Hikmah

Haji Wada’, Momen Perpisahan Rasulullah

Sen, 4 September 2017 | 08:30 WIB

Haji Wada’, Momen Perpisahan Rasulullah

Haji Wada’, Momen Perpisahan Rasulullah.

Ketika para jamaah hendak meninggalkan kota suci Makkah, seusai melaksanakan ibadah haji, mereka melakukan thawaf perpisahan yang disebut thawaf Wada’. Rasa haru dan sedih, perasaan bangga dan bersyukur biasanya mewarnai perasaan setiap jamaah yang melakukan thawaf perpisahan itu. Tanpa terasa tiba-tiba air mata mengalir dengan derasnya sebagai ekspresi dari suatu keadaan yang tidak mungkin dapat dilukiskan dengan perkataan. Perpisahan biasanya merupakan suatu yang mengharukan dan mengesankan, kita merasa sangat berat menghadapi peristiwa itu, tetapi ia harus terjadi, sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindari.

Dalam sejarah kehidupan Rasul Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam dikenal adanya haji wada’, yaitu ibadah haji terakhir yang dilakukan oleh Nabi sebagai haji perpisahan. Dalam ibadah haji itu Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam menerima wahyu yang menjelaskan kesempurnaan agama Islam, sebagai agama yang diridhai oleh Allah, demikian juga karunia nikmat Allah telah dianugrahkan kepada Nabi dan umatnya secara lengkap dan sempurna. Wahyu itu terdapat dalam surat al-Maidah ayat 3:
 

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا


“Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagimu agamamu dan telah Aku lengkapi karunia nikmat-Ku atasmu serta telah Aku ridhai Islam itu menjadi agamamu.” (QS al-Maidah: 3)

Dengan demikian sempurnalah agama Allah, agama Islam yang dibawa Rasul Muhammad. Karunia nikmat Allah telah diberikan kepada Nabi dan umatnya pada waktu itu. Karunia itu demikian agung dan menyeluruh, sehingga dapat mengantarkan kesuksesan yang sempurna bagi perjuangan para pembela kebenaran. Tugas risalah Nabi hampir selesai, perjalanannya telah dekat ke arah tujuan, dimulai dari kota Makkah sampai kota Madinah. Rasulullah bersama para sahabatnya telah menyalakan pelita yang menyinari seluruh umat manusia yaitu berupa kebenaran dan petunjuk. Sinar kebenaran agama Ilahi akan terus menyala, tidak akan pudar dan padam untuk selama-lamanya. Risalah telah dilaksanakan, amanat suci telah disampaikan, agama Allah menjadi jaya dan mulia.

Dalam haji wada’ itu ketika Nabi masih berada di Mina, Nabi telah merasakan adanya saat-saat perpisahan dengan umat yang dicintainya, tugas yang agung itu hampir selesai. Turunlah kemudian surat terakhir secara lengkap dari Al-Qur’an yang disebut dalam surat al-Nashr :

 
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ. وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا. فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ  إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا


”Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk ke dalam agama Allah dengan berduyun-duyun, maka bertasbihlah dengan memuji nama Tuhanmu dan mohonlah ampun pada-Nya. Sesungguhnya Ia adalah Maha Penerima Taubat”. (QS  al-Nashr: 1-3)

Ayat tersebut di atas mengisyaratkan tentang akan adanya hari perpisahan, yaitu ketika Nabi telah melaksanakan risalahnya yang dilakukan selama bertahun-tahun, pada saat itu telah menampakkan hasil yang memuaskan. Pertolongan Allah telah datang dengan terbukanya kota Makkah menjadi wilayah kaum Muslimin. Agama Islam berkembang dengan pesatnya, terus menyebar ke berbagai penjuru di seluruh Jazirah Arab. Dijumpailah manusia berbondong-bondong masuk kedalam agama yang agung itu. Pensyahadatan massal dilakukan dimana-mana, kejayaan agama akhir zaman itu tidak dapat dihalang-halangi atau ditangguhkan lagi.

Setelah agama itu sempurna, Nabi telah menunaikan tugasnya dengan segala ketabahan dan kesabaran. Beliau telah membimbing umat manusia dari kegelapan kejahilan menuju cahaya kebenaran, maka hari perpisahan dengan umatnya tidak akan lama lagi. Dalam haji wada’ itu, dihadiri kira-kira 150.000 jamaah dari berbagai lapisan kabilah Arab, suku-suku dan kaum muslimin dari bangsa lain. Pada saat itu Nabi mengumpulkan mereka, dan beliau menyampaikan pidato perpisahan yang amat mengharukan. Nabi mengatakan dalam khutbahnya:

 
أَيُّهَا النَّاسُ اِسْمَعُوْا قَوْلِيْ فَإِنِّيْ لاَ أَدْرِيْ لَعَلِّيْ لاَ أَلْقَاكُمْ بَعْدَ عَامِيْ هذَا، بِهذَا الْمَوْقَفِ أَبَداً


“Wahai saudara-saudaraku, dengarlah dengan baik kata-kataku ini, sesungguhnya aku tidak mengetahui, barangkali aku tidak akan berjumpa lagi dengan kalian dalam suasana seperti ini untuk selama-lamanya”.

Ucapan Nabi yang tidak diduga-duga oleh para sahabat, satu hal yang mereka belum mempersiapkan diri untuk menerimanya, untuk menyambut dan menghadapi kenyataan itu. Mereka seolah-olah ditarik dari suasana yang menggembirakan dan menyenangkan kepada suasana yang mengharukan dan menyedihkan. Mereka terpaku dengan ucapan Nabi: “...barangkali aku tidak akan berjumpa lagi dengan kalian dalam suasana seperti ini untuk selama-lamanya”. Kejutan itu tidak dapat mereka suarakan dengan keras dengan teriakan yang berulang-ulang atau dengan tangisan yang sedu sedan. Mereka hanya mampu mengemukakan isi hati mereka yang diliputi rasa duka yang mendalam, bercampur rasa haru yang mencekam, dengan linangan air mata, maka berlinanglah air mata semua hadirin membasahi wajah mereka.

Di antara pidato perpisahan Nabi yang diungkapkan waktu itu adalah :

 

 
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ إِلَى أَنْ تَلْقَوْا رَبَّكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هذَا فِيْ شَهْرِكُمْ هذَا فِيْ بِلَدِكُمْ هذَا  أَلاَ هَلْ بَلَغْتُمُ اللهَ فَاشْهَدُوْا، فَمَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ أَمَانَةٌ فَلْيُؤَدِّهَا إِلَى مَنِ ائْتَمَنَهُ عَلَيْهَا.


“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya darah dan hartamu haram bagimu satu dengan yang lain kecuali dengan jalan yang sah, sampai kamu sekalian berjumpa dengan Allah, sebagaimana keharaman atasmu pada harimu ini, pada bulanmu ini dan di negerimu ini. Kamu semua akan berjumpa dengan Allah, kamu semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang amal perbuatanmu. Saksikanlah bahwa aku telah menyampaikan hal itu kepadamu. Siapa yang menyimpan amanat seorang dari kalian hendaklah amanat itu ditunaikan kepada yang mengamanatkannya....”.


KH Zakky Mubarak, Rais Syuriyah PBNU