itu turun dengan suara ganda. Pertama untuk mereka yang lama datang sebelum kita: para pemikul Taurat, pemeluk Injil. Lalu untuk kita sendiri, yang membaca Al-Qur'an dan kadang lupa. Wasiatnya satu, tak berubah: anittaqûllâh, bertakwalah kepada Allah.
Tapi apa artinya takwa?
Bukan sekadar takut, sebab ketakutan bisa memenjarakan. Takwa justru membebaskan, karena ia lahir dari kesadaran bahwa langit dan bumi bukan milik kita. "Wa lillâhi mâ fis-samâwâti wa mâ fil-ardh", segala yang ada di atas dan di bawah, bukan hasil jerih payah manusia. Kita hanya menumpang.
Di sinilah letak paradoks itu: takwa bukan soal kekurangan, tapi pengakuan bahwa kita tak memiliki. takwa bukanlah takut dalam arti sempit, tapi kesadaran mendalam tentang tempat kita di dunia, dan tentang siapa yang benar-benar memiliki segalanya. Bahwa segala yang bisa kita kuasai pun akan kembali. Dan Tuhan, kata ayat itu, ghaniyyun ḥamîdan, Mahakaya dan Maha Terpuji. Ia tak membutuhkan sembah kita, apalagi takut kita. Tapi kitalah yang, tanpa takwa, kehilangan arah.
Mungkin karena itu, takwa tak diwariskan seperti harta. Ia seperti nafas: harus diambil ulang, terus-menerus. Kita bisa mengutipnya dalam khutbah, mengajarkannya dalam madrasah, tapi menjalaninya, itu perkara lain. Ia tumbuh dalam sunyi, dalam keteguhan menolak yang mudah tapi salah.
Goethe pernah berkata, "Man is not born to solve the problems of the universe, but to find out where the problem begins." Mungkin dari situlah takwa bermula: bukan dari jawaban, tapi dari kesadaran akan keterbatasan. Bahwa kekayaan kita, jabatan kita, bahkan umur kita, tak pernah cukup menjadi pegangan.
Simak firman Allah berikut secara lengkap dalam surat An-Nisa' ayat 131;
وَلِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَاِيَّاكُمْ اَنِ اتَّقُوا اللّٰهَۗ وَاِنْ تَكْفُرُوْا فَاِنَّ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَنِيًّا حَمِيْدًا ١٣١
wa lillâhi mâ fis-samâwâti wa mâ fil-ardl, wa laqad washshainalladzîna ûtul-kitâba ming qablikum wa iyyâkum anittaqullâh, wa in takfurû fa inna lillâhi mâ fis-samâwâti wa mâ fil-ardl, wa kânallâhu ghaniyyan ḫamîdâ
Artinya; "Hanya milik Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Sungguh, Kami telah mewasiatkan kepada orang-orang yang diberi kitab suci sebelum kamu dan (juga) kepadamu (umat Islam) agar bertakwa kepada Allah. Akan tetapi, jika kamu kufur, maka sesungguhnya hanya milik Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji."
Menurut Jamaluddin Al-Qasimi, dalam Tafsir Mahasinut Ta'wil, membaca ayat ini bukan sekadar sebagai afirmasi metafisika. Ia melihat penekanan tentang kekuasaan. Sebuah penegasan tentang kepemilikan total. Rezeki, makhluk, waktu, dan kemungkinan, semuanya, katanya, berada dalam genggaman yang tak bisa diganggu gugat. Maka, kata Al-Qasimi, takwa bukan sekadar rasa takut. Ia adalah pengakuan, bahwa kita ini tidak otonom.
Di zaman ketika segalanya ingin dimiliki, tanah, langit, bahkan kesadaran manusia, ayat ini berdiri seperti pagar tak terlihat: tidak ada satu jengkal pun dari semesta yang lepas dari genggaman-Nya. Bahkan bumi yang kita pijak pun hanya titipan.
Ayat itu bukan berdiri sendiri. Ia menjembatani satu pesan yang lebih tua dari peradaban: bertakwalah. Wasiat itu diturunkan pada yang terdahulu, Yahudi, Nasrani, dan kini Islam. Takwa bukan milik satu agama, tapi semacam suara sunyi dari langit yang merambat ke generasi demi generasi.
Tapi takwa, seperti yang kita kenal, terlalu sering dipadatkan jadi doktrin. Padahal ia bukan sekadar takut. Ia kesadaran: bahwa ada sesuatu yang lebih besar, dan kita memilih tunduk dengan penuh sukarela. Dalam bahasa Al-Qasimi: takwa adalah ibadah total, tanpa sekutu, tanpa syarat.
Plot itu sederhana. Jika kamu berpaling, jika kamu mengingkari, langit tidak akan runtuh. Allah tak menjadi kekurangan. Karena, kata ayat itu, diulang kembali, “Sesungguhnya milik Allah-lah apa yang ada di langit dan bumi.” Ulangannya bukan karena Tuhan pelupa, tapi karena manusia memang keras kepala.
Nietzsche pernah menyindir bahwa manusia membunuh Tuhan karena ingin mengambil alih tempat-Nya. Tapi dalam ayat ini, justru sebaliknya: manusia tak pernah cukup kuat bahkan untuk mengklaim satu helai daun yang gugur. Ia hanya bisa berserah, atau berpura-pura kuat.
Dan di situlah letak anugerah dari takwa. Ia bukan sekat. Ia bukan dinding. Ia justru seperti jendela: yang memberi cahaya ke dalam ruang batin yang lama gelap. Kita tak dituntut mengerti segalanya, hanya untuk berjalan dengan sadar, bahwa jalan itu bukan kita yang menciptakan.
Takwa adalah hidup dalam milik Tuhan, tanpa ilusi kepemilikan. Dan barangkali, dari situ kita belajar merdeka. Simak penjelasan Jamaluddin Al-Qasimi ini;
أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ أي: وصينا كلّا منكم ومنهم بالتقوى. وهي عبادته وحده. لا شريك له. والمعنى: أن وصيته قديمة ما زال يوصي الله بها عباده، ولستم بها مخصوصين. لأنهم بالتقوى يسعدون عنده وَإِنْ تَكْفُرُوا أي: بالله فَإِنَّ لِلَّهِ ما فِي السَّماواتِ وَما فِي الْأَرْضِ أي: فهو مالك الملك كله. لا يضره كفركم.
Artinya; "Yaitu agar kalian bertakwa kepada Allah. Maksudnya, kami telah mewasiatkan kepada kalian dan kepada mereka semuanya agar bertakwa, yaitu menyembah-Nya semata, tanpa menyekutukan-Nya.
Maknanya: Wasiat tersebut adalah wasiat yang telah lama ada; Allah senantiasa mewasiatkan hal itu kepada hamba-hamba-Nya, dan kalian bukanlah satu-satunya yang dikhususkan dengan wasiat tersebut. Karena dengan takwa, mereka akan meraih kebahagiaan di sisi-Nya.
"Dan jika kalian kufur," yakni: ingkar kepada Allah, "maka sesungguhnya milik Allah-lah apa yang ada di langit dan di bumi," Artinya: Dialah pemilik seluruh kerajaan. Kekufuran kalian tidak akan merugikan-Nya sedikit pun." (Syekh Jamaluddin Al-Qasimi, Mahasinut Ta'wil, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1418 H], Jilid III, hlm, 365).
Imam Fakhruddin Ar-Razi, dalam Tafsir Mafatihul Ghaib, menjelaskan perintah untuk bertakwa kepada Allah adalah syariat yang bersifat universal, berlaku bagi seluruh umat, baik masa lampau maupun masa kini. Takwa, dengan demikian, bukan milik umat Islam semata. Wasiat itu juga pernah dibisikkan kepada mereka yang mengikuti Taurat, dan juga mereka yang mengimani Injil.
Dalam takwa, kata Ar-Razi, ada nilai ini abadi, ia tidak dibekukan waktu, tidak dihapus oleh datangnya agama baru. Takwa adalah semacam kesepakatan tak tertulis antara langit dan bumi: sebuah penanda bahwa manusia, bagaimana pun ia berubah, tetap butuh orientasi moral yang sama. Takwa merupakan nilai lintas zaman yang tidak pernah dihapus atau diubah. Ia adalah kompas moral dan spiritual bagi seluruh umat manusia.
Lalu, siapa yang dimaksud dengan orang-orang sebelum kalian?
Frasa min qoblikum, dalam ayat ini memunculkan dua tafsir; Yang pertama, mereka adalah umat-umat sebelum Islam. Yang kedua, mereka adalah para pemeluk kitab-kitab terdahulu.
Toh, dalam kedua tafsir tersebut, fokusnya tetap sama: takwa adalah pesan utama dari semua kitab samawi, baik Taurat, Injil, maupun Al-Qur'an. Umat Yahudi dan Nasrani pun menerima wasiat ini, menunjukkan bahwa takwa adalah ikatan spiritual bersama antar umat manusia.
Menariknya, begitu perintah itu selesai disebut, ayat langsung menyambung dengan peringatan: "Dan jika kalian kafir, maka sesungguhnya milik Allah-lah apa yang ada di langit dan di bumi."
Dalam tafsirnya, Ar-Razi mengatakan ayat ini mengandung dua makna; Pertama, Allah adalah Pemilik segala yang ada. Maka, jika manusia memilih jalan kufur, tak sedikit pun berkurang kemuliaan-Nya. Dunia ini tidak dibangun dari pujian manusia.
Kedua, di luar manusia, masih ada banyak makhluk yang tak henti menyembah dan memuliakan-Nya. Di langit, dalam gelap angkasa, dalam gelombang yang tak terdengar, ada dzikir yang terus berlangsung, bahkan tanpa kita sadari.
Manusia boleh berpaling, tapi alam tetap bersujud. Mulla Shadra, filsuf dari Persia, dengan konsep teosofi transendental pernah menulis bahwa segala realitas pada akhirnya adalah refleksi dari Kehendak Tuhan. Dalam kesadaran seperti itu, kekufuran bukan sekadar penolakan, tapi kegagalan mengenali wajah Tuhan di balik setiap ciptaan.
Inilah makna dari ketidakbutuhan Tuhan pada manusia. Dan sebaliknya, kebutuhan mutlak manusia pada Tuhan, bukan demi ego Tuhan, melainkan demi keselamatan eksistensial manusia sendiri.
Simak firman Allah berikut;
ثُمَّ قَالَ تَعَالَى: وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّماواتِ وَما فِي الْأَرْضِ وَكانَ اللَّهُ غَنِيًّا حَمِيداً قَوْلُهُ وَإِنْ تَكْفُرُوا عَطْفٌ عَلَى قَوْلِهِ اتَّقُوا اللَّهَ وَالْمَعْنَى: أَمَرْنَاهُمْ وَأَمَرْنَاكُمْ بِالتَّقْوَى، وَقُلْنَا لَهُمْ وَلَكُمْ: إِنْ تَكْفُرُوا فإن للَّه ما في السموات وَمَا فِي الْأَرْضِ. وَفِيهِ وَجْهَانِ: الْأَوَّلُ: أَنَّهُ تَعَالَى خَالِقُهُمْ وَمَالِكُهُمْ وَالْمُنْعِمُ عَلَيْهِمْ بِأَصْنَافِ النِّعَمِ كُلِّهَا، فَحَقُّ كُلِّ عَاقِلٍ أَنْ يَكُونَ مُنْقَادًا لِأَوَامِرِهِ وَنَوَاهِيهِ يَرْجُو ثَوَابَهُ وَيَخَافُ عِقَابَهُ، وَالثَّانِي: أَنَّكُمْ إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ للَّه مَا فِي سَمَاوَاتِهِ وَمَا فِي أَرْضِهِ مِنْ أَصْنَافِ الْمَخْلُوقَاتِ مَنْ يَعْبُدُهُ وَيَتَّقِيهِ، وَكَانَ مَعَ ذَلِكَ غَنِيًّا عَنْ خَلْقِهِمْ وَعَنْ عِبَادَتِهِمْ، وَمُسْتَحِقًّا لِأَنْ يُحْمَدَ لِكَثْرَةِ نِعَمِهِ، وَإِنْ لَمْ يَحْمَدْهُ أَحَدٌ مِنْهُمْ فَهُوَ فِي ذَاتِهِ مَحْمُودٌ سَوَاءٌ حَمِدُوهُ أَوْ لَمْ يَحْمَدُوهُ
Artinya; Kemudian Allah Ta’ala berfirman: "Dan jika kalian kafir, maka sesungguhnya milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji."
Firman-Nya "wa in takfurū (jika kalian kafir)" adalah bentuk penyambungan (athaf) terhadap firman-Nya "ittaqullāh (bertakwalah kepada Allah)," sehingga maknanya, "Kami telah memerintahkan mereka dan kalian agar bertakwa, dan Kami berkata kepada mereka dan kalian: jika kalian kafir, maka ketahuilah bahwa milik Allah-lah apa yang ada di langit dan di bumi."
Dalam hal ini terdapat dua sisi penafsiran: Pertama: Bahwa Allah adalah Pencipta mereka, Pemilik mereka, dan Pemberi berbagai macam nikmat kepada mereka. Maka, sudah seharusnya bagi setiap orang berakal untuk tunduk kepada perintah dan larangan-Nya, mengharap pahala-Nya dan takut terhadap azab-Nya.
Kedua: Jika kalian kafir, maka sesungguhnya di langit dan di bumi terdapat makhluk-makhluk lain yang menyembah Allah dan bertakwa kepada-Nya.
Allah tetap Maha Kaya dari makhluk-Nya dan dari ibadah mereka, dan Dia tetap layak untuk dipuji karena banyaknya nikmat yang Dia limpahkan. Bahkan jika tidak seorang pun dari mereka memuji-Nya, Dia tetap terpuji pada Zat-Nya sendiri, baik mereka memuji-Nya maupun tidak. (Imam Fakhruddin, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut: Darul Ihya Turats Al-Araby, 1420 H], Jilid XI, hlm, 239).
Dengan demikian, takwa adalah jalan keselamatan, dan kekufuran adalah jalan kehancuran, bukan karena Allah membutuhkannya, melainkan karena manusia membutuhkan kedekatan kepada-Nya untuk meraih makna dan keselamatan sejati.
وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًاۙ
Artinya, "Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya." (QS. At-Thalaq: 2)
Dengan demikian, Surat An-Nisa’ ayat 131 menjadi pengingat penting bagi setiap insan beriman bahwa takwa adalah nilai ilahi yang tidak lekang oleh waktu. Ia merupakan prinsip universal yang diwariskan kepada seluruh umat manusia, baik yang hidup di masa lampau maupun masa kini, sebagai fondasi moral dan spiritual dalam menjalani kehidupan.
Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat kajian Islam Tinggal di Parung.
Terpopuler
1
Mulai Agustus, PBNU dan BGN Realisasikan Program MBG di Pesantren
2
Mendaki Puncak Jabal Nur, Napak Tilas Kanjeng Nabi di Gua Hira
3
40 Hari Wafat Gus Alam, KH Said Aqil Siroj: Pesantren Harus Tetap Hidup!
4
Waktu Terbaik untuk Resepsi Pernikahan menurut Islam
5
Zaman Kegaduhan, Rais Aam PBNU Ingatkan Umat Islam Ikuti Ulama yang Istiqamah
6
Terima Dubes Afghanistan, PBNU Siap Beri Beasiswa bagi Mahasiswa yang Ingin Studi di Indonesia
Terkini
Lihat Semua