Syariah

Utang Uang Teman Jatah Beli Mobil dengan Membelikannya Mobil Kredit

Rab, 17 Juli 2019 | 14:15 WIB

Kasus muamalah ini merupakan kasus yang sering terjadi di masyarakat. Kadang penyelesaiannya membutuhkan kearifan. Yang pokok, kedua pelaku yang terlibat di dalamnya saling ridha. Agar lebih jelas berikut ini kita sajikan ilustrasinya.

Sebut misalnya Toni. Namanya telah di-blacklist oleh perbankan, sehingga di bank mana pun dia tidak bisa pinjam uang, baik untuk modal ataupun yang lain. Hal ini membuat dia mengalami kesulitan dalam mengembangkan usahanya. Apalagi, status blacklist itu sendiri terjadi bukan karena kesalahannya, tapi karena ia membiarkan nama dan alamatnya dipergunakan oleh “teman”-nya untuk pinjam uang di bank dan kemudian temannya itu tidak memenuhi kewajibannya.

Di tengah kebingungannya itu, tiba-tiba ia mendapati informasi bahwa temannya yang lain, Rudi, ingin membeli mobil baru yang harganya sudah diketahui sebesar 210 juta rupiah. Akhirnya, Toni mempunyai ide melakukan perundingan dengan Rudi, sebagai berikut:

  • Uang 210 juta yang sedianya untuk membeli mobil secara cash akan dipinjam oleh Toni
  • Agar Rudi tetap bisa memiliki mobil, maka Toni membelikannya mobil atas nama Rudi, dengan cara kredit, dan dengan 60 juta rupiah sebagai uang muka mobil.
  • Sisa uang sebesar 150 juta rupiah akan dipergunakan oleh Toni untuk mengembangkan usahanya.
  • Selanjutnya, kredit per bulan ditanggung oleh Toni sampai mobil lunas.

Yang sering dijadikan objek kajian fiqih adalah termasuk akad apakah ini? Apakah sah berakad dengan rincian sebagaimana diilustrasikan di atas?

Penyelesaian kasus semacam ini secara fiqih sebenarnya tergantung pada kacamata yang dipergunakan. Jika ditilik dari maslahatnya perjalanan, jelas tampak bahwa ada dua kemaslahatan yang dijaga, yaitu:

  1. Toni tetap mendapatkan modal yang dibutuhkan
  2. Rudi tetap bisa membeli mobil yang diinginkannya. 

Kendala fiqih terjadi pada kesimpangsiuran hukum berikut ini: 

  1. Uang yang diterima Toni adalah sebesar 210 juta yang akan dipergunakan membeli mobil secara cash oleh Rudi
  2. Toni membelikan mobil Rudi secara kredit dengan uang muka sebesar 60 juta rupiah dan cicilan ditanggung oleh Toni

Dalam menjawab masalah ini, sebagian fuqaha membaca dua rincian terakhir ini sebagai layaknya pinjam uang sebesar 150 juta dengan kembalian sebesar tambahan total harga mobil secara kredit. Jika harga cash mobil sebesar 210 juta dan harga kreditnya sebesar 300 juta, maka selisih sebesar 90 juta itu dianggap sebagai riba qardli, yaitu riba yang diperoleh akibat dari akad utang piutang. Kesanggupan membayar cicilan yang tentunya lebih besar dari pokok utang ini dianggap sebagai illat riba tersebut, karena seolah dianggap sebagai syarat yang ditetapkan di awal.

Di sisi lain, ada fuqaha yang menekankan pembacaan hukum pada kemakluman harga mobil yang disepakati oleh kedua orang yang bertransaksi. Kemakluman ini dianggap bahwa hakikatnya Toni tidak sedang berutang uang sebesar 210 juta, melainkan ia sedang berutang mobil dengan merek X dengan jalan penerimaan mobil secara hukmi. Dianggap secara hukmi karena sejak awal sudah diketahui motif Rudi untuk membeli mobil. Oleh karena itu, kewajiban Toni adalah mengembalikan utangnya dalam bentuk mobil dan bukan dalam bentuk uang. Dengan demikian, cicilan yang dibayarkan oleh Toni, seolah membayar cicilan mobil dengan merk X yang dibeli untuk dirinya dan diserahkan oleh Toni ke Rudi sebagai bayaran utangnya ke dia. 

Terkait dengan dasar bahwa "motif utama" bisa dijadikan landasan pijakan kesepakatan awal mobil sebagai tolok ukur ini, Al-Zuhaily berpendapat bahwa: 

مصادر الإلتزام شرعا خمسة: هي العقد والإرادة المنفردة والعمل الضار والعمل النافع والشرع وهي تقابل عند القانونيين: العقد، والإرادة المنفردة  والعمل غير المشروع والإثراء بلا سبب والقانون

Artinya: "Sumber kelaziman secara syariah ada 5, yaitu: akad, kehendak individu, perbuatan yang merugikan, perbuatan yang manfaat, dan syara' itu sendiri. Hal ini seolah sama dengan pendapat pakar undang-undang, bahwa sumber kelaziman (ketetapan hukum) juga ada 5, yaitu: akad, kehendak individu, tindakan di luar ketentuan, motif spontanitas tanpa sebab, dan perundang-undangan." (Al-Zuhaily, Nadhâriyatu al-Dlammân, Beirut: Dâr al-Fikr, 1998: 16).

Sulitnya memerinci akad sebagaimana yang berlaku dalam soal, membawa seorang faqih untuk memandang bahwa ada empat pijakan penetapan status sahnya akad sehingga dipandang lazim, yaitu kejelasan transaksi, kejelasan kehendak pribadi, kejelasan motif pelaku transaksi, dan legal standing (syara' atau perundang-undangan yang berlaku). Dasar antisipatif terhadap kemungkinan efek merugikan dari kesepakatan yang terjalin bisa dijembatani oleh nota hitam di atas putih.

Kasus di atas memang terkadang memungkinkan timbulnya potensi keributan (munâza'ât) di belakang hari. Biasanya, dalam hukum positif, kasus penyelesaian tanggung jawab ini diperantarai dengan nota hitam di atas putih pengambilalihan tanggung jawab cicilan. Dalam nota ini umumnya juga disertai kesepakatan sanksi yang akan diterima oleh pihak yang melakukan pelanggaran/mangkir dari tanggung jawabnya. Nota ini pula yang berperan sebagai yarfau al-khilaf (legal standing) atas kasus qabdlu hukmi tersebut. 

وأما القبض الحكمي فهو كل ما تتحقق به الحيازة والتمكن من التصرف ، بحسب العرف السائد ، من غير تناول باليد أو قبض حسي

Artinya: "Al-qabdlu al-hukmi adalah segala sesuatu yang menyatakan terjadinya perpindahan hak milik atau hak kelola aset menurut ‘urf yang berlaku tanpa keterlibatan unsur tangan atau penerimaan tradisional.” (Keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islam Nomor 53)

Sampai di sini, maka motif Toni hakikatnya diyakini tidak sedang ingin membahayakan atau menafikan kehendak individu dari Rudi. Di sisi lain ia membutuhkan uang itu untuk pengembangan usaha. Rudi sendiri juga percaya bahwa Toni akan menunaikan kewajibannya secara tepat waktu. Tidak ada motif dasar baginya untuk mengambil manfaat dari Toni dengan jalan riba. Walhasil, menurut pandangan yang kedua ini, akad sebagaimana yang dijalankan oleh Toni dan Rudi adalah sah secara syariat. Wallahu a'lam bish shawab.


Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur