Ilmu Al-Qur'an

Hukum Menaruh Mushaf di Lantai

Jum, 27 September 2019 | 04:00 WIB

Hukum Menaruh Mushaf di Lantai

Rasulullah pernah meneladankan bagaimana menghormati kitab Taurat.

Mushaf Al-Qur’an merupakan satu hal yang sangat istimewa. Secara hukum asal, kertas tidak mempunyai nilai sakralitas sama sekali. Begitu pula tinta. Goresan-goresan tinta di mana pun berada, tidak punya nilai kehormatan tertentu. Namun, kondisi biasa-biasa saja itu secara otomatis “naik kelas” ketika kertas dan goresan itu berkaitan langsung dengan tulisan Arab yang memuat nama-nama Allah yang diagungkan atau Al-Qur’an.
 
Imam Nawawi dalam kitabnya al-Majmu’ menegaskan, ulama telah sepakat bahwa hukum menjaga dan menghormati mushaf Al-Qur’an adalah wajib. Bahkan kalau ada orang yang sampai berani dengan sengaja membuang mushaf di tempat yang kotor, bisa menjadi kafir karena ia telah menghina Al-Qur’an:
 
أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى وُجُوبِ صِيَانَةِ الْمُصْحَفِ وَاحْتِرَامِهِ فَلَوْ أَلْقَاهُ وَالْعِيَاذُ بِاَللَّهِ فِي قَاذُورَةٍ كَفَرَ
 
Artinya: “Ulama telah sepakat atas kewajiban menjaga mushaf dan memuliakannya. Apabila ada orang yang dengan sengaja membuang Al-Qur’an di tempat kotor, ia menjadi kafir, naudzu billah” (Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, [Darul Fikr], juz 2, hal. 71).
 
Apabila menghormati mushaf merupakan sebuah kewajiban, maka bagaimana hukumnya meletakkan mushaf di lantai bawah secara langsung tanpa meninggikan tempat sedikit pun? 
 
Syekh Sulaiman al-Bujairami menyatakan bahwa menaruh mushaf di lantai langsung hukumnya haram. Yang tepat, menurut beliau Al-Qur’an yang mulia seharusnya diletakkan di tempat yang menurut pandangan khalayak disebut sebagai tinggi walaupun ketinggiannya cukup sedikit dari tanah.
 
وَيَحْرُمُ وَضْعُ الْمُصْحَفِ عَلَى الْأَرْضِ بَلْ لَا بُدَّ مِنْ رَفْعِهِ عُرْفًا وَلَوْ قَلِيلًا اهـ. 
 
Artinya: “Dan haram meletakkan mushaf di atas bumi, bahkan wajib mengangkatnya di tempat yang tinggi menurut khalayak walaupun sedikit” (Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami, [Darul Fikr: 1995], juz 1, hal. 376)
 
Rasulullah pernah memberikan contoh tentang bagaimana selayaknya menghormati kitab suci sebagaimana hadits yang pernah diceritakan oleh Ibnu Umar berikut: 
 
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: أَتَى نَفَرٌ مِنْ يَهُودٍ، فَدَعَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْقُفِّ، فَأَتَاهُمْ فِي بَيْتِ الْمِدْرَاسِ، فَقَالُوا: يَا أَبَا الْقَاسِمِ: إِنَّ رَجُلًا مِنَّا زَنَى بِامْرَأَةٍ، فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ، فَوَضَعُوا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وِسَادَةً فَجَلَسَ عَلَيْهَا، ثُمَّ قَالَ: «بِالتَّوْرَاةِ»، فَأُتِيَ بِهَا، فَنَزَعَ الْوِسَادَةَ مِنْ تَحْتِهِ، فَوَضَعَ التَّوْرَاةَ عَلَيْهَا، ثُمَّ قَالَ: «آمَنْتُ بِكِ وَبِمَنْ أَنْزَلَكِ» ثُمَّ قَالَ: «ائْتُونِي بِأَعْلَمِكُمْ»، فَأُتِيَ بِفَتًى شَابٍّ، ثُمَّ ذَكَرَ قِصَّةَ الرَّجْمِ، نَحْوَ حَدِيثِ مَالِكٍ، عَنْ نَافِعٍ
 
Artinya: Sekelompok orang Yahudi sowan kepada Nabi. Mereka mengundang Nabi untuk ke daerah Quf (satu daerah di Madinah). Kemudian Nabi mendatangi mereka di Baitul Midras (tempat yang digunakan orang Yahudi untuk mengkaji kitab Taurat). 
 
Mereka kemudian mengadu kepada Nabi. ‘Hai ayahnya Qasim. Sesungguhnya seorang laki-laki di antara kami ada yang berzina dengan wanita. Jelaskan tentang hukumnya kepada mereka. 
 
Orang-orang yahudi ini kemudian meletakkan kasur kecil (sejenis bantal duduk) untuk Rasulullah ﷺ. Nabi pun lalu duduk di situ. Nabi berkata ‘Ambilkan aku Taurat!’ Taurat pun diserahkan kepada Nabi. 
 
Nabi melepaskan kasur duduk yang berada di bawahnya. Beliau ganti dengan meletakkan taurat di atas kasur tersebut. Lalu Nabi mengatakan kepada Taurat itu dengan pernyataan ‘Aku iman kepadamu dan iman kepada Tuhan yang menurunkanmu.’ 
 
Nabi meminta ‘Tolong datangkan kepadaku orang yang paling mengerti (tentang Taurat) di antara kalian. Nabi ﷺ didatangkan seorang pemuda. Ia membaca taurat tersebut dengan mengisahkan tentang rajam” (HR Abu Dawud).
 
Dengan demikian, apabila Nabi Muhammad ﷺ yang sebagai manusia terpilih saja selalu menghormati kitab suci Taurat, apalagi kita sebagai umat Nabi Muhammad kepada kitab-kitab kita sendiri, Al-Qur’an, sudah seharusnya kita menghormatinya. Wallahu a’lam.
 
 
Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang