Ilmu Al-Qur'an

Polemik Penetapan Imam Ketujuh pada Qira’at Sab’ah

Ahad, 31 Oktober 2021 | 14:00 WIB

Polemik Penetapan Imam Ketujuh pada Qira’at Sab’ah

Polemik Penetapan Imam Ketujuh pada Qira’at Sab’ah. (Foto: Ilustrasi)

Pada abad keempat Hijriah, Ibnu Mujahid (245 H- 324 H) melakukan penelitian secara ketat dan mendalam tentang bacaan Al-Qur’an yang mutawatir dan bersambung kepada Nabi Muhammad saw. Dalam penelitian tersebut, Ibnu Mujahid memetakan secara detail antara bacaan yang shahih dan bacaan yang tidak shahih. Sebab pada masa ini, dijumpai ragam bacaan Al-Qur’an yang sinyalir tidak bersumber secara mutawatir.

 

Dalam penyeleksian bacaan yang mutawatir, Ibnu Mujahid melakukan penelitian yang ketat dengan menentukan kriteria khusus, yaitu pertama, periwayatan yang bersambung sanadnya sampai kepada Nabi Muhammad saw. Kedua, sesuai dengan mushaf utsmani yang dikirim ke berbagai negara. Ketiga, sesuai dengan kaidah bahasa Arab.

 

Di sisi yang lain, Ibnu Mujahid tidak sekadar melihat pada konten bacaan/qira’atnya saja, tapi juga melihat pada pribadi imam yang meriwayatkan bacaan tersebut. Kriteria perawi yang dipilih oleh Ibnu Mujahid adalah: Tsiqah, dlabith, amanah, agamis, lama berkecimpung dalam mengajar Al-Qur’an, masyhur ketokohannya dan diterima bacaan/qira’atnyanya oleh ulama lain. Kriteria tersebut harus terpenuhi semua oleh seorang Imam, jika kurang satu saja, maka secara otomatis akan tereleminasi.

 

Setelah melakukan penelitian dan penyeleksian secara ketat dan mendalam, maka terhimpunlah qira’at tujuh Imam. Hasil dari penelitian ini tertuang dalam karyanya “Kitab al-Sab’ah fi al-Qira’at”. Dalam karyanya ini, Ibnu Mujahid memaparkan secara detail penisbatan seluruh transmisi bacaannya kepada tujuh imam qira’at hingga bersambung kepada Nabi Muhammad saw.

 

Imam al-Sakhawi (w. 643 H) mengatakan bahwa Abu Bakar, Ahmad bin Musa bin Mujahid adalah orang yang pertama kali memilih tujuh imam qira’at dan menyusun sebuah kitab tentang bacaan mereka. Adapun generasi setelahnya, mengikuti apa yang dilakukan oleh Ibnu Mujahid dan tidak ada seorang pun yang mendahuluinya dalam menulis karya bacaan tujuh imam Qira’at tersebut. (Al Sakhawi, Jamal al-Qurra’ wa Kamal al-Iqra’/ 511).

 

Ketujuh imam qira’at hasil penelitian Ibnu Mujahid adalah sebagai berikut:

 

Pertama, Imam Nafi’ bin Abdurrahman (w. 169 H). Kedua, Imam Abdullah bin Katsir (w. 120 H). Ketiga, Imam Abu Amr Zabban bin al-Ala’ al-Bashri (w. 154 H). Keempat, Imam Abdullah Ibnu AmirAl-Syami (w. 118 H). Kelima, Imam Ashim bin Abi Al-Najud Al-Kufi (w. 128 H). Keenam, Imam Hamzah bin Al-Zayyat (w. 156 H). Ketujuh, Imam Ali bin Hamzah Al-Kisa’i (w. 189 H).

 

 

Ditolak Sebagian Ulama

Persoalan selanjutnya adalah kendati Imam Mujahid telah memaksimalkan jerih payahnya dalam penyeleksian ini, ternyata menurut Imam Makki bin Abi Thalib, ia dinilai kurang fair karena memilih dan menetapkan Imam al-Kisa’i daripada Imam Ya’qub al-Hadrami (w. 250 H) sebagai imam ketujuh pada masa khalifah al-Ma’mun (w. 218 H). (Makki, al-Ibanah an Ma’ani al-Qira’at/90).

 

Pendapat Makki ini diikuti oleh al-Zurqani dalam karyanya Manahil al-Irfan fi Ulum Al-Qur’an yang mengatakan bahwa “Pada akhir abad ketiga, muncul Ibnu Mujahid di Baghdad yang memilih tujuh imam qira’at, hanya saja dia menetapkan al-Kisa’i daripada Imam Ya’qub sebagai imam ketujuh” (Al Zurqani, Manahil al-Irfan fi Ulum Al-Qur’an/417).

 

Pernyataan Makki ini bisa mengandung dua arti; Pertama, tidak dipilihnya Imam Ya’qub ini terkait faktor politik, karena Ibnu Mujahid pada saat menghimpun qira’at tujuh imam berposisi sebagai imam qira’at di Baghdad dan menduduki jabatan tertinggi di birokrasi. Jika ulama melakukan sesuatu pada masa pemerintahan, maka yang muncul dalam benak orang lain adalah ia menggunakan kekuasaanya dalam menentukan sesuatu.

 

Kedua, pemilihan ini dianggap subjektif, tidak fair, seakan-akan Imam Mujahid mengedepankan al-Kisa’i karena bermukim di tempat yang sama, yaitu Baghdad. Sedangkan Imam Ya’qub berada di Bashrah. Sebagaimana ia memilih dua imam qira’at lainnya, Ashim dan Hamzah yang berasal dari Kufah yang merupakan bagian dari Baghdad.

 

Tuduhan yang dilontarkan oleh Imam Makki yang menyatakan bahwa Imam Mujahid memilih dan menetapkan Imam al-Kisa’i daripada Imam Ya’qub al-Hadrami (w. 250 H) sebagai imam ketujuh pada masa khalifah al-Ma’mun perlu dikaji ulang. Sebab kurun waktu antara Ibnu Mujahid dan al-Ma’mun terpaut sangat jauh. Keduanya tidak memiliki hubungan yang spesial, bahkan dapat dikatakan keduanya tidak pernah bertemu. Andaikata bertemu pun, pada waktu itu Ibnu Mujahid masih berumur 27 tahun. Sementara ia menetapkan tujuh imam qira’at setelah menjabat menjadi imam qira’at di Baghdad. Artinya, pemilihan al-Kisa’i dapat dikatakan bukan karena politik ataupun lainnya, tapi murni karena berdasarkan penelitian dan penyeleksian yang mendalam.

 

Imam Abu Syamah (w. 665 H) mengatakan bahwa tuduhan yang dilontarkan oleh Makki bin Abi Thalib perlu dikaji ulang, sebab Ibnu Mujahid menulis karya Kitab al-Sab’ah fi al-Qira’at jauh setelah masa kekhalifahan al-Ma’mun. Sebagai buktinya adalah Ibnu Mujahid wafat pada 324 H dan al-Ma’mun wafat pada tahun 218 H. (Abu Syamah, al-Mursyid al-Wajiz ila Ulum Tata’alaq bi al-Kitab al-Aziz/154).

 

Terkait pemilihan Ibnu Mujahid yang dikatakan tidak fair dan subyektif, Imam al-Sakhawi mengatakan bahwa pemilihan al-Kisa’i daripada Imam Ya’qub murni karena transmisi sanad al-Kisa’i lebih tinggi daripada Imam Ya’qub. Di samping itu, bacaan/qira’at al-Kisa’i lebih masyhur dibandinghkan dengan bacaan/qira’at Imam Ya’qub karena sebagian bacaan Imam Ya’qub keluar dari bacaan mayoritas.

 

Imam al-Sakhawi mengatakan bahwa sebagian ulama menganggap penetapan tujuh imam qira’at merupakan keteledoran Ibnu Mujahid, namun sejatinya anggapan yang demikian, berasal dari ketidak tahuan mereka akan tujuan Ibnu Mujahid. Bagi Ibnu Mujahid, terdapat dua faktor yang menjadikan qira’at Imam Ya’qub tidak masuk kategori kriterianya. Pertama, karena transmisi sanadnya yang rendah. Beliau membaca kepada Salam bin Sulaiman, dan Salam membaca kepada Imam Ashim. Kedua, karena di antara bacaannya keluar dari bacaan mayoritas. (Al Sakhawi, Jamal al-Qurra’ wa Kamal al-Iqra’/ 517).

 

Dari sini jelaslah bahwa Ibnu Mujahid tidak memilih Imam Ya’qub, karena keberadaan dua faktor di atas. Pemilihan ini tidak ada sangkut pautnya dengan politik maupun yang lain, namun murni hasil penelitian dan penyeleksian yang medalam.

 

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan sebagaimana berikut:

 

Pertama, Ibnu Mujahid tidak memilih dan menetapkan Imam al-Kisa’i daripada Imam Ya’qub sebagai Imam ke tujuh pada masa al-Ma’mun, karena ‘kurun waktu antara keduanya sangat jauh.

 

Kedua, pemilihan dan penetapan al-Kisa’i dilakukan setelah penelitian yang mendalam dan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh Ibnu Mujahid. Adapun kekurangan Imam Ya’qub yaitu sebagian riwayatnya keluar dari bacaan mayoritas dan transmisi sanadnya “nazil” (lebih rendah) dibandingkan al-Kisa’i.

 

Demikian polemik yang muncul ketika Ibnu Mujahid menetapkan Imam ketujuh pada Qira’at sab’ah. Pada dasarnya, memang setiap insan bisa saja memiliki pendapat yang berbeda, namun pastinya selalu ada alasan dibalik pendapat tersebut. Ibnu Mujahid tidak memilih dan menetapkan imam qira’at secara serampangan, pendapatnya lahir dari proses penelitian yang panjang dan mendalam, serta dapat dibuktikan oleh fakta sejarah.

 

Ustadz Moh. Fathurrozi, penulis buku “Mengarungi Samudra 10 Imam Qira’at”; pendiri Al-Qur’an Khairu Jalis