Syariah

Kompleksitas Bunga Bank dalam Kajian Fiqih Muamalah

Sen, 13 Januari 2020 | 10:15 WIB

Kompleksitas Bunga Bank dalam Kajian Fiqih Muamalah

Nabi pernah menoleransi adanya praktik jual beli barang ribawi lewat ketetapan bai’ araya yang hakikatnya adalah menoleransi praktik ribawi akan tetapi terukur dan karena alasan hajatun nas.

Peniadaan unsur penindasan (zhulm) dan eksploitasi kaum lemah (adh’afan mudha’afah) merupakan illat hukum yang dikuatkan oleh syariat melalui ketetapan nash yang berhubungan dengan masalah riba. Sementara itu, bunga bank yang dipungut melalui akad mudayanah (perkreditan), dari sisi praktiknya memang menetapkan adanya syarat yang ditetapkan di muka berupa tambahan pemgembalian (bunga).

Jika kita mengacu pada kaidah dasar bahwa setiap manfaat tambahan yang diberikan pada pemberi kredit terhadap ra'sul mal (pokok utang) dan dipungut serta ditetapkan di muka maka hukumnya adalah riba, maka di sisi ini kita memang tidak bisa mengelak, bahwa akad mudayanah tersebut adalah memang bagian dari riba. Allah SWT memang memerintahkan dalam ayat terakhir tentang riba, sebagai:

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَذَرُوا۟ مَا بَقِیَ مِنَ ٱلرِّبَوٰۤا۟ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِینَ

Artinya, "Wahai orang-orang yang beriman, takutlah kalian kepada Allah, dan tinggalkanlah sisa transaksi riba, jika kalian termasuk orang mukmin," (Surat Al-Baqarah ayat 278).

Persoalannya kemudian adalah bahwa kita dihadapkan pada kasus:
1. Adanya bank dalam institusi negara hukumnya adalah “wajib ada” secara dharury (pasti), dengan kedudukannya sebagai penjaga kebijakan dan sistem moneter dalam negeri serta menjadi palang pintu utama masuknya mata uang asing ke dalam negeri. Tanpa bank, mata uang asing dapat masuk bebas ke dalam negeri sehingga dapat menggerus dominasi rupiah di negeri sendiri. 

2. Rasio suku bunga dan suku bunga acuan merupakan yang ditetapkan oleh bank sentral kepada bank jejaring sebagai bentuk penyesuaian dan kontrol terhadap sistem moneter dalam negeri, buah dari risiko terjun dalam kancah “politik” perdagangan global/internasional. Terjun dalam kancah politik perdagangan ini sifatnya juga dharury karena beberapa kebutuhan masyarakat tidak bisa diproduksi oleh negeri sendiri, sehingga tetap memerlukan impor. Selain itu, sebagai bagian dari srategi menjaga agar iklim investasi dalam negeri tetap berlangsung aman sehingga modal asing tidak lari ke luar negeri.

3. Bunga bank yang diberlakukan oleh bank jejaring sifatnya adalah luzum (terikat/ada rangkaian sebab-akibat) dengan ketetapan yang sudah diberikan oleh Bank Sentral. 

4. Sifat dari bunga bank adalah “terukur” yang besarannya ditetapkan berdasarkan hasil survei terhadap pasar, baik pasar domestik maupun pasaran global, yang ditetapkan sebagai bagian langkah pengendalian dan stabilitasi sistem keuangan.

5. Bank merupakan lembaga intermediasi keuangan yang paling mudah dihubungi oleh masyarakat saat ia memerlukan modal besar guna memulai suatu usaha dan kebutuhan dalam waktu cepat

Karena bank kedudukannya bersifat dharury serta wajib ada di sebuah negara dan tanpa keberadaannya justru dapat menimbulkan dampak yang besar bagi kemaslahatan nasional, maka catatan utama yang penting untuk kita garis bawahi terkait dengan bunga bank, sebagai bagian kebijakannya, adalah:

1. Bahwa suku bunga bank ditetapkan adalah secara terukur. Sifat keterukuran ini yang nantinya mengecualikannya dari aktivitas penindasan (zhulm) dan eksploitatif (adh’afan mudha’afah)

2. Bank jejaring hanya berperan selaku pelaksana aturan dan terikat.

3. Ketetapan rasio suku bunga tidak hanya mempengaruhi perbankan konvensional, melainkan juga perbankan syariah diakibatkan karena fungsi pengendaliannya

4. Nabi pernah menoleransi adanya praktik jual beli barang ribawi lewat ketetapan bai’ araya yang hakikatnya adalah menoleransi praktik ribawi akan tetapi terukur dan karena alasan hajatun nas.

Dengan mencermati keempat alasan pokok ini, maka pertanyaan yang penting untuk didiskusikan dan dijadikan wacana adalah apakah bunga bank melalui sifat keterukurannya itu bisa masuk dalam ranah praktik ribawi yang bisa ditoleransi (rukhshah) sebagaimana praktik bai’ ‘araya?

Demikian juga, karena maksud dari penetapan rasio suku bunga adalah sebagai instrumen pengendalian yang bersifat terukur sehingga jauh dari unsur penindasan dan eksploitatif, baik yang berlaku atas nasabah maupun yang berlaku atas perbankan disebabkan unsur menunda-nundanya nasabah dalam melaksanakan kewajiban melunasi utangnya, maka apakah pengendalian ini justru bukannya yang bersifat dibutuhkan sebagaimana kebijakan tas’ir (pematokan harga pasar oleh pejabat yang berwenang)? 

الإسلام أس والسلطان حارس وما لا أس له ينهدم وما لا حارس له يضيع

Artinya, "Islam itu fondasi, dan pemimpin negara adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak memiliki pondasi akan mudah dirobohkan. Segala sesuatu yang berpondasi namun tidak ada yang menjaganya, maka akan berlaku sia-sia" (Al-Afyuni, Al-'Alaqah bainad Din wad Daulah, halaman 176).

Bank Indonesia sebagai ujung tombak pengendalian menduduki maqam ad-daulah dalam ibarat di atas sehingga memiliki kebijakan yang harus diikuti oleh bank jejaring. Aplikasi kebijakan ini tidak jauh dari sebuah strategi atau siasah (politik) guna mengambil tindakan seperlunya dalam rangka menjaga kemaslahatan bersama dalam bingkai moneter.

Mencermati terhadap aplikasi dari siasah (politik) ini, ada sebuah pernyataan dari Syekh Muhammad bin Abu Bakar Ayyub dalam kitabnya, bahwa:

السياسة ما كان فعلا يكون معه الناس أقرب إلى الصلاح، وأبعد عن الفساد ، وإن لم يضعه الرسول صلى الله عليه وسلم، ولا نزل به وحي ولم يخالف ما نطق به الشرع : فصحيح

Artinya, "Yang dimaksud sebagai politik dalam Islam itu adalah segala aktivitas yang bisa membawa manusia lebih dekat pada kemakmuran, dan menjauhkannya dari kerusakan, meskipun belum mendapatkan legalitas dari Rasulillah SAW atau mendapatkan legitimasi wahyu, dan tidak bertentangan dengan bunyi teks syariat, maka politik yang demikian itu adalah shahih" (Muhammad Ibn Abu Bakar Ayyub, At-Thuruqul Hukumiyyah fi Siyasatis Syar'iyyah, [Kairo, Mathba'ah Madani: tt], halaman 17).

Penetapan rasio suku bunga hasil dari riset terukur sebagai acuan dan landasan gerak bagi bank jejaring adalah bagian yang aqrab (lebih dekat) kepada kemakmuran itu dalam ranah perbankan nasional. 

Sementara imbasnya yang kemudian harus menetapkan syarat di muka (bunga) pada praktik akad mudayanah (perkreditan), adalah sebuah aplikasi turun dari sesuatu yang ideal kepada wasilah yang lebih dekat pada kemampuan membawa tercapainya kemakmuran (as-shilah). 

النزول من المثل الأعلى آلى الواقع الأدنى

Artinya, "Turun dari langit idealisme menuju realitas bumi yang lebih dekat," (Abdullah bin Ibrahim Al-Anshary, Al-Buhûts wad Dirâsâtul Muqaddamât lil Mu'tamar, [Beirut, Al-Mansyurât al-Maktabah al-'Ashriyah: 1981 M], juz VI, halaman 37-38).
 

Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah-PW LBMNU Jawa Timur.