Ilmu Al-Qur'an

Qira’at Al-Qur’an dalam Tafsir al-Qurtubi

Sen, 14 Oktober 2019 | 16:00 WIB

Qira’at Al-Qur’an dalam Tafsir al-Qurtubi

Untuk menguraikan qira’at Al-Qur’an dalam tafsirnya, secara umum Imam al-Qurtubi menguraikannya dengan tiga metode.

Tafsir adalah menguraikan makna yang terkandung dalam firman Allah agar mudah dipahami. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, para mufassir menggunakan beberapa seperangkat metode untuk menemukan kandungan makna yang susuai dengan kehendak Pemilik Kalam, Allah subhanahu wata’ala, salah satunya adalah Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya.
 
Imam al-Qurtubi adalah salah satu mufassir yang bermazhab Maliki. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin ABu Bakar bin Farh al-Anshari al-Khazraji Andalus. Beliau dilahirkan di Andalusia, Spanyol 1214 H. Ia banyak melahirkan beberapa karya yang menjadi rujukan ulama setelahnya. Karya monumentalnya dalam bidang tafsir adalah Tafsir al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an. Tafsir ini tidak banyak menyinggung sejarah dan kisah-kisah dalam Al-Qur’an, tapi lebih dominan manyajikan keterangan-keterangan yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam.
 
Untuk ber-istimbath (menggali) sebuah hukum, selain menukil dari nash-nash hadits Nabi, sahabat, tabi’in, komentar ulama, dan aspek linguistik, Imam al-Qurtubi juga kadang menguraikannya lewat perbedaan qira’at Al-Qur’an. Dalam menguraikan perbedaan qira’at Al-Qur’an, Imam al-Qurtubi tidak hanya menguraikan qira’at mutawatirah (bacaan yang diriwayatkan banyak perawi) saja, tapi juga qira’at syadzah (bacaan langka). Sebab menurut sebagian ulama, qira’at syadzah memiliki kedudukan sebagai hujjah (argumentasi) dalam penafsiran Al-Qur’an. Meskipun demikian, ulama sepakat bahwa qira’at syadzah tidak diperhitungkan ke-qur’an-annya.
 
Metode menafsirkan Al-Qur’an melalui perbedaan qira’at merupakan salah satu metode yang banyak digunakan oleh para mufassir. Dalam hal ini, jika menafsirkan Al-Qur’an dengan qira’at mutawatirah, yang notabene sebagai Al-Qur’an, maka hal tersebut disebut metode bil ma’tsur, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Namun jika menafsirkan Al-Qur’an dengan qira’at syadzah, maka kedudukannya seperti menafsrikan Al-Qur’an dengan hadits Ahad (Sya’ban Muhammad Ismail, Al-Qira’at Ahkamuha wa Masdaruha [Kairo Dar al-Salam], 2010. hal, 122-124).
 
Untuk kasus qira’at syadzah ini, Imam al-Qurtubi menggunakannya dalam rangka kuatnya makna atau menguatkan makna dari qira’at mutawatirah (Nabil Muhammad, Ilmu al-Qira’at: Nasy’atuhu, AthwaruhuAtsaruhu fi al-Ulum al-Syar’iyah [Darah al-Malik Abdul Aziz], tt. hal 353).
 
Untuk menguraikan qira’at Al-Qur’an dalam tafsirnya, secara umum Imam al-Qurtubi menguraikannya dengan tiga metode:
 
Pertama, menampilkan perbedaan qira’at tanpa memberi komentar dan penjelasan secara detail. Hal ini dapat dijumpai dalam surat al-Baqarah ayat 6. 
 
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ 
 
Pada lafaz (أَأَنْذَرْتَهُمْ) beliau menjelaskan bahwa para ulama qurra’ berbeda pendapat tentang hamzah yang kedua. Imam warga Madinah (Nafi’-Qalun), Abu Amr, al-A’masy, dan Abdullah bin Ishaq membaca hamzah pertama dibaca tahqiq (membaca hamzah sesuai dengan makhraj-nya, yaitu diujung ternggorokan secara sempurna dalam sifat-sifatnya.-lihat al-Idha’ah fi Ushul Qira’at karya Ali al-Dhabba’. hal,23.) dan hamzah yang kedua dibaca tashil (melafazkan hamzah dengan huruf mad, jika hamzah berharakat fathah maka cara melafazkannya dengan Alif. -lihat al-Idha’ah fi Ushul Qira’at karya Ali al-Dhabba’. hal,23). Pendapat ini didukung oleh Imam al-Khalil bin Ahmad dan Sibawaih. Berikut dijelaskan bahwa bacaan ini adalah dialek Quraysy.
 
Kemudian beliau menguraikan pendapat ulama yang lain bahwa Imam Ibnu Muhaishin membaca lafaz (أَأَنْذَرْتَهُمْ) dengan satu alif, sebab hamzah yang kedua dibuang sebab bertemu dua hamzah, atau karena lafaz (أَمْ) dalam lafaz (أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ) menunjukkan arti pertanyaan.
 
Selain itu, Imam Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa ia membaca lafaz (أَأَنْذَرْتَهُمْ) dengan tahqiq kedua hamzah dengan memasukkan huruf alif (sebagai pemisah) di antara keduanya supaya tidak bercampur.
 
Abu Hatim berkata: boleh juga dipisah oleh huruf alif diantara keduanya tapi hamzah yang kedua dibaca tashil. Hal ini bacaan Imam Nafi’ dan Abu Amr. Sementara itu, Imam Ashim, Hamzah dan al-Kisa’i membaca tahqiq kedua hamzah. (al-Qurtubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an [Kairo: Dar al-Kutub al-Mashriyah], 1964, hal, 184-185).
 
Kedua, menampilkan perbedaan qira’at disertai komentar ulama kemudian memberi komentar secara detail dan mengunggulkan salah satu pendapat dengan bersandar pada kandungan arti yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah. Seperti firman Allah dalam surat al-Fatihah ayat 4 (مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ). 
 
Pada lafaz (مالِك) beliau menguraikan pendapat ulama dan mengutip beberapa pendapat yang lebih diunggulkan dalam bacaan tersebut?. 
 
Dalam uraiannya beliau menyatakan bahwa kedua bacaan itu adalah bacaan Nabi, Abu Bakar dan Umar. Namun saja beliau mengutip pendapat yang diunggulkan, yaitu bacaan (مَلِك) dengan alasan bahwa lafaz (مَلِك) bermakna menguasai atau merajai. Sebab setiap raja adalah pemilik dan tidak semua pemilik adalah raja atau penguasa. Karena itu, setiap urusan raja atau penguasa terlaksana atas kepemilikan yang dikuasainya sehingga ia tidak bisa merubah sesuatu kecuali atas kekuasaannya. 
 
Di samping itu, beliau juga mengutip pendapat yang mengunggulkan lafaz (مالِك). Imam Abu Ubaidah dan al-Mubarrad meriwayatkan bahwa lafaz (مالِك) lebih baligh (mengena), sebab Ia adalah pemilik manusia dan lain-lainnya. Pemilik lebih pantas untuk mengatur, sebab kepada-Nya pemberlakuan undang-undang syari’at.
 
اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ أَيُّمَا أَبْلَغُ: مَلِكٌ أَوْ مَالِكٌ؟ وَالْقِرَاءَتَانِ مَرْوِيَّتَانِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ. ذَكَرَهُمَا التِّرْمِذِيُّ، فَقِيلَ:" مَلِكِ" أَعَمُّ وَأَبْلَغُ مِنْ" مالِكِ" إِذْ كُلُّ مَلِكٍ مَالِكٌ، وَلَيْسَ كُلُّ مَالِكٍ مَلِكًا، وَلِأَنَّ أمر الْمَلِكَ نَافِذٌ عَلَى الْمَالِكِ فِي مُلْكِهِ، حَتَّى لَا يَتَصَرَّفَ إِلَّا عَنْ تَدْبِيرِ الْمَلِكِ، قَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ وَالْمُبَرِّدُ. وَقِيلَ:" مالِكِ" أَبْلَغُ، لِأَنَّهُ يَكُونُ مَالِكًا لِلنَّاسِ وَغَيْرِهِمْ، فَالْمَالِكُ أَبْلَغُ تَصَرُّفًا وَأَعْظَمُ، إِذْ إِلَيْهِ إِجْرَاءُ قَوَانِينِ الشَّرْعِ.
 
“Para ulama berbeda pendapat, mana yang lebih baligh antara lafaz (مَلِكِ) dan (مالِك) ? kedua bacaan ini diriwayatkan dari Nabi Saw,. Abu dan Umar sebagaimana dituturkan oleh al-Turmudzi. Dikatakan bahwa lafaz (مَلِكِ) lebih baligh dariapada (مالِك) sebab semua penguasa adalah pemilik dan tidak semua pemilik adalah penguasa. Karena sesungguhnya perintah raja terlaksana atas kepemilikan yang dikuasainya. Sehingga ia tidak dapat mengatur kecuali dari kekuasaanya. Imam Abu Ubaidah dan al-Mubarrad berkata bahwa lafaz (مالِك) lebih baligh sebab ia berstatus sebagai pemilik manusia dan lain-lainnya. Maka, pemilik itu lebih sesuai untuk mengatur, karena kepada-Nya pemberlakuan undang-undang syariat” (al-Qurtubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an [Kairo: Dar al-Kutub al-Mashriyah], 1964, hal, 140).
 
Ketiga, menampilkan perbedaan qira’at Al-Qur’an sekailgus membantah atas tuduhan orang-orang yang tidak setuju terhadap qira’at Al-Qur’an tersebut disertai beberapa taujihat (arah dan tujuan pemakanaan)-nya, seperti dalam surat al-An’am ayat 137.
 
 وَكَذَلِكَ زَيَّنَ لِكَثِيرٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ قَتْلَ أَوْلَادِهِمْ شُرَكَاؤُهُمْ لِيُرْدُوهُمْ وَلِيَلْبِسُوا عَلَيْهِمْ دِينَهُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ 
 
Dalam ayat ini, menurut Imam al-Qurtubi ada empat bacaan, namun penulis di sini akan hanya menguraikan dua bacaan saja yang mewakili bacaan qira’at mutawatirah. Pertama adalah bacaan kebanyakan imam qira’at, yaitu bacaan semua imam qira’at kecuali Imam Ibnu Amir. Sedangkan bacaan yang kedua adalah bacaan Ibnu Amir al-Syami, yaitu membaca lafaz (زُيِّنَ) dengan dhammah huruf zay dan kasrah huruf ya’ (mabni majhul), dan mambaca dhammah lafaz (قَتْلُ), berposisi sebagai mudhaf, dan membaca fathah lafaz (أَوْلَادَهُمْ) serta membaca kasrah lafaz (شُرَكَاءِهِمْ), berposisi sebagai mudhaf ilaihi. Artinya, antara kalimat mudhaf dengan mudhaf ilaih-nya dipisah oleh sebuah kalimat yang berposisi sebagai maf’ul.
 
Pada bacaan yang kedua ini, ada sebagian ulama yang mempertanyakan kebenarannya dari sisi linguistik. 
 
قَالَ النَّحَّاسُ: وَأَمَّا مَا حَكَاهُ أَبُو عُبَيْدٍ عَنِ ابْنِ عَامِرٍ وَأَهْلِ الشَّامِ فَلَا يَجُوزُ فِي كَلَامٍ وَلَا فِي شِعْرٍ، وَإِنَّمَا أَجَازَ النَّحْوِيُّونَ التَّفْرِيقَ بَيْنَ الْمُضَافِ وَالْمُضَافِ إِلَيْهِ بِالظَّرْفِ لِأَنَّهُ لَا يَفْصِلُ، فَأَمَّا بِالْأَسْمَاءِ غَيْرِ الظُّرُوفِ فَلَحْنٌ
 
“Imam al-Nahhas berkata: adapun yang diceritakan oleh Abu Ubaid dari Imam Ibnu Amir dan warga Syam tidak boleh dalam ucapan dan Syair. Tapi para ulama nahwu memperbolehkan memisah antara mudhaf dan mudhaf ilaih dengan “dharff”, sebab jika dharaf tidak memisahkan. Sementara dipisah oleh isim selain dharaf adalah salah dan cacat.”
 
Pendapat ini diperkuat oleh sebagian ulama yang lain semisal Imam Makki, beliau berkata:
 
قَالَ مَكِّيٌّ: وَهَذِهِ الْقِرَاءَةُ فِيهَا ضَعْفٌ لِلتَّفْرِيقِ بَيْنَ الْمُضَافِ وَالْمُضَافِ إِلَيْهِ، لِأَنَّهُ إِنَّمَا يَجُوزُ مِثْلُ هَذَا التَّفْرِيقِ فِي الشِّعْرِ مَعَ الظُّرُوفِ لِاتِّسَاعِهِمْ فِيهَا وَهُوَ فِي الْمَفْعُولِ بِهِ فِي الشِّعْرِ بَعِيدٌ، فَإِجَازَتُهُ فِي الْقِرَاءَةِ أَبْعَدُ
 
“Imam Makki berkata: bacaan ini terdapat kelemahan karena terpisahnya antara mudhaf dan mudhaf ilaih, karena itu sesungguhnya boleh pemisahan semisal ini dalam syair dengan disertai keadaan karena luasnya mereka dalam bacaan itu. Sedangkan menganalogikan maf’ul dalam bacaan itu dengan di syair sangat jauh (berbeda), maka kebolehan dalam bacaan qira’at sangat jauh.”
 
Namun dalam hal ini, Imam al-Qurtubi membantah tuduhan di atas dan membela kebenaran dan kesahehan bacaan Ibnu Amir ini dengan mengutip perkataan Imam al-Qusyairi.
 
وَقَالَ الْقُشَيْرِيُّ: وَقَالَ قَوْمٌ هَذَا قَبِيحٌ، وَهَذَا مُحَالٌ، لِأَنَّهُ إِذَا ثَبَتَتِ (الْقِرَاءَةُ بِالتَّوَاتُرِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ الْفَصِيحُ لَا الْقَبِيح
 
وَقَدْ وَرَدَ ذَلِكَ فِي كَلَامِ الْعَرَبِ وَفِي مُصْحَفِ عُثْمَانَ" شُرَكَائِهِمْ" بِالْيَاءِ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى قِرَاءَةِ ابْنِ عَامِرٍ
 
Imam al-Qusyairi berkata: segolongan ulama menyatakan bahwa bacaan itu adalah jelek. Namun itu mustahil sebab jika bacaan itu datangnya dari Nabi Saw,. maka setatusnya adalah fasih bukan jelek. Selain itu, bacaan ini dapat dijumpai dalam ucapan orang Arab dan dalam mushaf Ustman lafaz (شُرَكَائِهِمْ) ditulis dengan huruf ya’ dan ini menunjukkan bacaan Imam Ibnu Amir. (al-Qurtubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Kairo: Dar al-Kutub al-Mashriyah, 1964, hal, 91-93).
 
Pembelaan ini—sebenarnya—tidak hanya dilakukan oleh Imam al-Qurtubi tapi juga datang dari ulama qira’at kontemporer seperti Syekh Abdul Fattah al-Qadhi dalam karyanya al-Wafi fi Syarh al-Syatibiyah
 
Al-Qadhi mengklasifikasi ahli nahwu yang menentang bacaan Ibnu Amir ke dalam dua golongan. Golongan pertama adalah menginkarinya karena alasan tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan pengucapan yang fasih. Golongan yang kedua adalah orang yang mengingkari bacaan tersebut dan tidak mengenal Ibnu Amir. Kedua-duanya dapat dikatakan inkar terhadap bacaan yang mutawatir meskipun golongan yang pertama lebih bagus (karena disertai ilmu dan alasan yang jelas). oleh sebab itu, beliau mengutarakan tidak boleh mencela golongan yang pertama (Ahli Nahwu) kecuali golongan yang kedua. Sebab ia melampai batas batas dengan menghina para imam umat Muslim yang disepakati kemulyaannya dan kesempurnaan hafalannya. Oleh karena itu, bacaan Ibnu Amir adalah bacaan yang mutawatir melalau jalan yang otentik, jika bacaan itu melalui transmisi yang mutawatir, maka ia tidak butuh menyandarkannya terhadap ucapan orang Arab tapi itu adalah hujjah yang menjadi rujukan dan hujjah (Abdul Fattah al-Qadhi, Al-Wafi fial-Qira’at al-Sab’i [Kairo: Maktabah al-Suwadi li al-Tauzi’], 1992, hal 267).
 
Imam al-Syatibi dalam karyanya Hirz al-Amani wa Wajh al-Tahani fi Qira’at al-Sab’i bersenandung lewat bait syairnya:
 
 وزيّن في ضمّ وكسر ورفع قت ... ل أولادهم بالنّصب شاميّهم تلا
 
 ويخفض عنه الرّفع في شركاؤهم ... وفي مصحف الشّامين بالياء مثّلا
 
 ومفعوله بين المضافين فاصل ... ولم يلف غير الظّرف في الشّعر فيصلا
 
 كلله درّ اليوم من لامها فلا ... تلم من مليمي النحو إلّا مجهّلا
 
ومع رسمه زجّ القلوص أبي مزا ... دة الاخفش النّحويّ أنشد مجملا