Syariah

Penjelasan tentang Sukuk atau Obligasi Syariah

Jum, 18 Juni 2021 | 14:00 WIB

Penjelasan tentang Sukuk atau Obligasi Syariah

Sukuk merupakan istilah lain dari obligasi yang diterapkan menurut prinsip syariah.

Pihak Otoritas Jasa Keuangan dalam situs Sikapi Uangmu telah mendefinisikan bahwa obligasi merupakan surat utang jangka menengah maupun jangka panjang yang dapat diperjualbelikan. Di dalam obligasi, terkandung janji pihak emiten (penerbit efek) untuk membayar imbalan berupa bunga (kupon) pada periode tertentu dan melunasi pokok utang pada akhir waktu yang telah ditentukan kepada pihak pembeli obligasi.

 

Di dalam situs tersebut juga disampaikan bahwa obligasi merupakan salah satu instrumen investasi berupa efek dengan pendapatan tetap sehingga memiliki tingkat pertumbuhan nilai yang relatif stabil dengan risiko yang relatif lebih stabil juga (low risk), khususnya bila dibandingkan dengan saham. Ada tiga jenis obligasi, yaitu obligasi pemeriintah, obligasi korporasi dan obligasi ritel.

 

Inti permasalahan yang akan kita bahas dalam tulisan ini adalah berkaitan dengan bunga obligasi dan nisbah bagi hasil obligasi yang sifatnya tetap pula ini. Menurut prinsip syariah, janji bagi hasil dalam bentuk bunga yang diberikan oleh pihak yang dipinjami kepada pemberi pinjaman sesuai dengan basis modal semacam ini adalah sudah memenuhi kategori riba qardli yang diharamkan oleh nash. Bagaimanapun juga, sifat keharaman ini tidak bisa dipungkiri sebab sudah merupakan ketetapan yang ditegaskan dalam banyak nushush al-syariah (teks-teks syariat). Oleh karenanya diperlukan solusi/jalan keluar dari permasalahan tersebut bila obligasi itu hendak diterapkan pada Lembaga Keuangan Syariah (LKS).

 

Status Harta Sukuk

Harta dalam Islam pada dasarnya ada 3, yaitu terdiri dari: ‘ainin musyahadah (aset fisik), syai-in maushuf fi al-dzimmah (aset berjamin), dan ainin ghaibah (aset fiktif). Efek yang terdapat di pasar modal pada dasarnya adalah masuk kelompok syai-in maushuf fi al-dzimmah (aset berjamin).

 

Bila efek tersebut berjamin aset fisik, maka kita kenal dengan istilah EBA (Efek Berjamin Aset). Dan apabila aset tersebut berjamin suatu bidang usaha (nonfisik) dan aset berkembang, misalnya pelayanan, jasa, dan sejenisnya, maka kita sering mengistilahkannya sebagai sekuritas (saham (ekuitas) dan sukuk (obligasi syariah).

 

 

Nah, karena sukuk memiliki underlying asset berupa bidang pelayanan, jasa, produksi, dan utamanya adalah deviden (sisa hasil usaha), maka sukuk merupakan bagian dari bukti penyertaan modal. Alhasil, pemegangnya kelak juga berhak untuk menikmati hak-hak syara’ yang berkaitan dengan penyertaan modal tersebut.

 

Berbicara soal standar barang untuk bisa disebut sebagai modal, maka kita kembali merujuk pada ketentuan yang berlaku atas akad kerja sama dalam bidang permodalan, yaitu akad syirkah inan. Di dalam akad tersebut dinyatakan bahwa modal itu terdiri dari modal tunai. Pihak penyetor modal berhak diakui sebagai pihak yang memiliki nisbah kepemilikan atas aset usaha yang ada. Ini kunci dasarnya.

 

Hambatan Penerapan Sukuk (Obligasi Syariah)

Sukuk merupakan istilah lain dari obligasi yang diterapkan menurut prinsip syariah. Maksud dari prinsip syariah adalah prinsip kerja sukuk tidak boleh lepas dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’. Misalnya, karena sukuk adalah sebuah efek (surat berharga) yang diterima sebagai harta, maka underlying asset (aset yang mendasari sukuk) harus terdiri dari jenis usaha/produksi yang bergerak dalam bidang produksi halal. Tidak boleh jenis produksi tersebut terdiri dari perkara yang diharamkan, seperti usaha minuman keras, pembalakan liar, dan sejenisnya.

 

Demikian halnya dengan pendapatan yang diperoleh dari sukuk, tidak boleh berasal dari praktik melakukan riba, maisir (spekulatif), ghabn (kecurangan), jahalah (ketidaktahuan) dan gharar (penipuan) serta bebas dari unsur memakan harta orang lain secara batil. Pendapatan usaha yang mendasari sukuk harus bersifat bersih dan halal.

 

Hambatan penerapan dari obligasi syariah (sukuk) ini adalah ketika obligasi tersebut memasuki pasar modal. Di dalam pasar tersebut, prinsip obligasi adalah mengikuti obligasi konvensional dan hal ini berlaku umum (ammatu al-balwa). Pihak LKS yang terjun dalam pasar sekunder ini tetap memiliki kewajiban mengikuti aturan yang berlaku. Alhasil, pihak emiten syariah tetap harus mengikuti aturan wajib membayar bunga, dan pendapatan yang bersifat tetap berbasis modal penyertaan terhadap pembeli sukuk yang diterbitkannya.

 

Sebagai gambaran umum dari penerapan ini, Anda bisa melihat dokumen POJK Nomor 61/POJK.04/2017 tentang Dokumen Penyertaan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah dan /atau Sukuk Daerah, POJK Nomor 62/POJK.04/2017 tentang Bentuk dan Isi Prospektus dan Prospektus Ringkas Dalam Rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah, dan POJK Nomor 63/POJK.04/2017 tentang Laporan dan Pengumuman Emiten Penerbit Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah. Semua Obligasi/sukuk tersebut tetap menyatakan kewajiban membayar bunga dan pendapatan tetap bagi pembelinya. Alhasil, hal ini menjadi hambatan utama bagi diterapkannya prinsip syariah pada sukuk.

 

Akad yang Terwadahi dalam Penerbitan Sukuk (Obligasi Syariah)

Sejatinya obligasi syariah diterbitkan adalah atas dasar tujuan mencari utangan untuk maksud pengembangan usaha. Oleh karena adanya aset berkembang yang terdiri atas usaha ini, maka penerbitan sukuk sudah pasti memungkinkan untuk mewadahi beberapa akad kerja sama produksi, antara lain: ijarah, murabahah, mudharabah, dan qiradl.

 

Karena memungkinkan untuk terjadinya prinsip murabahah dan ijarah, maka sukuk juga bisa diselenggarakan melalui akad jualah (sayembara), istishna’ (inden), salam (pesanan), atau bahkan bai’ bil-‘ajal (jual beli secara tempo). Hanya saja, ini membutuhkan uraian operasionalnya yang sangat panjang.

 

Karena hambatan dari penerapan sukuk ini adalah keberadaan pendapatan yang harus berbasis bunga, maka akad ju’alah dan ijarah merupakan salah satu solusi yang paling dekat untuk menetralisir bunga tersebut. Syaratnya sudah pasti, ada margin yang wajib diberlakukan. Misalnya, dalam kasus seperti ilustrasi berikut ini:

 

“Ketika obligasi itu didasarkan pada sistem konvensional, maka setiap pinjaman 100 ribu rupiah (1 lembar obligasi) akan dikenakan bunga sebesar 4% per tahun dalam bentuk kontrak berjangka. Alhasil, pendapatan pemegang obligasi adalah 4 ribu rupiah per tahun per lembar obligasi. Kewajiban lain yang harus dibayar adalah kepada Manajer Investasi atau Pedagang Perantara Efek.

 

Melalui penerapan prinsip syariah, 100 ribu rupiah tersebut dipandang sebagai akad utang (qardl). Nilai margin pembayaran jasa diberikan kepada pihak pedagang perantara efek selaku pihak yang mencarikan utangan ditambah dengan kisaran pendapatan yang akan diterima oleh pemegang sukuk. Alhasi, pihak perantara pedagang efek menempati derajatnya wakil dari emiten dan sekaligus wakil dari investor. Kisaran pendapatan yang diterima oleh investor nanti tetap ada dalam kisaran 4000 rupiah per lembar obligasi.

 

Cara pertama, lebih condong pada pola qardlu jara naf’an (utang menarik kemanfaatan) sehingga haram. Adapun pola kedua, adalah berbasis akad ijarah dalam mencarikan utangan. Alhasil, beda skemanya. Wallahu a’lam bish shawab.

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim