Syariah

Pentingnya Mengenal Fiqih Perbandingan

Sel, 27 Februari 2018 | 15:00 WIB

Masyarakat Muslim tidak lepas ajaran syariat, yang tercakup dalam hukum fiqih. Fiqih menjadi ilmu yang penting, karena ia membahas mulai cara ibadah, interaksi antarsesama dan banyak lainnya.
 
Ajaran fiqih yang diajarkan dan diamalkan oleh Muslim Indonesia, kebanyakan mengikuti hasil putusan maupun kaidah-kaidah mazhab Imam Asy-Syafi’i. Begitupun kitab fiqih yang populer dikaji di sebagian besar pesantren Indonesia, adalah karya para ulama yang bermazhab Syafi’i, seperti Imam an Nawawi, Imam Ar Romli, dan banyak lainnya.
 
Bagi kalangan awam yang belum mencapai kemampuan ahli fiqih dan merumuskan hukum, memiliki kewajiban mengikuti suatu mazhab fiqih. Tentu ini bukan tanpa alasan. Melalui ijtihad para imam, dalil dari Al-Quran dan hadits disarikan serta dipahami untuk diamalkan umat Islam. Mengabaikan ijtihad para imam mazhab, merupakan hal yang gegabah dan kiranya cukup arogan.
 

Imam Al Syathibi dalam kitab Al I’tisham membagi tiga kalangan mukallaf dalam memahami dan mengamalkan syariat: 
 
الْمُكَلَّفُ بِأَحْكَامِهَا لَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أُمُورٍ ثَلَاثَةٍ
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ مُجْتَهِدًا فِيهَا، فَحُكْمُهُ مَا أَدَّاهُ إِلَيْهِ اجْتِهَادُهُ فِيهَا، لِأَنَّ اجْتِهَادَهُ فِي الْأُمُورِ الَّتِي لَيْسَتْ دَلَالَتُهَا وَاضِحَةً إِنَّمَا يَقَعُ مَوْقِعَهُ عَلَى فَرْضِ أَنْ يَكُونَ مَا ظَهَرَ لَهُ هُوَ الْأَقْرَبُ إِلَى قَصْدِ الشَّارِعِ وَالْأَوْلَى بِأَدِلَّةِ الشَّرِيعَةِ؛ دُونَ مَا ظَهَرَ لِغَيْرِهِ مِنَ الْمُجْتَهِدِينَ.
 
“Kalangan pertama adalah orang-orang yang telah mencapai tingkatan mujtahid, sehingga dapat melakukan penggalian dan perumusan hukum, yang dengan pengetahuannya ia harus melakukan hal yang lebih ia pahami sebagai syariat dari nash agama.” 
 
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُقَلِّدًا صِرْفًا خَلِيًّا مِنَ الْعِلْمِ الْحَاكِمِ جُمْلَةً. فَلَابُدَّ لَهُ مِنْ قَائِدٍ يَقُودُهُ.
 
“Kemudian yang kedua adalah kalangan yang mesti taqlid, yaitu yang belum memiliki kemampuan untuk memahami dan merumuskan hukum fiqih. Kalangan awam ini, ia mesti mengikuti seorang imam mazhab yang melakukan ijtihad tadi.”
 
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ غَيْرَ بَالِغٍ مَبْلَغَ الْمُجْتَهِدِينَ. لَكِنَّهُ يَفْهَمُ الدَّلِيلَ وَمَوْقِعَهُ. وَيَصْلُحُ فَهْمُهُ لِلتَّرْجِيحِ بِالْمُرَجِّحَاتِ الْمُعْتَبَرَةِ فِي تَحْقِيقِ الْمَنَاطِ وَنَحْوِهِ
 
“Dan kalangan ketiga adalah yang belum mencapai kemampuan ijtihad, namun mengetahui cara perumusan putusan fiqih, sehingga dapat membandingkan istinbath para ulama. Ia bisa memiliki kapasitas tersebut di satu bidang tertentu, namun di bidang lain yang belum diketahui, maka ia harus mengikuti ijtihad para imam mazhab sebagaimana kalangan awam.”
 

Melalui metodologi dan kaidah yang disusun para imam mazhab, tiap kesimpulan hukum yang disajikan bisa berbeda. Memahami istinbath hukum menjadi cara mengenali perbedaan pemahaman fiqih, baik dalam perbedaan dalam internal mazhab, maupun di mazhab lainnya.
 
Perbedaan itu meliputi banyak hal. Mengapa Imam As Syafii menilai bacaan basmalah dalam al-Fatihah itu wajib dalam shalat, sedangkan Imam Malik tidak? Mengapa Imam Abu Hanifah menganggap hanya air liur anjing yang najis, sedangkan bulu dan kulitnya tidak? Kiranya mengenali perbedaan ini bukan suatu hal yang terlarang.
 
Melihat bahwa kerap kesimpulan hukum dalam satu mazhab, alih-alih dari mazhab lain itu berbeda, menunjukkan ragam cara ulama mazhab memahami Al-Qur’an dan hadits Nabi. Lantas, apa pentingnya mengenal fiqih perbandingan (al-fiqh al-muqâran) untuk kalangan awam?
 
Hendaknya orang tidak fanatik atas mazhab yang diikutinya. Sebagaimana disebutkan Syekh Said Ramadhan al Buthi dalam buku Al Lâ Madzhabiyah, orang yang belum memiliki kemampuan merumuskan hukum harus mengikuti para imam mazhab, namun hendaknya tidak meyakini bahwa yang dianutnya lebih unggul dibanding mazhab lainnya.
 

Perlu ditekankan saat mengenal dan mempelajari fiqih perbandingan tidak boleh mencampur aduk hukum fiqih seenaknya. Kewajiban mengikuti mazhab tertentu harus dipedomani. Bagi kalangan awam, mengenal fiqih perbandingan ini bisa memberi pemahaman bahwa hukum Islam begitu luas. Ia akan lebih jernih merespon perbedaan pendapat dan tak buru-buru menghakimi salah kepada orang yang tak sepaham.
 
Kalangan yang awam yang mengenal berbagai ragam hukum fiqih, hendaknya menjadikan diri lebih bijaksana memahami perbedaan pandangan hukum fiqih. Meskipun akses berbagai kitab begitu mudah saat ini, hal itu tidak menjadikan seseorang yang bisa membacanya sekonyong-konyong memiliki otoritas untuk melakukan perumusan hukum dan berfatwa. Wallahu a’lam. (Muhammad Iqbal Syauqi)
 

 


Simak ulasan NU Online seputar fiqih lintas mazhab di kanal Fiqih Perbandingan