Syariah

Orang Lain Rugi karena Penggunaan Hak Pribadi Kita, Wajib Ganti Rugi?

Sab, 17 Agustus 2019 | 15:02 WIB

Hukum asal penggunaan hak milik (barang, waktu, peluang, kesempatan) dari seorang individu adalah bebas. Sebuah kaidah menyebutkan bahwa:
 
الأصل في أموال الأفراد الحرمة 
 
Artinya: "Hukum asal harta milik individu adalah harus dijaga kehormatannya." 
 
Masih tentang hak milik, sebuah kaidah lain menyebut bahwa:
 
الأصل في إموال الأفراد براءة الذمة من الأعباء والتكاليف
 
Artinya: "Hukum asal harta milik individu adalah lepas dari beban tanggungan, baik berupa beban aturan maupun batasan penggunaan."
 
Barang sudah menjadi hak milik. Mau digunakan seperti apa pun, hukum asalnya adalah tidak ada hak bagi orang lain untuk melarang atau membatasi penggunaannya. Sebab menggunakan hak milik adalah tidak melanggar syariat. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah kaidah:
 
الجواز الشرعي ينافي الضمان
 
Artinya: "Kebolehan yang diakui syara' menghilangkan tanggung jawab risiko." (Al-Zuhaili, Nadhâriyyatu al-Dlammân aw Ahkâm al-Masûliyyati al-Madaniyyati wa al-Jinâiyyati fi al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dâr al-Fikr: 2012: 27)
 
Anda menggali sumur, di tanah Anda sendiri, di depan pintu rumah, dan ditutup dengan sesuatu yang kurang kuat yang mana bila diinjak orang, tutup tersebut akan patah dan orang yang menginjaknya akan jatuh ke dalam. Hukum asal menggali seperti ini adalah tidak ada pertanggungan risiko bagi si empunya. Meskipun suatu ketika penggalian itu dilakukan di dekat tembok rumah seseorang. Bagaimana hukum asalnya? Sudah barang tentu hukum asalnya adalah boleh, disebabkan tanah tersebut sudah menjadi milik sendiri. 
 
Kadang ada juga seseorang yang menggali parit di dekat pagar tembok orang lain, tanpa mengupayakannya dengan disemen, atau dibangun cor. Bolehkah? Hukum asalnya juga sudah barang tentu boleh. Namun, apakah itu sudah termasuk maslahat? Nah, ini kemudian yang menjadi pembatas antara hak pribadi dengan memperhatikan kepentingan orang lain.
 
Di dalam salah satu kitabnya, Syekh Wahbah al-Zuhaili hafidhahullah menjelaskan: 
 
ليس حق الملكية حقاً مطلقاً، وإنما هو مقيد بعدم إلحاق الضرر بالغير، فإذا ترتب على استعمال الحق إحداث ضرر بالغير نتيجة إساءة استعمال هذا الحق، كان محدث الضرر مسؤولاً.
 
Artinya: "Tidak ada hak kepemilikan yang bersifat mutlak. Bagaimanapun juga, hak senantiasa dibatasi dengan ketiadaan kerugian bagi pihak lain. Bilamana di kemudian hari ditemui bahwa penggunaan hak dapat menimbulkan kerugian bagi pihak tertentu disebabkan buruknya pemfungsian, maka dampak kerugian yang terjadi harus dipertanggungjawabkan." (Al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1985: 4/299)
 
Syekh Wahbah menyebut bahwa tidak ada kepemilikan mutlak. Maksudnya adalah, bahwa hak atas kepemilikan kita dibatasi oleh hak orang lain untuk tidak terganggu atau terusik akibat penggunaan hak milik kita. Terganggunya pihak lain, atau terusiknya orang lain akibat penggunaan hak milik kita, menunjukkan bahwa ada kerugian yang diderita orang lain. Kerugian ini menuntut adanya dlamman (tanggung jawab) yang setidaknya berupa empati. 
 
Sebagaimana contoh kasus di atas, bila di kemudian hari, ternyata timbul efek penggalian berupa robohnya tembok pihak lain, akibat penggalian yang dilakukan, maka pihak penggali tetap wajib memberikan ta'widl (ganti rugi). Bagaimana mungkin? Bukankah parit, sumur, dan yang semisal itu digali di tanah milik sendiri? 
 
Syekh Wahbah al-Zuhaili menyebutkan bahwa: 
 
تصرف الإنسان في خالص حقه إنما يصح إذا لم يتضرر به غيره
 
Artinya: "Pemanfaatan seseorang atas hak individunya dipandang sah manakala tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain." (al-Zuhaili, Nadhâriyatu al-Dlammân aw Ahkâm al-Masûliyyah al-Madâniyyah wa al-Jinâiyyah fi al-Fiqh al-Islâmi, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2012: 207)
 
Kaidah ini menjadi dasar hukum bertetangga bagi individu Muslim. Individu yang baik adalah individu yang senantiasa menjaga rasa aman tetangganya, baik dari akibat perkataan maupun ulah tangannya. Rasûlullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda dalam hadits marfu': 
 
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ يَدِهِ وَلِسَانِهِ , وَالْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
 
Artinya: "Muslim itu adalah orang yang mana muslim lainnya senantiasa selamat dari akibat tangan dan lisannya. Orang mukmin itu adalah orang yang tetangganya senantiasa merasa aman dari akibat ulahnya" (HR Imam Muslim).
 
Adat kebiasaan tentang menggali parit, atau menggali sumur yang sekira bisa merugikan orang lain adalah dipandang buruk oleh masyarakat. Kebiasaan ini seolah sudah menjadi norma tersendiri. Oleh karenanya, meskipun galian itu berada di tanah milik sendiri, akan tetapi bila dirasa bisa membahayakan orang lain, maka berlaku dlamman (tanggung jawab) bagi pemiliknya. Tanggung jawab itu seperti memasang tanda peringatan dan lain sebagainya. Ini merupakan tradisi yang baik dan dibenarkan oleh syariat agama kita. Sebuah kaidah ushuliyah mengatakan:
 
المعروف عرفا كالمشروط شرطا
 
Artinya: "Tindakan yang baik menurut adat kebiasaan adalah menduduki seperti syarat yang dibenarkan oleh syariat." 
 
Walhasil, status hak milik bukan berarti hilangnya rasa tanggung jawab dan empati. Pemakaian hak, adalah dibatasi oleh hak pihak lain yang tidak boleh dilanggar. Pelanggaran terhadap hak orang lain, merupakan tindakan yang masuk unsur dlarar (merugikan). Dan setiap kerugian wajib berlaku dlamman (tanggung jawab kerugian). Wallâhu a'lam bish shawâb.
 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur