Ilmu Al-Qur'an

Asal Kata Al-Qur’an Benarkah dari Bahasa Arab?

Sen, 18 Maret 2024 | 21:00 WIB

Asal Kata Al-Qur’an Benarkah dari Bahasa Arab?

Ilustrasi Al-Qur'an. (Dok. NU Online)

Al-Qur’an merupakan bacaan wajib umat Islam. Tidak sah shalat seseorang tanpa membaca surat Al-Fatihah yang menjadi bagian pertama dalam Al-Qur’an. Kitab suci bagi umat Islam ini didefinisikan oleh Syekh Muhammad Ali al-Shabuni dalam Al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an (2016: 10-11) sebagai firman Allah swt yang menjadi mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul terakhir, dengan perantara malaikat Jibril as, yang tertulis dalam mushaf-mushaf, yang diriwayatkan secara mutawatir, yang dinilai ibadah membacanya, yang diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.


Jika dilihat secara bahasa (etimologi), mayoritas ulama berpendapat bahwa Al-Qur’an berasal dari kata bahasa Arab, qara’a, yang berarti baca. Qur’an merupakan derivasi dari kata tersebut dalam bentuk masdar yang berarti bacaan atau yang dibaca. Ada juga yang menyebut bahwa qara’a yang dimaksud bukanlah berarti baca melainkan mengumpulkan. Artinya, Al-Qur’an merupakan suatu kumpulan. Senada maknanya, ada satu pandangan lain yang menyatakan bahwa Al-Qur’an memang berarti kumpulan, tetapi bukan berasal dari kata qara’a, melainkan berasal dari kata qarana yang berarti menjadikan sepasang, menggandeng, menghubungkan, atau menyambung. Hal demikian dijelaskan Taufik Adnan Amal dalam Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an (2013: 46) dan Aboebakar Atjeh dalam Sedjarah Al-Quran (1956: 17).


Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kata Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab dan dapat diderivasikan atau di-tasrif. Ia memiliki akar katanya dari bahasa tersebut. Hal tersebut sejalan dengan penegasan dalam Al-Qur’an sendiri, tepatnya pada Surat Yusuf ayat 2, bahwa kitab suci ini memang diturunkan dengan bahasa Arab. Mengutip Said Agil Husin Al Munawar dalam Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (2003: 3), bahwa bahasa Arab dalam Al-Qur’an ini mencakup lafal-lafalnya dan uslub-nya.


“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Kitab Suci) berupa Al-Qur’an berbahasa Arab agar kamu mengerti.” (QS Yusuf [12]: 2)


Namun, ada pandangan lain yang menyatakan bahwa Al-Qur’an bukanlah sebuah kata turunan dari lafal seperti di atas, melainkan memang sebuah nama (isim alam) bagi kitab suci ini, sebagaimana nama Taurat atau Injil. Pandangan yang terakhir ini dipegang oleh Imam Syafi’i, sebagaimana dijelaskan al-Shabuni (2016: 14). Hal serupa juga dipegang oleh Imam Ibnu Katsir sebagaimana dijelaskan dalam Syarh al-Syathibiyah (2011: 439) karya Imam Jalaluddin al-Suyuthi. Imam Ibnu Katsir membaca kata Al-Quran dengan tanpa hamzah, melainkan yang di tengah itulah alif sehingga membacanya seperti naql, memindahkan harakat hamzah pada ra’ yang sukun. Menurut Imam Suyuthi, hal tersebut bukanlah sebuah naql, melainkan memang Imam Ibnu Katsir meyakini bahwa bacaannya demikian, Quran (tanpa apostrof atau hamzah). Sebab, hal tersebut merupakan sebuah nama dengan bentuk (sighat) yang tidak bisa diderivasikan dan memang dijadikan sebagai sebuah nama untuk sebuah kitab suci, seperti Taurat dan Injil, sebagaimana juga disampaikan Imam Syafi’i. Meskipun demikian, Imam Syafi’i meyakini bahwa semua yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah bahasa Arab.


Namun, Friedrich Schwally, sebagaimana dikutip Taufik Adnan Amal (2013: 46), menyatakan bahwa kata Quran merupakan turunan dari bahasa Syiria atau Ibrani, yaitu qeryana, qiryani yang memiliki arti bacaan atau yang dibaca. Kata-kata tersebut digunakan dalam liturgi Kristen. Ada kemiripan dari sisi pelafalan dan arti. Peminjaman kata tersebut mungkin saja karena adanya kontak bahasa antara orang Arab dan orang-orang yang berbahasa Ibrani atau Syiria itu. Sebagaimana diketahui, kata Allah pun berasal dari bahasa Ibrani il yang berarti Tuhan. Kemudian ditambahkan akhiran alif dan hamzah yang dalam bahasa Arab dapat berarti sebuah seruan atau aduan, menjadi ilah. Kemudian diberikan alif lam di bagian depan dan dibaca dengan tafkhim sehingga lam di tengah berbunyi berat. Kata Israil yang merujuk pada Nabi Ya’qub juga berarti hamba Tuhan. Beberapa kata lain, seperti shalat dan zakat juga ada yang menyebut berasal dari bahasa Ibrani, shaluta dan zakuta.


Kontak bahasa
Peminjaman bahasa tersebut merupakan sebuah keniscayaan. Pasalnya, di zaman itu, Arab bukanlah tempat yang termarjinalkan. Ia menjadi salah satu wilayah berbudaya yang mencakup wilayah Timur Dekat dan Mediterania Timur, sebagaimana dijelaskan Fred M Donner dalam Muhammad dan Umat Beriman: Asal-Usul Islam (2015:3). Terlebih Arab merupakan wilayah penting karena menjadi jalur yang mengarah pada Kepulauan India, selain juga karena kekayaan perdagangannya. Tak pelak, wilayah yang terjepit di antara Kekaisaran Byzantium dan Sassania itu menjadi rebutan keduanya agar dapat mengontrol wilayah dan menguasai jalur perdagangannya agar memperoleh pajak darinya.


Makkah sendiri bukanlah kota penting dalam perdagangan. Sebab, di sana yang dijual adalah kebanyakan barang-barang komoditas dasar, seperti kulit binatang dan makanan pokok. Pernah juga Makkah menjadi sentra penjualan barang-barang mahal dari Afrika Timur, Yaman, hingga India dengan barang-barang berupa gading gajah, budak, dan bumbu. Namun satu hal yang pasti, Makkah memiliki Ka’bah yang menjadi pusat keagamaan bagi masyarakat Arab. Di situlah, Nabi Muhammad saw lahir.


Nabi juga tumbuh di lingkungan para pedagang. Tercatat, beliau pernah membersamai pamannya untuk berdagang ke luar Kota Makkah, ke Syam, saat usianya masih 12 tahun. Beliau juga pernah membawa barang dagangan milik Sayyidah Khadijah yang saat itu belum menjadi istrinya, ke Syam saat usia 25 tahun.


Perjalanan Nabi Muhammad saw menunjukkan adanya pertemuan dengan orang-orang lain di luar Arab. Pertemuan itulah yang menimbulkan kontak bahasa, yaitu pertemuan antara penutur satu bahasa dengan penutur bahasa lainnya. Hal tersebut memungkinkan adanya peristiwa-peristiwa bahasa, seperti peralihan bahasa, percampuran bahasa, interferensi, sampai pada peminjaman bahasa yang kemudian dalam perkembangannya diserap menjadi bahasa mereka. Jika ditarik mundur lebih jauh, tentu orang-orang Arab sudah bermigrasi sejak dulu. Nabi Muhammad saw sendiri, menurut Philip K Hitti dalam History of The Arabs (2010:39) bukanlah orang Arab asli, melainkan naturalisasi di tanah Arab (musta’ribah, terarabkan) karena keturunan dari Adnan, masih cucu Nabi Ismail.


Artinya, bisa jadi kata Al-Qur’an memang bukan berasal dari bahasa Arab. Namun kemudian diserap menjadi bahasa Arab sehingga diklaim itu memang bahasa Arab. Tidak hanya dalam surat Yusuf, Al-Qur’an juga berulang menegaskan bahwa memang kitab tersebut diturunkan dalam bahasa Arab, seperti dalam surat An-Nahl ayat 103 dan surat As-Syu’ara ayat 195.


Sungguh, Kami benar-benar mengetahui bahwa mereka berkata, “Sesungguhnya ia (Al-Qur’an) hanyalah diajarkan kepadanya (Nabi Muhammad) oleh seorang manusia.” Bahasa orang yang mereka tuduh (bahwa Nabi Muhammad belajar kepadanya) adalah bahasa ajam (bukan bahasa Arab). Padahal, ini (Al-Qur’an) adalah bahasa Arab yang jelas. (Q.S. An-Nahl: 103).

Sesungguhnya ia (Al-Qur’an) benar-benar diturunkan Tuhan semesta alam. Ia (Al-Qur’an) dibawa turun oleh Ruhulamin (Jibril). (Diturunkan) ke dalam hatimu (Nabi Muhammad) agar engkau menjadi salah seorang pemberi peringatan. (Diturunkan) dengan bahasa Arab yang jelas. (Q.S. As-Syu’ara: 192-195).


Ayat di atas sebetulnya menegaskan bahwa Al-Qur’an bukanlah dari bahasa non-Arab. Dalam Tafsir al-Shawi Juz 2 (tt: 406), dijelaskan bahwa turunnya Surat An-Nahl ayat 103 diawali karena adanya anggapan yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw belajar dari orang non-Arab. Orang tersebut merupakan ahli besi yang tengah membuat pedang di Makkah. Mereka membaca Taurat dan Injil dengan bahasa mereka. Rasulullah saw saat itu lewat dan menyimaknya. Namun, muncul kabar yang mengatakan bahwa Rasulullah saw belajar dari orang tersebut. 


Senada, dalam Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2 (2002: 730), juga dijelaskan demikian. Diceritakan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saat itu tengah mengajar seorang ahli besi bernama Bal’am di Makkah. Ia adalah seorang yang berbahasa ajam (non-Arab). Saat itu, ada orang-orang musyrik yang melihatnya dan kemudian menyebarkan berita bahwa Nabi Muhammad diajarkan oleh Bal’am. Dari peristiwa itu, turunlah surat An-Nahl ayat 103 sebagaimana disebut di atas.


Mustansir Mir dalam The Blackwell Companion to The Qur’an (2006: 89) menulis bahwa Al-Qur’an memanglah berbahasa Arab yang tentu dimengerti oleh orang-orang di zamannya. Jika tidak demikian, tentu wahyu tersebut akan mudah ditolak dengan alasan ketidakpahaman mereka.


Lepas dari itu, Al-Qur’an memang tertulis dengan bahasa Arab, khususnya dalam sistematika gramatikalnya. Adapun peminjaman diksi-diksi tertentu, termasuk nama Al-Qur’an sendiri, barangkali sudah mengalami adaptasi sehingga menjadi bahasa Arab yang dipahami di zamannya sampai sekarang. Mungkin juga nama Al-Qur’an memang betul-betul bahasa Arab. Jika pun memiliki kemiripan dengan kata qeryana, qiryani dalam bahasa Ibrani atau Syiria itu tidak lain karena bahasa-bahasa tersebut masih serumpun dengan bahasa Arab, yaitu rumpun bahasa Semit, sebagaimana disebut Hitti (2010: 49). Hal ini serupa dengan beberapa kata dalam bahasa Indonesia yang pelafalannya mirip dan memiliki arti yang sama dengan bahasa Tagalog (Filipina), seperti kata aku (ako dalam bahasa Tagalog), muka (mukha), dan bangkai (bangkay). Hal tersebut tidak lain karena bahasa Indonesia dan Tagalog adalah bahasa yang serumpun, yakni rumpun Austronesia.