Syariat agama kita memiliki tiga sub-ajaran pokok, yaitu imân, islâm dan ihsân. Ketiga sub ini sebenarnya berangkat dari sebuah hadits populer yang biasa dikenal dengan istilah hadits Jibril. Salah satu dari ketiga sub-ajaran itu adalah ihsân. Secara definitif, ihsân ini dijelaskan oleh Nabi Muhammad ﷺ sebagai:
قال فأخبرني عن الإحسان قال أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك رواه مسلم
Artinya: “Jibril berkata lagi: ‘Beritahu aku apa itu Ihsân!’ Rasul menjawab: ‘[Ihsân itu adalah] jika anda mengabdi kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya, dan andai anda tidak dapat melihatnya, maka Ia pasti melihat anda’.” HR Muslim.
Ihsân berasal dari fi’il tsulatsy mazîd dengan formula ah-sa-na (أحسن) yang makna literalnya adalah “berbuat baik, melakukan dengan baik, melampaui atau mengetahui dengan baik.” Jika mengukut wazan fi’il tsulatsy mujarrad (kata kerja dasar) ha-su-na, maka arti leteralnya adalah baik atau bagus. Di dalam Al-Qur’an, rumpun kata ini dipergunakan sebanyak kurang lebih 166 kali, yang secara bergantian menggunakan diksi husnâ, hasanah, hasanât, ahsana (fi’il), ahsanu (isim tafdlil), husnan, muhsinîn, ahsin (fi’il amar), dan lain sebagainya.
Dalam kesempatan ini, kita hendak mengurai penggunaan diksi hasan pada ayat QS Al-Baqarah [2] ayat 245. Allah ﷻ berfirman:
مَّن ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً ۚ وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Artinya: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”
Di dalam Tafsir al-Mishbah, karya dari Prof Quraish Shihab, beliau menjelaskan penafsiran ayat ini sebagai berikut:
“Berjuang di jalan Allah memerlukan harta, maka korbankanlah harta kalian. Siapa yang tidak ingin mengorbankan hartanya, sementara Allah telah berjanji akan membalasnya dengan balasan berlipat ganda? Rezeki ada di tangan Allah. Dia bisa mempersempit dan memperluas rezeki seseorang yang dikehendaki sesuai dengan kemaslahatan. Hanya kepada-Nyalah kalian akan dikembalikan, lalu dibuat perhitungan atas pengorbanan kalian. Meskipun rezeki itu karunia Allah dan hanya Dialah yang bisa memberi atau menolak, seseorang yang berinfak disebut sebagai 'pemberi pinjaman' kepada Allah. Hal itu berarti sebuah dorongan untuk gemar berinfak dan penegasan atas balasan berlipat ganda yang telah dijanjikan di dunia dan akhirat.”
Penafsiran yang disampaikan oleh Prof. Quraish Shihab di atas menjelaskan bahwa makna lafadh hasanan yang dilekatkan pada qardlan (utang) adalah bermakna kerelaan seseorang mengorbankan hartanya dengan jalan infak. Orang yang demikian ini ibarat orang yang meminjami Allah dan baginya kelak dijanjikan Allah berupa kelipatan pahala yang banyak baik di dunia maupun di akhirat. Penafsiran ini nampaknya senada dengan penafsiran Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya. Ia menyampaikan:
يحث تعالى عباده على الإنفاق في سبيله ، وقد كرر تعالى هذه الآية في كتابه العزيز في غير موضع
Artinya: (Dengan ayat ini) Allah ﷻ menganjurkan kepada para hamba-Nya agar gemar berinfaq di jalan-Nya. Dan Dia mengulang-ulang anjuran ini dalam Kitab-Nya Yang Maha Mulia ini (Al-Qur’an) dalam berbagai ayat yang lain.” (Ibn Katsir,
Tafsir Ibn Katsir)
Masih menurut Ibn Katsir, berdasarkan hadits yang yang meriwayatkan turunnya ayat ini, sebagaimana disampaikan oleh Ibn Abi Hat’im dari sahabat Abdullah Ibn Mas’ud, dijelaskan bahwa:
لما نزلت : ( من ذا الذي يقرض الله قرضا حسنا فيضاعفه له ) قال أبو الدحداح الأنصاري : يا رسول الله وإن الله ليريد منا القرض ؟ قال : " نعم يا أبا الدحداح " قال : أرني يدك يا رسول الله . قال : فناوله يده قال : فإني قد أقرضت ربي حائطي . قال : وحائط له فيه ستمائة نخلة وأم الدحداح فيه وعيالها . قال : فجاء أبو الدحداح فناداها : يا أم الدحداح . قالت : لبيك قال : اخرجي فقد أقرضته ربي عز وجل
Artinya: Ketika ayat (
man dza al-ladzi yuqridlu alllaha qardlan hasanan fayudlâ’ifahu lahu) ini turun, terdapat seorang sahabat yang bernama Abu al-Dahdah dari kalangan sahabat anshar menghadap Rasulullah ﷺ dan berkata; “Wahai Rasulullah, Demi Sesungguhnya Allah telah menghendaki kita agar menghutangi-Nya?” Rasulullah ﷺ menjawab: “Iya, Wahai Abu Dahdâh” Abu Dahdâh berkata: “Perlihatkan tangan tuan, Wahai Rasulallah!” Ibnu Mas’ud berkata: “Lalu diraihnya tangan Rasulallah”. Abu Dahdâh berkata: “Aku menghutangkan tembokku kepada Tuhanku.” Ia melanjutkan: “Tembok itu terdiri dari 600 pohon kurma yang Ummu Dahdâh beserta keluarganya tinggal di dalamnya.” Ibn Mas’ud kemudian berkata: “Lalu pulanglah Abu Dahdâh menghampiri istrinya dan memanggilnya: “Wahai Ummu Dahdâh!” Sang Istri menjawab: “Iya, suamiku.” Abu Dahdâh berkata: “Keluarlah kamu! Aku telah mengambil janji menghutangkan semua ini kepada Tuhanku Yang Maha Mulia lagi Maha Agung.” (Ibn Katsir,
Tafsir Ibn Katsir)
Tindakan Abu Dahdâh ini merupakan bentuk pengamalan dari ayat yang berisi qardlan hasanan di atas. Artinya, ayat itu berkisah tentang kerelaan sahabat dalam menginfakkan hartanya di jalan Allah sebagaimana disinggung oleh kedua mufassir di atas. Hadits riwayat tafsir ini juga disampaikan oleh Mufassir yang lain, seperti al-Baghawy, al-Thabary dan Al-Qurthuby. Syekh Jalâluddin Al-Mahally menyampaikan dalam Tafsir Jalâlain secara umum pengertian yang sama.
Ada penafsiran lain terkait dengan “qardlan hasanan” berdasar hadits riwayat sahabat Umar ibn Khathab dalam rupa hadits marfu’ yang sanadnya bersambung sampai Rasulullah ﷺ. Umar berkata: هو النفقة في سبيل الله (yaitu: berinfak di jalan Allah ﷻ). Dalam penafsiran lain disebutkan :هو النفقة على العيال (yaitu memberikan nafkah kepada keluarga). Ada juga ulama yang menafsirkan sebagai: هو التسبيح والتقديس (yaitu membaca tasbîh dan taqdîs (penulis: memahasucikan Allah dan menyucikan dari segala bentuk hal yang mengarah kepada penyekutuan).
Berdasar riwayat hadits yang lain yang menjelaskan proses turunnya ayat, bahwa ayat ini turun setelah QS Al-Baqarah [2]: 261 dan berfungsi menjelaskannya. Allah ﷻ berfirman:
مثل الذين ينفقون أموالهم في سبيل الله كمثل حبة أنبتت سبع سنابل
Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti menanam sebuah biji, yang darinya tumbuh tuju tandan.” (QS Al-Baqarah [2]: 261)
Saat itu, kemudian Nabi ﷺ berdoa: رب زد أمتي (Wahai Tuhanku! Lebihkanlah atas umatku!). Dari sini lalu turun ayat: من ذا الذي يقرض الله قرضا حسنا فيضاعفه له أضعافا كثيرة (Barangsiapa yang memberikan pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatkan baginya berupa pahala dengan kelipatan yang banyak). Ternyata Rasulullah ﷺ tidak berhenti sampai disini. Beliau berdoa lagi: “رب زد أمتي (Wahai Tuhanku! Berikan tambahan lagi atas umatku!). Lalu turunlah ayat yang lain;
قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
Artinya: “Katakan [Muhammad]! Wahai Hamba-Ku yang terdiri dari orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Bagi mereka yang telah berbuat baik di dalam kehidupan dunia ini, terdapat sebuah kebaikan (yang dijanjikan). Buminya Allah teramat luas. Sesungguhnya bagi orang-orang yang penyabar, akan diberikan pahala yang tanpa bisa dihitung.” (QS al-Zumar [39]: 10).
Yang menarik dari tafsir ayat dengan ayat ini, adalah ada diksi menarik yang disertakan dalam QS Al-Zumar [39] ayat 10 di atas. Diksi itu adalah: وأرض الله واسعة (Bumi Allah teramat luas). Penggunaan diksi ini sebagaimana disinggung oleh Mujâhid, makna wâsi’ah selalu identik dengan makna rezeki dunia berupa materi.
Walhasil, penafsiran terhadap Surat Al-Baqarah ayat 245 di atas, seolah menjadi bermakna: “bahwasanya orang yang telah berbuat baik di dunia sebagaimana diibaratkan telah memberi utang Allah, maka bagi dirinya akan diberikan balasan selain berupa pahala yang banyak, dirinya juga akan diberi balasan di dunia berupa materi.”
Dengan kata lain, makna “hasan” pada ayat itu, tidak hanya sebuah perbuatan baik yang berkonotasi akhirat saja, melainkan juga dunia. Jika makna ayat ternyata juga berkonotasi pada dunia, maka yang dimaksud dengan mengutangi Allah dengan jalan yang baik, adalah juga bermakna memberikan pinjaman kepada sanak kerabat yang membutuhkan pinjaman, dan pinjaman itu disampaikan dengan cara yang baik karena semata mengharap ridha Allah.
Dalam konteks fiqih disebut dengan istilah pinjaman tabarru’ (suka rela). Karena yang diharapkan hanyalah semata ridha Allah, maka tidak ada syarat yang turut disertakan. Namun, pemaknaan ini berasal dari sudut pandang orang yang meminjami (muqridl). Adapun kewajiban yang berlaku atas orang yang meminjam adalah sebagaimana disinggung oleh Allah ﷻ dalam QS Al-Zumar [39] ayat 10, yaitu berbuat ihsân atas pinjaman yang diberikan. Antara hasan dan ihsân terdapat “manajemen risiko” yaitu berupa istihsân sebagaimana disinyalir lewat penggalan ayat وأرض الله واسعة (Bumi Allah teramat luas). Inilah pengamalan dari ihsân sebagaimana terdapat dalam hadits Jibril yang telah disinggung dalam awal tulisan ini. Wallâhu a’lam bish shawâb.
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur