Ilmu Al-Qur'an

Abu Muzahim al-Khaqani, Penyusun Pertama Ilmu Tajwid

Rab, 17 November 2021 | 08:45 WIB

Abu Muzahim al-Khaqani, Penyusun Pertama Ilmu Tajwid

Imam Abu Muzahim al-Khaqani memberikan pengaruh yang sangat besar pada keberlangsungan ajaran Islam, khususnya dalam ilmu tajwid atau cara membaca Al-Qur’an.

Selain sebagai rujukan paling otoritatif dan valid, Al-Qur’an juga memiliki aturan-aturan secara khusus dalam membaca dan memahaminya. Menjaga kemurnian dan kesakralan pelafalan bacaannya yang memiliki ciri khas tentu menjadi sebuah keharusan bagi umat Islam.

 

Selain itu, untuk bisa memahami Al-Qur’an dengan benar, tentu yang diperlukan pertama kali adalah membaca Al-Qur’an dengan benar. Tanpanya akan sangat sulit untuk bisa memahami Al-Qur’an, atau akan keliru jika memaksa untuk memahaminya. Dalam hal ini, dibutuhkan yang namanya ilmu khusus yang membahas cara baca Al-Qur’an, yaitu ilmu tajwid.

 

Di antara hasil usaha para ulama klasik dalam bidang penjagaan cara membaca Al-Qur’an (ilmu tajwid) adalah beberapa kitab kecil, yaitu; (1) Muqaddimah al-Jazariyyah; dan (2) Tuhfatul Athfal. Dua matan (matn) ini dipelajari di berbagai pondok pesantren, sekolah, majlis ta’lim, bahkan universitas. Puluhan bahkan ratusan buku telah lahir untuk menjelaskan dan merinci kedua matan yang penuh berkah ini.

 

Selain dua matan tersebut, ada matan lain yang juga lahir sebagai salah satu bentuk usaha untuk menjaga cara membaca Al-Qur’an, yaitu Ra`iyatul Khaqani atau juga dikenal dengan Qashidah Abi Muzahim al-Khaqani allati Qalaha fil Qurra`i wa Husnil Ada`. Hanya saja, perhatian umat terhadap matan ini tidak sebesar perhatian mereka terhadap dua matan populer yang telah disebut sebelumnya. Padahal, matan ini merupakan matan tertua yang berbicara tentang tajwid dan cara membaca Al-Qur’an.

 

Sebelum membahas perihal sejarah kodifikasi ilmu tajwid lebih mendalam, ada baiknya bagi penulis untuk memulainya dengan menjelaskan definisinya terlebih dahulu demi memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentangnya.

 

Definisi Ilmu Tajwid

Syekh Syamsuddin Abul Khair ibn Jazari Muhammad bin Muhammad bin Yusuf (wafat 833 H) dalam kitab at-Tamhid fi Ilmit Tajwid mendefinisikan tajwid sebagai berikut,

 

“Tajwid adalah menghiasi bacaan Al-Qur’an dan memperindah bacaannya. Hal ini dilakukan dengan cara mengeluarkan suatu huruf sesuai dengan tempat keluarnya (makharijul huruf), membacanya sesuai dengan bacaannya dan melafalkan dengan penuh kelembutan. Selain itu, tidak boleh berlebih-lebihan dalam mengeluarkan makhrajnya huruf dan sembrono dalam mengucapkannya” (Syekh Syamsuddin, At-Tamhid fi Ilmit Tajwid, [Riyadl: Maktabah al-Ma’arif, 1985 M/1405 H, tahqiq: Syekh Ali Husain], h. 59).

 

Berdasarkan definisi di atas, dapat kita pahami bahwa wilayah kajian ilmu tajwid mencakup semua pembahasan perihal bacaan Al-Qur’an secara tematik dan sistematis. Tidak ada satu kalimat dan huruf pun yang terlepas dari ilmu tajwid. Semuanya dibahas secara terperinci dan detail.

 

Permulaan Kodifikasi Ilmu Tajwid

Ilmu yang membahas cara baca Al-Qur’an ini telah bermula sejak awal mula datangnya Islam, yaitu pada masa Rasulullah. Sebab, Allah sendirilah yang memerintah untuk membaca Al-Qur’an dengan tajwid dan tartil. Hanya saja, pada masa itu belum ditemukan pengodifikasian secara khusus.

 

Bacaan-bacaan Rasulullah tentu menjadi referensi paling otoritatif bagi para sahabat. Semua permasalahan tentang cara membaca Al-Qur’an langsung diputuskan oleh mereka berdasarkan arahan secara langsung dari Nabi. Oleh karenanya, belum ditemukan satu kodifikasi ilmu yang membahas secara khusus tentang cara baca Al-Qur’an saat itu. Cara baca mereka masih kuat dan utuh dengan mengacu pada bacaan Rasulullah secara langsung saat bersamanya.

 

Masa sahabat pun selesai, dan diganti oleh masa tabiin (orang-orang yang menututi sahabat). Pada masa itu perkembangan Islam semakin luas, tentu juga banyak pemeluknya yang semakin beragam; dari berbagai bangsa dengan tipikal sosial dan geografis yang plural. Akibatnya, terjadilah asimilasi bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lainnya sehingga banyak umat Islam yang membaca Al-Qur’an dengan gaya dan kehendak sendiri, tanpa metode dan tanpa ilmu.

 

Penyebaran Islam yang terus meluas tidak lantas bersamaan dengan menjadikan pemeluknya bisa membaca Al-Qur’an dengan benar dan tepat sesuai dengan bacaan yang dicontohkan oleh Rasulullah. Dari sinilah, ilmu yang membahas secara khusus perihal cara membaca Al-Qur’an dengan benar mulai dibutuhkan.

 

Tepat pada abad kedua setelah hijrah, lahirlah seorang anak yang kemudian menjadi ulama tersohor yang berhasil mengodifikasikan ilmu tajwid, dia adalah Imam Abu Muzahim al-Khaqani, yang kemudian dikenal dengan kitab karangannya yang berjudul Qashidah Raiyyah fil Qurra wa Husnil Ada. Pendapat ini sebagaimana ditegaskan oleh Syekh al-Jazari dalam kitabnya, Ghayatun Nihayah fi Thabqatil Qurra:

 

هُوَ أَوَّلُ مَنْ صَنَّفَ فِي التَّجْوِيْدِ

 

Artinya, “Dia (Abu Muzahim) adalah orang pertama yang menyususun perihal (ilmu) tajwid.”

 

Biografi Abu Muzahim al-Khaqani

Nama lengkapnya adalah Abu Muzahim Musa bin ‘Ubaidillah bin Yahya bin Khaqan Al-Khaqani Al-Baghdadi. Ia lahir di Baghdad, tahun 248 H, dan wafat bulan Dzulhijah tahun 325 H. (862-937 M). Beliau satu zaman dengan Imam Abu Bakr bin Musa, yang lebih dikenal dengan nama Ibn Mujahid (wafat 324 H) penyusun kitab As-Sab’ah fil Qiraat. Keduanya memiliki banyak memiliki guru dan murid yang sama.

 

Menurut Syekh Ibn Al-Jazari, keluarga Abu Muzahim merupakan keluarga bangsawan pada masa Kesultanan Dinasti ‘Abbasiyyah. Ayahnya Ubaydillah adalah seorang menteri pada masa Khalifah Al-Mutawakkil (Ja’far bin Mu’tashim bin Rasyid 205-247 H.). Begitupula saudaranya Abu ‘Ali Muhammad bin ‘Ubaidillah. Jabatan ayahnya sebagai menteri masih berlanjut pada masa pemerintahan Khalifah Ahmad bin Ja’far Al-Mutawakkil.

 

Abu Muzahim menghabiskan hari-harinya di Baghdad, tepatnya di wilayah tempat ayahnya bertugas. Namun, menurut beberapa riwayat, beliau juga pernah tinggal di Makkah dan Madinah. Pada saat usianya 15 tahun ayahnya wafat, namun ia tetap berada dalam lingkungan kesultanan karena salah seorang saudaranya juga merupakan seorang menteri.

 

Namun yang patut ditiru dan diteladani dari sosok Abu Muzahim adalah sikap acuhnya pada dunia. Beliau meninggalkan dunia dan menyibukkan dirinya dalam menysiarkan ajaran Islam. Beliau meriwayatkan hadits, mengajarkan Al Qur`an, dan berpegang teguh pada syariat Islam. Beliau juga merupakan orang yang sangat dalam pengetahuannya dalam bahasa Arab, sya’ir, dan seorang ahli tajwid. (Ibnu Al-Jazari, Ghayatun Nihayah, halaman 419).

 

Selain semangat dalam menekuni qiraat Al-Qur’an, Abu Muzahim al-Khaqani juga semangat untuk mengambil riwayat hadits dari para ulama ahli hadits, di antaranya adalah: Syekh Abbas bin Muhammad Ad-Duri, Syekh Muhammad bin Ismail At-Tirmidziy, Syekh ‘Ubaidillah bin Abi Sa’d Al-Warraq, Syekh Ishaq bin Ya’qub Al-Aththar, Al-Harits bin Abi Salamah, Imam ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dan ulama lainnya pada masa itu.

 

Pujian Ulama kepada Abu Muzahim al-Khaqani

Lahirnya Abu Muzahim al-Khaqani memberikan pengaruh yang sangat besar pada keberlangsungan ajaran Islam, khususnya dalam ilmu Al-Qur’an. Bayangkan, seandainya Allah tidak melahirkan sosok sepertinya yang sukses mengodifikasikan ilmu tajwid, tentu cara baca Al-Qur’an umat Islam saat ini masih banyak yang salah dan tidak terarah.

 

Oleh karenanya, kecerdasan, kehebatan dan luasnya ilmu pengetahuan yang dimiliki Abu Muzahim al-Khaqani mendapatkan apresiasi dan pujian dari para ulama, di antaranya dari Syekh Abu Umar ad-Dani (wafat 440 H), dalam salah satu kitabnya ia memujinya dengan pujian yang sangat istimewa, beliau mengatakan,

 

كَانَ فِي أَبِي مُزَاحِم مِنَ الْمَنَاقِبِ الْمَحْمُوْدَةِ وَالْأَخْلَاقِ الشَّرِيْفَةِ ظَاهِرِ النُّسُكِ مَشْهُوْرِ الْفَضْلِ وَافِرِ الْحَظِّ مِنَ الدِّيْنِ وَالْعِلْمِ حُسْنِ الطَّرِيْقَةِ سُنِّيًّا جَمَاعِيًّا

 

Artinya, “Dalam diri Abu Muzahim terdapat karakter yang terpuji, akhlak yang mulia, ahli ibadah yang nyata, terkenal keutamannya, pengetahuan yang luas dalam agama dan gudangnya ilmu, memiliki thariqah yang baik, seorang penganut Ahlussunnah wal Jamaah” (Abu Umar ad-Dani, Syarah Qasidah Al-Khaqani, [Bairut: Darul Kutubil ‘Ilmiah], h. 18).

 

Syekh Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Dzahabi (wafat 748 H) juga memberikan apresiasi dan pujian kepada Imam Abu Muzahim, dalam kitabnya dinyatakan,

 

اَلْاِمَامُ الْمُقْرِئُ الْمُحَدِّثُ، أَبُوْ مُزَاحِم مُوْسَى بِنْ عُبَيْدِ اللهِ بن يَحْيَى بن خَاقَانْ، اَلْخَاقَانِي اَلْحَافِظُ البَغْدَادِي

 

Artinya, “Seorang imam, pakar qiraat, pakar hadits, Abu Muzahim Musa bin ‘Ubaidillah bin Yahya bin Khaqan Al-Khaqani, seorang hafizh, berkebangsaan Baghdad.” (Ad-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala’, [Mu’assasah ar-Risalah, cetakan ketiga: 1985 M/1405 H, tahqiq: Syekh Syu’ib], juz XV, h. 94).

 

Demikian sejarah singkat awal mula kodifikasi ilmu tajwid, sekaligus biografi dan latar belakang penyusun. Semoga dengan mengetahui sejarahnya, kita bisa lebih mencintai Al-Qur’an dan senang untuk membacanya, sekaligus berhati-hati dalam melafalkan huruf dan kalimatnya.

 

 

Ustadz Sunnatullah, pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan.