Syariah

Rumah Subsidi, Over Kredit, dan Pelanggaran atasnya dalam Islam

Jum, 24 Juli 2020 | 11:00 WIB

Rumah Subsidi, Over Kredit, dan Pelanggaran atasnya dalam Islam

Tren membeli rumah subsidi semata sebagai investasi membuat banyak orang-orang berpenghasilan rendah tersingkir dari haknya mendapat rumah murah. (Foto: pu.go.id)

Pemerintah lewat Kementerian PUPR telah mengeluarkan kebijakan membangun rumah subsidi. Rumah tersebut sedianya diperuntukkan bagi rakyat berpenghasilan rendah yang dipasarkan lewat skema Kredit Perumahan Rakyat (KPR), baik secara konvensional maupun secara syariah. Kebijakan ini dipublikasikan lewat situs resmi Kementerian PUPR sejak Maret 2019.

 

Terhitung per 26 Juni 2020, anggaran yang telah digelontorkan oleh pemerintah lewat Kementerian PUPR terkait dengan pembiayaan rumah subsidi lewat program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), adalah mencapai 7.11 trilliun rupiah. Sebuah angka yang tidak bisa dibilang kecil untuk periode pertengahan 2019 sampai paruh awal 2020.

 

Yang perlu diketahui adalah, bahwa program rumah subsidi bukan program baru, melainkan sudah ada sejak tahun 2010. Total anggaran yang dikucurkan lewat FLPP, terhitung sejak 2010 hingga 2020, sudah mencapai 51,48 triliun dengan total unit rumah subsidi sebanyak 725.937 dari target total 1.300 ribu unit rumah. Jadi, yang sudah terlaksana sudah mencapai + 66%. Masih tersisa sekitar 34% lagi yang belum terlaksana.

 

Program perumahan subsidi ini di satu sisi bermanfaat sekali bagi masyarakat, karena ada beberapa kebijakan istimewa di sana, yaitu:

 

  1. Tidak dikenakan pajak
  2. Memiliki skema pembiayaan dengan angsuran yang murah. Berdasarkan situs kementerian PUPR, terakhir dikabarkan bahwa uang muka pembelian rumah subsidi tersebut hanya dikenakan 1% dari tipe rumah yang dibeli
  3. Layak huni dan memiliki luas 36 meter persegi (tipe 36)
  4. Berada di lokasi / kawasan dekat dengan industri, dan berada di pinggiran kota (wilayah urban)
  5. Kelemahan dari rumah subsidi ini adalah tidak sembarangan bisa direnovasi, melainkan harus menunggu 2 tahun setelah lunas masa cicilannya. Setelah itu, baru pemilik bisa merenovasinya sesuka hati.

 

Nah, yang hendak kita permasalahkan secara fiqih adalah bahwa program rumah subsidi ini peruntukannya adalah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, yaitu kisaran minimal 4 juta rupiah per bulan. Namun, beberapa pihak menjadikannya sebagai ajang bisnis baru yang kemudian disebut sebagai investasi. Mereka membeli rumah tersebut dengan harga sesuai harga subsidi itu diperuntukkan, kemudian mereka menjualnya kembali ke masyarakat setelah waktu tertentu. Akibatnya, skema pembayaran menjadi berubah. Jika pembeli dari kalangan masyarakat kecil berhubungan dengan pihak pengembang secara langsung, maka mereka bisa mendapatkan skema kredit yang diberi subsidi oleh pemerintah. Namun, jika mereka membeli dari pihak tangan kedua yang sudah membeli duluan terhadap rumah subsidi itu, mereka bisa menerima status pembayarannya secara over kredit atau bahkan sistem balloon payment. Skema yang umum adalah skema over kredit.

 

Skema Over Kredit

Sebenarnya, sistem over kredit ini diterapkan melalui cara pemindahkuasaan dan tanggungan dari pembeli lama ke pembeli baru. Tanggungan yang dipindahkuasakan ini berupa tanggungan cicilan kredit yang harus dilanjutkan oleh pembeli baru.

 

Keuntungan yang dicari oleh para pembeli lama ini adalah keuntungan yang diperoleh lewat jalan jual beli barang musya’ (jual beli barang milik bersama). Dalam akad jual beli kredit, barang yang sudah berhasil dicicil dengan skema ijarah muntahiyah bi al-tamlik (perjanjian sewa beli) atau syirkah musahamah (perjanjian partisipatif), atau dalam Mazhab Syafii dikenal sebagai akad Syuf’ah (akuisisi barang), pada hakikatnya kepemilikan dari barang yang dijualbelikan atau yang diakuisisi merupakan mal musytarak (harta bersama) antara pembeli lama dengan kreditur. Pembeli baru datang mengakuisisi bagian dari pembeli lama, dan selanjutnya ia beralih ke mengakuisisi bagian milik kreditur.

 

Akad seperti ini pada dasarnya adalah boleh karena masuk unsur jual beli barang musya’. Yang terpenting dalam dialektika fiqih mazhab Syafii, adalah jika 1) harga bagian pembeli lama adalah maklum, 2) keridlaan debitur baru dalam menerima pemindahkuasaan cicilan barang yang dijualbelikan, 3) tidak ada illat larangan yang terlibat di dalamnya.

 

Selain ketiga hal di atas, ada catatan yang paling penting untuk diketahui bahwa dalam praktik jual beli over kredit itu, yaitu tidak adanya unsur ‘aridli (faktor eksternal) yang menyebabkan terlarangnya akad tersebut. Kita perlu menyadari bahwa penyebab terlarangnya suatu akad pada dasarnya ada 2, yaitu: Pertama, penyebab internal, antara lain bila terdapat illat (penyebab) keharaman di dalamnya, seperti karena adaya unsur riba, maisir (judi), gharar (spekulatif/untung-untungan), ghabn (kecurangan), dlarar (merugikan), dan jual beli barang yang belum menjadi milik serta harganya tidak maklum. Kedua, penyebab eksternal, yaitu sebab praktik jual beli tersebut merupakan yang dilarang oleh pemerintah karena diindikasikan merugikan pihak lain.

 

Relasi faktor intenal merupakan relasi karena pengaruh khithab syara’ (perintah nash) sehingga masuk bingkai hukum taklifi (hukum yang berkaitan dengan hak dan kewajiban mukallaf). Sementara itu, relasi faktor eksternal merupakan relasi karena perintah taat kepada waliyu al-amri (pemimpin) sehingga masuk bingkai hukum wad’i (hukum positif).

 

Nah, di dalam kebijakan pemerintah terkait dengan rumah subsidi ini, pemerintah menggariskan bahwa peruntukan kredit rumah subsidi adalah diperuntukkan bagi masyarakat dengan penghasilan rendah atau belum memiliki rumah. Oleh karenanya, terlibatnya pihak ketiga yang tidak masuk kategori masyarakat berhak di subsidi dalam mengakuisisi perumahan subsidi dengan tujuan mencari keuntungan melalui pemindahtanganan skema kredit (over kredit) adalah merupakan yang tidak dibenarkan oleh syara’ karena pertimbangan 2 hal, yaitu:

 

 

Pertama, melanggar ketetapan yang digariskan oleh pemerintah

 

تصرف الإمام على رعيته منوطٌ بالمصلحة

 

“Kebijakan Imam terhadap rakyat yang dipimpinnya adalah mewujudkan kemaslahatan.”

 

Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ

 

“Wajib atas seorang Muslim mendengar dan taat dalam perkara yang disukai atau dibenci oleh waliyu al-amri, kecuali diperintahkan berbuat maksiat. Jika diperintah maksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat kepadanya” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

 

Kedua, merugikan pihak lain (dlarar), yaitu masyarakat kalangan berpenghasilan rendah yang seharusnya mendapatkan kebijakan subsidi tersebut.

 

Al-Khadimi di dalam Bariqatu al-Mahmudiyah, menyampaikan:

 

وكل مأمور بإطاعة من له الأمر إنْ على الشرع فبِها، فإن لم يكن على الشرع فإن أدى عصيانُه إلى فساد عظيم فيُطيع فيه أيضًا؛ إذ الضرر الأخف يُرتكب للخلاص من الضرر الأشد والأعظم.. والمفهوم من الفقهية أن كل مباحٍ أَمَرَ به الإمامُ لمصلحةٍ داعيةٍ لذلك فيجب على الرعية إتيانه

 

“Semua perintah yang diperintahkan waliyu al-amri dan hukumnya wajib mematuhinya adalah jika perintah itu sesuai dengan syara’. Jika perintah itu tidak sesuai dengan syara’, dan bila mengabaikan perintah tersebut justru dapat menimbulkan kerusakan yang besar, maka mentaatinya adalah juga wajib hukumnya, karena suatu kerugian yang lebih ringan mudah diselesaikan dibanding kerugian yang lebih besar dan lebih dahsyat... [Oleh karena itu] selanjutnya yang bisa difahami dari sisi fiqih adalah bahwasanya segala perkara yang mubah, namun bila hal itu diperintahkan oleh Imam karena faktor adanya kemaslahatan yang bisa diharapkan timbul darinya, maka hukumnya adalah menjadi wajib bagi rakyat untuk mengikuti perintah itu.” (Al-Khadimy, Bariqatul Mahmudiyah, Beirut: Musthofa al-Halaby, tt., Juz 1, halaman 62).

 

Alhasil, berdasarkan ibarat ini, maka hukum mematuhi ketentuan yang sudah digariskan oleh pemerintah untuk tidak membeli rumah subsidi yang diperuntukkan bagi masyarakat dengan penghasilan rendah, merupakan hal yang wajib diikuti, sebab aturan tersebut adalah untuk mewujudkan maslahah yang lebih besar bagi masyarakat. Tindakan mengakuisisinya dengan peruntukan bukan untuk ditinggali dan hanya dijadikan sebagai ajang pencarian keuntungan lewat jalan investasi adalah sebuah perbuatan yang aniaya dan merugikan pihak yang berkebutuhan.

 

Lantas apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam menyikapi realitas semacam? Dalam kondisi seperti di atas, maka wajib hukumnya bagi pemerintah untuk menegakkan aturan yang berlaku atas nama kemaslahatan umat sebagai buah dari relasi mandat (manath) yang diembannya dalam mewujudkan kemaslahatan. Al-Zarkasy menukil sebuah pernyataan dari al-Farisi yang menyandarkan ucapannya kepada Imam al-Syafii rahimahullah:

 

قَالَ (الْفَارِسِيُّ) فِي عُيُونِ الْمَسَائِلِ: قَالَ الشَّافِعِيُّ (- رَحِمَهُ اللَّهُ -) : مَنْزِلَةُ الْوَالِي مِنْ الرَّعِيَّةِ: مَنْزِلَةُ الْوَلِيُّ مِنْ الْيَتِيمِ انْتَهَى. وَهُوَ نَصٌّ فِي كُلِّ وَالٍ، وَمِنْ ثَمَّ إذَا قَسَّمَ عَلَى الْأَصْنَافِ حَرُمَ عَلَيْهِ التَّفْضِيلُ مَعَ تَسَاوِي الْحَاجَاتِ؛ لِأَنَّ عَلَيْهِ التَّعْمِيمَ وَكَذَا التَّسْوِيَةُ، بِخِلَافِ (الْمَالِكِ) فِيهِمَا

 

“Al-Farisi di dalam Uyunu al-Masail menjelaskan bahwasanya Imam Syafii rahimahulla berkata: “Derajat waliy al-amri terhadap rakyat yang dipimpinnya adalah menyerupai derajatnya wali terhadap anak yatim.” Dalam konteks ini, Imam Syafii menujukan konsep penyetaraan ini adalah dalam segala aspek perwalian (urusan). Oleh karena itu, bila seorang imam membagikan zakat kepada asnaf-asnaf yang berhak menerima, maka hukumnya adalah haram bila dilakukan dengan jalan tebang pilih sementara hajat mereka sama. Mengapa? Sebab, meratakan bagian itu hukumnya adalah wajib seiring adanya kesamaan. Hal ini sedikit berbeda dengan pendapatnya Imam Malik.” (Badaruddin al-Zarkasy, al-Mantsur fi al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Beirut: Daru al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., Juz 1, halaman 309)

 

Mafhumnya dari pendapat Imam Syafii di atas adalah, berkaitan dengan kebijakan Imam terhadap beberapa asnaf zakat yang dalam syariat menghendaki penyamarataan mereka sebab status asnaf yang dimilikinya sehingga menghendaki penyamaan hak. Bagaimana jika statusnya tidak sama? Sebagaimana yang satu masyarakat yang membutuhkan rumah, dan satu lagi tidak membutuhkan. Sudah barang tentu, jika pemerintah tidak bertindak, maka ia justru yang berdosa. Oleh karenanya, wajib melakukan penegakan hukum yang sudah disepakati bersama.

 

Lantas, bagaimana dengan status halal haramnya barang yang dijualbelikan? Dilarangnya akad over kredit sebagaimana penjelasan di atas, adalah bukan disebabkan karena larangan nash, melainkan disebabkan karena hukum wadl’i (hukum positif negara) yang mengatur. Oleh karenanya, jual belinya pihak pembeli lama dan mengalihkannya ke pembeli baru hukumnya tetap sah secara syara’, namun terlarang disebabkan larangan dari pemerintah dan tidak sebagaimana ketentuan yang digariskan peruntukannya.

 

Wallahu a’lam bish shawab

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim