Syariah

Yang Mesti Bertanggung Jawab atas Kerusakan Barang oleh Anak Kecil

Kam, 15 Agustus 2019 | 08:00 WIB

Tidak setiap kerusakan yang diakibatkan oleh orang lain bisa dikenai ganti rugi. Sudah pasti ada ketentuan yang harus dipenuhi. Suatu misal, Anda memegangi sebuah ponsel kepada balita anak tetangga. Anda sadar bahwa anak tersebut sudah barang tentu tidak bisa menggunakan atau merawatnya. Tindakan menyerahkan ke anak kecil tersebut sudah barang tentu pula harus disertai penjagaan dan pengawasan. Bilamana ternyata ponsel ini tiba-tiba dipukulkan ke lantai sehingga pecah, maka itu adalah risiko dari orang yang memegangkan. Jadi, si anak tidak bisa dimintai jaminan, disebabkan ia bukan ahlinya. Demikian pula dengan orang tua si anak, sudah barang tentu tidak bisa dimintai pertanggungjawaban akibat tindakan anaknya itu.
 
Contoh lain adalah, Anda tahu bahwa orang yang sedang Anda suruh, bukan orang yang ahli dalam berkendara disebabkan karena ketidakmampuan menyopir. Lalu Anda perintahkan untuk mengemudikan kendaraan. Terjadilah kemudian tabrakan akibat pembawaannya terhadap kendaraan. Siapa yang bertanggung jawab? Tentu, pihak yang bertanggung jawab adalah pihak yang menyuruh karena sadarnya ia bahwa pihak yang disuruh tidak bisa menyetir kendaraan.
 
Dari dua contoh uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa, pihak yang dimintai pertanggungjawaban, hakikatnya adalah harus berupa pihak yang sudah paham dengan alat, tapi ia menggunakan alat tersebut tidak sebagaimana mestinya (al-ta'addî). Jika terdapat unsur ketidakpahaman terhadap alat, tapi ia disuruh agar menggunakannya, maka pihak yang menyuruh (muwakkil) adalah selaku penanggung jawabnya. Syekh Wahbah menyebutkan:
 
فينطر إلى الإعتداء على أنه واقعة مادية محضة يترتب عليها المسؤولية (ضرورة تعويض المتضرر) كلما حدثت بقطع النطر عن نوع الأهلية في شخص المتعدي وقصده 
 
Artinya: "Perlu dicermati terkait dengan kerugian materiil akibat perselisihan sehingga bisa diterapkan permintaan tanggung jawab (dikenai pasal ganti rugi) terhadap sesuatu yang terjadi, yaitu dengan menetapkan pandangan pada pihak selaku ahli dari tindakan yang melampaui batas ini, sekaligus tujuannya dalam menyerahkan." (al-Zuhaili, Nadhâriyatu al-Dlammân aw Ahkâm al-Masûliyyah al-Madâniyyah wa al-Jinâiyyah fi al-Fiqh al-Islâmî, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2012: 24-25). 
 
Terkait dengan tujuan, sudah pasti dalam hal ini juga memerlukan perincian. Seseorang menyerahkan ponsel milik kawannya, ke anak balita, sehingga terjadi kerusakan pada ponsel akibat darinya, maka berdasarkan tujuan dari penyerahan ponsel ini oleh pihak yang bersangkutan, kerugian yang ditimbulkan akibat tindakannya adalah ia selaku pihak yang wajib dikenai tanggung jawab dan bukan si anak. 
 
Lain halnya misalnya ada anak berusia Madrasah Ibtidaiyah, usia sekitar 10 tahun, meminjam sepeda tetangganya dan diizinkan. Ternyata dalam perjalanannya, sepeda itu rusak akibat penggunaannya. Siapakah pihak yang bertanggung jawab? Dalam hal ini, pihak penanggung jawab adalah si anak. Karena ia bukan seseorang yang sudah baligh, maka pihak wali si anak, yang boleh dimintai pertanggungjawaban. Syekh Wahbah al-Zuhaili, menyebutkan:
 
ففي ضمان الأموال لافرق بين العمد والخطأ، ولا بين الكبير والصغير إلا بعض المالكية قالوا : لاشيء على الصبي غير المميز فيما أتلفه من نفس أو مال كالعجماء
 
Artinya: "Dalam tanggung jawab berupa kerugian pada harta, maka tiada beda antara rusak akibat unsur kesengajaan atau tidak, dewasa atau masih kecilnya pengguna. Kecuali kalangan Malikiyyah, mereka berpendapat bahwa: "Tidak ada pertanggungjawaban atas kerugian yang diakibatkan kerusakan oleh anak kecil yang belum mumayyiz (kisaran usia balita), baik menyangkut jiwa atau harta benda. Ia menyerupai orang yang bukan ahli menggunakan." (al-Zuhaili, Nadhâriyatu al-Dlammân aw Ahkâm al-Masûliyyah al-Madâniyyah wa al-Jinâiyyah fi al-Fiqh al-Islâmi, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2012: 25). 
 
Walhasil, permintaan pertanggungjawaban akibat kerugian oleh seorang anak, adalah dikembalikan pada status keahliannya. Pendapat Imam Malik dalam hal ini bisa dijadikan taqyid bahwa khusus untuk anak yang belum mumayyiz (bisa membedakan baik dan buruk), maka risiko kerusakan adalah dikembalikan pada pihak yang menyerahkan barang. Anak belum mumayyiz, tidak bisa dikenai pertanggungjawaban. Adapun untuk yanh sudah mumayyiz, sepertinya pendapat yang lebih kuat adalah mengacu pada mazhab Imam Syafii, disebabkan akal yang sudah dimiliki oleh si anak tersebut. Wallahu a'lam bish shawab.
 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur