Ilmu Al-Qur'an

Asbabun Nuzul Ayat tentang Lita’arafu

Sel, 12 April 2022 | 22:00 WIB

Asbabun Nuzul Ayat tentang Lita’arafu

Ilustrasi lita'arafu. (Foto: NU Online)

Allah swt menciptakan manusia dengan segala perbedaannya. Perbedaan tersebut tidak hanya dari sisi jenis kelamin, tetapi juga warna kulit, bangsa, bahasa, ras, etnis, golongan, dan lain-lain. Budaya, cipta, dan karya yang dihasilkan juga beragam sehingga menciptakan harmoni kehidupan manusia yang hakikatnya lita’arafu.


Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS al-Hujurat [49]: 13)


Imam Suyuthi dalam kitab tafsirnya Al-Durr Al-Mantsur fi Tafsir Bil-Ma'tsur menyebutkan dua kisah turunnya surat al-Hujurat ayat 13:


Kisah pertama: pada saat Rasulullah memasuki kota Mekkah dalam peristiwa Fathu Makkah, Bilal bin Rabah naik ke atas Ka'bah dan menyerukan azan. Maka sebagian penduduk Mekkah (yang tidak tahu bahwa di Madinah Bilal bin Rabah biasa menunaikan tugas menyerukan azan) terkaget-kaget. Ada yang berkata: "Budak hitam inikah yang azan di atas Ka‘bah?” (dalam riwayat lain di kitab Tafsir al-Baghawi al-Harits bin Hisyam mengejek dengan mengatakan: "Apakah Muhammad tidak menemukan selain burung gagak ini untuk berazan?"). Yang lain berkata, “Jika Allah membencinya, tentu akan menggantinya.” Lalu turunlah ayat 13 surat al-Hujurat.


Kisah kedua: Abu Hind adalah bekas budak yang kemudian bekerja sebagai tukang bekam. Nabi meminta kepada Bani Bayadhah untuk menikahkan salah satu putri mereka dengan Abu Hind. Tapi mereka menolak dengan alasan: "Ya Rasul, bagaimana kami hendak menikahkan putri kami dengan bekas budak kami?" Lalu turunlah ayat 13 surat al-Hujurat.


Pesan langit dalam ayat tersebut begitu luas atau universal, ia menghapus "kasta" dalam masyarakat Arab; menegaskan kembali bahwa sebagai hamba Allah bukan nasab, harta, bentuk rupa atau status pekerjaan yang menentukan keutamaan hamba Allah, tetapi ketakwaan. Dan ketakwaan itu tidak bisa dibeli atau diraih dengan mengandalkan keutamaan nasab, suku atau marga, tapi dengan amal shalih. Sayang, belakangan ini malah banyak yang hendak mengembalikan "kasta" masyarakat Arab yang sudah dihapus Nabi ini.


Kalian punya nasab yang bagus, alhamdulillah. Kalian ke mana-mana memakai surban, alhamdulillah. Tapi kalau amal kalian jelek dan akhlak kalian buruk, maka ingatlah dengan ayat di atas: bekas budak hitam legam seperti Bilal bin Rabah pun bisa jadi jauh lebih mulia. Semoga putihnya surban dan gamis kita itu juga seputih hati dan perbuatan kita.


Potongan ayat di atas juga sangat 'modern' sekali: diciptakanNya kita berbeda suku bangsa untuk "saling mengenal". Apa maksudnya? Keragaman itu merupakan sarana untuk kemajuan peradaban. Kalau kita hanya lahir di suku kita saja, tidak pernah mengenal budaya orang lain, tidak pernah bergaul dengan berbagai macam anak bangsa, dan hanya tahunya orang di sekitar kita saja, maka sikap dan tindak-tanduk kita seperti katak di dalam tempurung. 


Seseorang tidak bisa memilih lahir dari rahim ibu yang beragama apa, atau keturunan siapa atau tinggal di mana. Keragaman tidak dimaksudkan untuk saling meneror, memaksa atau melukai. Al-Qur'an mengenalkan konsep yang luar biasa: keragaman itu untuk kita saling mengenal satu sama lain. Dengan saling mengenal perbedaan kita bisa belajar membangun peradaban. Dengan saling tahu perbedaan di antara kita maka kita akan lebih toleran; kita mendapat kesempatan belajar satu sama lain. Kesalahpahaman sering terjadi karena kita belum saling mengenal keragaman di antara kita. 


Dikatakan sangat 'modern' karena misalnya di negara tertentu di Barat saja ada penelitian yang menyebutkan bahwa mereka yang anti terhadap Muslim ternyata mereka tidak pernah bergaul akrab dengan orang Islam. Artinya, mereka yang mengenal orang Islam di lingkungannya tinggal, di sekolah atau di tempat kerja akan cenderung lebih toleran terhadap perbedaan. Nah, bagaimana dengan kita? Sudahkah kita "saling mengenal" seperti pesan al-Qur'an terhadap pihak lain yang berbeda dengan kita? Bisakah kita menghargai dan belajar dari mereka yang selama ini kita benci?

 

Dalam bentuknya yang 'modern', ayat di atas bisa dilihat dalam konteks teori psikologi dan sosiologi. Al-Qur'an menggunakan bentuk tafa'ala dalam redaksi lita'arafu yang bermakna saling mengenal. Fungsinya lil musyaarakati baina itsnaini fa aktsara.


Tidak cukup interaksi kita itu hanya untuk mengenal yang lain, mereka pun harus juga mengenal kita. Interaksi kedua belah pihak akan melahirkan tidak hanya simpati tapi juga empati. Kalau kita meminta orang lain memahami kita, maka pihak lain pun meminta hal yang sama. Langkah awalnya persis seperti pesan al-Qur'an: saling mengenal.


Para leluhur kita sejak berabad-abad lalu telah mencetuskan bahwa walaupun berbeda-beda, tetapi kita tetap satu (bhinneka tunggal ika). Semboyan tersebut bisa ditemukan dalam Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular yang ditulis pada abad ke-14 pada era Kerajaan Majapahit.


Indonesia beruntung telah memiliki falsafah bhinneka tunggal ika sejak dahulu ketika negara Barat masih mulai memerhatikan tentang konsep keberagaman. Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keberagaman. Jika dilihat dari kondisi alam saja Indonesia sangat kaya akan ragam flora dan fauna, yang tersebar dari ujung timur ke ujung barat serta utara ke selatan di sekitar kurang lebih 17.508 pulau. 


Indonesia juga didiami banyak suku (sekitar kurang lebih 1.128 suku) yang menguasai bahasa daerah masing-masing (sekitar 77 bahasa daerah) dan menganut berbagai agama dan kepercayaan. Keberagaman ini adalah ciri bangsa Indonesia. Warisan kebudayaan yang berasal dari masa-masa kerajaan hindu, budha dan islam tetap lestari dan berakar di masyarakat. Atas dasar ini, para pendiri negara sepakat untuk menggunakan bhinneka tunggal ika yang berarti "berbeda-beda tapi tetap satu jua" sebagai semboyan negara.


Bangsa Indonesia sudah berabad-abad hidup dalam kebersamaan dengan keberagaman dan perbedaan. Perbedaan warna kulit, bahasa, adat istiadat, agama, dan berbagai perbedaan lainya. Perbedaan tersebut dijadikan para leluhur sebagai modal untuk membangun bangsa ini menjadi sebuah bangsa yang besar. Sejarah mencatat bahwa seluruh anak bangsa yang berasal dari berbagai suku semua terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Semua ikut berjuang dengan mengambil peran masing-masing. (Fathoni)