Syariah

Tumpahan Minyak dan Tanggung Jawab Risiko Dampak Lingkungan

Rab, 2 Oktober 2019 | 06:30 WIB

Baru-baru ini muncul kasus kebocoran minyak Pertamina di perairan Karawang. Insiden ini terjadi di wilayah pesisir utara Jawa Barat pada Jum’at (12/7/2019) dan mengalami perluasan hingga Senin (15/7/2019) di wilayah sekitar anjungan lepas pantai YYA-1 area Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ. Sebuah wilayah yang berjarak lokasi dua kilometer dari pantai utara Karawang, Jawa. 
 
Ada banyak kerugian yang diakibatkan tumpahan minyak ke perairan. Berdasarkan data lapangan, kerugian itu mencakup kerugian bagi petambak di sekitar lokasi pesisir, kerugian nelayan yang menurun hasil tangkapannya, serta dampak ekologi lainnya, berupa matinya biota laut dan terumbu karang tempat berkembangbiaknya ikan. Ringkasnya, kerugian itu pastilah sedemikian besar. 
 
Yang ingin kita kupas kali ini adalah apakah dampak kerugian itu masuk wilayah fiqih yang harus mendapatkan ganti? 
 
 
Kasus di atas, mirip dengan kasus seorang yang menggali sumur di jalanan umum, kemudian ada orang meninggal akibat tercebur ke sumur itu. Apakah penggalinya wajb memberikan tempuh risiko? Kasus di atas sekiranya juga sama dengan seseorang yang menaruh sesuatu di atas kendaraan angkutan. Kemudian, akibat menaruhnya tersebut, rusaklah barang yang lain yang juga turut diangkut di kendaraan tersebut. Adakah orang yang menaruh wajib melakukan ganti kerugian? Sama halnya dengan seorang tukang angkutan, menaruh barang di atas angkutannya. Kemudian, secara tidak disengaja, barang tersebut jatuh di tengah perjalanan. Adakah jasa angkutan tersebut wajib menanggung risiko?
 
Mengapa kita samakan kasus tumpahan minyak dengan kasus menggali sumur di tengah jalan? Jawabnya karena jalan merupakan sarana umum. Kedudukannya sama dengan laut yang merupakan wasilah transportasi laut. Dengan demikian, laut menduduki maqam jalanan umum. Adapun tumpahan minyak merupakan unsur ketidaksengajaan. Maqam fiqihnya menduduki maqam galian sumur yang memang tidak ditujukan untuk mencelakai orang. Jika ada orang yang masuk dan terjatuh ke dalam sumur yang ada di jalanan umum tersebut, maka itu adalah masuk unsur ketidaksengajaan. Karena bagaimanapun juga, menggali sumur di lokasi jalanan umum untuk dimanfaatkan kebutuhan sehari-hari, hukum asalnya adalah boleh, meskipun ada harus ada catatan, yaitu izin dari hakim atau pamong masyarakat setempat. Sumur minyak sudah pasti digali dengan berdasarkan izin kepada pengelola yang ada dari pemerintah. 
 
Mengapa kasus di atas juga kita samakan dengan kasus jatuhnya barang seseorang yang barangnya diangkut oleh juru angkut? Bagaimanapun juga angkutan itu merupakan sarana umum yang diizinkan penggunaannya oleh pemilik jasa. Pemilik jasa menempati maqam pemerintah pemberi izin. Angkutan menempati maqam lokasi pengeboran yang diizinkan. Sementara pengangkutan menempati maqam pengeborannya. Bila terjadi kasus barang jatuh, maka kasus ini menempati maqam kebocoran pada kasus pengeboran. 
 
Dengan memperhatikan qiyas (analogi semacam), maka Syeikh Wahbah Al-Zuhaili memberikan sebuah jawaban yang cukup menarik dalam hal ini, antara lain sebagai berikut: 
 
إذا سقط الحمل الذي يحمله الحمال فأتلف مال آخر يكون الحمال ضامنا
 
Artinya: “Apabila ada barang bawaan yang dibawa tukang angkut itu jatuh, kemudian menimpa barang lain sehingga rusak, maka juru bawa (juru angkut barang) wajib menanggung risiko.” (Al-Zuhaili, Nadhariyatu al-Dlammân awa Ahkâm al-Masûliyyah al-Madaniyah wa al-Jinaiyah fi al-Fiqhy al-Islâmi, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2012: 68)
 
Untuk kasus tumpahan minyak di atas disamakan dengan jalanan umum, Syeikh Wahbah al-Zuhaili menghukuminya demikian: 
 
إذا وضع إنسان على الطريق العام حجارة أو أدوات عمارة فعثر به حيوان وتلف أو صب أحد على الطريق العام شيأ يزلق به كالدهن والماء الكثير ونحوهما فزلق به حيوان وتلف يضمن
 
Artinya: “Apabila seseorang menaruh batu atau perkakas bangunan di jalanan umum, lalu ada hewan yang mengais-ngaisnya, kemudian hewan tersebut mengalami kerusakan, atau ada seseorang yang menuang sesuatu yang licin di jalanan umum, semacam minyak atau air yang banyak, atau semisal keduanya, kemudian ada binatang ternak yang terpeleset karenanya dan rusak, maka (penaruh atau penuang cairan) wajib memberikan tempuhan ganti kerugian.” (Al-Zuhaili, Nadhariyatu al-Dlammân awa Ahkâm al-Masûliyyah al-Madaniyah wa al-Jinaiyah fi al-Fiqhy al-Islâmi, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2012: 68-69)
 
Untuk kasus di atas bila disamakan dengan kasus menggali sumur di jalan atau di dekat lokasi berkumpulnya masyarakat, dalam hal ini Syeikh Wahbah al-Zuhaili menyampaikan: 
 
ولو حفر بئرا في سوق العامة أو بنى فيه دكانا فعطب به شيء: إن فعل ذلك بإذن الحاكم لايكون ضامنا وبغير إذنه يكون ضامنا
 
Artinya: “Andaikan ada seseorang yang menggali subur di dekat pasar umum atau membangun toko di lokasi pasar itu, kemudian (tanpa diduga) menyebabkan kerusakan barang lainnya: ‘maka jika tindakan pelaku di atas dilakukan dengan seidzin Hakim, maka ia tidak wajib menanggung risiko kerusakan barang lain tersebut. Akan tetapi apabila tindakannya tanpa disertai idzin Hakim, maka ia wajib menanggung ganti rugi.’” (Al-Zuhaili, Nadhariyatu al-Dlammân awa Ahkâm al-Masûliyyah al-Madaniyah wa al-Jinaiyah fi al-Fiqhy al-Islâmi, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2012: 69)
 
Nah, dari ketiga model qiyas di atas, ada perbedaan menyangkut hukumnya tumpahan minyak. Kita mau ambil yang mana dari ketiganya itu? Jika mengikut qiyas model 1 dan 2, maka pelaku wajib menanggung dampak kerugian. Akan tetapi, bila kita mengikut pada contoh kasus ketiga, maka hukum asal yang berlaku bagi Pertamina adalah tidak wajib menanggung kerugian, sebab bagaimanapun juga, kasus pengeboran minyak, sudah pasti didahului oleh adanya izin dari pemerintah (hakim). 
 
Tapi, apakah benar demikian yang harus berlaku? Kerusakan yang terjadi di pantai sekitar lokasi pengeboran offshore (lepas pantai) secara nyata merupakan imbas dari tumpahan. 
 
Untuk menjawab permasalahan ini, dibutuhkan pengetahuan tentang izin. Izin dalam kasus fiqih menempati maqam syarat. Apabila Pertamina berperan selaku yang mematuhi izin yang diberikan, maka benar bahwa Pertamina tidak memiliki kewajiban untuk menanggung risiko. Pertanggungan risiko dikembalikan kepada Hakim atau Imam atau pemerintah untuk mengatasinya. Akan tetapi, apabila ternyata ditemukan bahwa Pertamina menyalahi perizinan yang diberikan, maka ia tetap berlaku sebagai yang menanggung kerugian. 
 
Ada dua materi perizinan dalam fiqih terkait dengan hal ini, yaitu:
 
وللإنتفاع فيما يمس حقوق الناس في الطرقات يشترط شرطان: أولا - السلامة يعني عدم الآضرار بالآخرين في الحالات التي يمكن التحرز منها. ثانيا - الحصول على إذن من ولي الأمر في الجلوس ووضع الأشياء وإحداثها ونحو ذلك فإن خالف الشخص أحد هذين الشرطين كان ضامنا أثر فعله الذي تسبب به
 
Artinya: "Untuk pemanfaatan sarana jalan yang berhubungan dengan hak masyarakat umum maka berlaku dua syarat, yaitu: Pertama, keselamatan, yakni ketiadaan merugikan pihak lain dalam beberapa hal yang bisa dijaga. Kedua, mendapatkan izin dari pemerintah setempat yang duduk, menangani dan mengoordinasi bidang tersebut, atau lembaga yang sejenis. Jika di kemudian hari ada pihak yang tidak melaksanakan salah satu dari dua syarat ini, maka ia harus bertanggung jawab atas resiko yang ditimbulkan karena usahanya." (Al-Zuhaili, Nadhariyatu al-Dlammân awa Ahkâm al-Masûliyyah al-Madaniyah wa al-Jinaiyah fi al-Fiqhy al-Islâmi, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2012: 68)
 
Dengan mencermati qaidah ini, maka sudah seharusnya bagi pihak Pertamina sejak jauh-jauh hari memiliki mekanisme penanganan kasus-kasus darurat semacam kebocoran. Karena bagaimanapun juga dalam setiap usaha yang memanfaatkan fasilitas publik, ada suatu masa di mana perusahaan harus melakukan perbaruan terhadap manajemen dan sarana usahanya. Bila keberadaan regenerasi dan perbaruan sarana tersebut hilang dari sistem manajerial, maka secara tidak langsung perjalanan usaha itu bisa dikategorikan sebagai tindakan eksploitatif semata yang kehilangan semangat untuk kesetimbangan. Padahal, dalam setiap analisis proyek pendirian badan usaha wajib disertakan adanya mekanisme penanganan risiko ke dalam bagian Analis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Ketiadaan manajemen risiko ini menunjukkan bahwa perusahaan telah lalai untuk memenuhi dua unsur perijinan sebagaimana dimaksud di atas. Akibatnya, bila terjadi sebuah risiko kebocoran, maka ia wajib menanggungnya. Wallahu a'lam bish shawab.
 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur