Bagaimana Memahami Hadits Berdasarkan Illatnya?
NU Online ยท Selasa, 28 November 2017 | 13:01 WIB
Imam Al-Amidi dalam kitabnya Al-Ihkam Fi Usulil Ahkam mendefinisikan illat sebagai berikut.
Artinya, โSifat lahir yang membuat suatu hukum dapat diketahui atau penyebab dari ada dan tidak adanya suatu hukum.โ
Illat yang dimaksud di sini bukanlah illat dalam ilmu Musthalahul Hadist atau yang disebut illat/muallal, melainkan illat yang dimaksud adalah illat dalam kajian Ushul Fikih.
Adapun dalam pembagiannya, illat dibagi menjadi dua. Pertama, illatul manshushah, yakni adanya illat ini berdasarkan hal-hal yang telah tertulis dalam Al-Qurโan dan hadist. Kedua, illatul mustanbathah, yaitu illat yang dihasilkan oleh para mujtahid melalui proses ijtihadnya.
Menurut KH Ali Mustafa Yaqub dalam kitab At-Thuruqus Shahihah fi Fahmis Sunnatin Nabawiyyah, secara umum illatul manshushah tidak akan menyebabkan perbedaan pendapat di antara para ulama. Hal ini berbeda dengan illatul mustanbatah dikarenakan tidak disebutkan secara gamblang illatnya dalam badan nash.
Pertama, contoh illatul manshushah dalam hadits bisa kita lihat dari hadits riwayat Bukhari tentang minuman yang memabukkan.
Artinya, โSetiap minuman yang memabukkan adalah haram.โ
Atau dari riwayatย Muslim dan Abu Dawud.
Artinya, โSetiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap yang memabukkan adalah haram.โ
Juga dari riwayat Abu Dawud.
Artinya, โSetiap yang memabukkan adalah haram. Minuman yang ketika banyak kadarnya haram, maka seisi telapak tanganpun haram.โ
Dari dua hadits di atas bisa disimpulkan bahwa dalam hal ini, yang menjadi illat adalah memabukkan. Semua ulama sepakat akan hal ini, mengingat illat dalam hadits tersebut adalah illat yang manshushah.
Tetapi terkadang para ulama berbeda pendapat terkait illatul manshushah jika ada perbedaan riwayat dalam hadist tersebut. Sebagian ulama terkadang menggunakan hadits yang menyebutkan illatnya. Sedangkan ulama yang lain menggunakan hadist yang tidak menyebutkan illatnya.
Misalnya dalam hadits terkait menyerupai kaum musyrik berikut ini.
Artinya, โBerpenampilanlah berbeda dari kaum musyrik, cukurlah kumis dan biarkanlah jenggot.โ
Kalau kita hanya mengacu pada hadits tersebut seolah-olah cukup jelas bahwa yang menjadi illat adalah berbeda dengan kaum musyrik, yang pada saat itu mereka memelihara kumis sehingga dianjurkan untuk mencukur kumis agar berbeda.
Tetapi ada juga hadits lain tanpa menyebutkan kata โberbeda dari kaum musyrikโ sehingga ada sebagian ulama yang mewajibkan menumbuhkan jenggot dan mencukur kumis. Bahkan hadits tersebut menurut As-Suyuthi adalah sahih.
Artinya, โCukurlah kumis dan biarkanlah jenggot.โ
Inilah yang kami maksud, walaupun illatnya manshusah tetapi ulama berbeda pendapat karena berbeda periwayatan. Maka dari itu dalam menggunakan hadits tidak dianjurkan untuk menggunakan hadits yang sepotong-potong. Diharuskan mentakhrij agar mendapatkan riwayat hadits secara komprehensif.
Kedua, contoh illatul mustanbathah.
Artinya, โJanganlah sekali-kali seorang shalat ashar kecuali di Bani Quraizah.โ
Dalam memahami hadits di atas ada dua pendapat yang berbeda di kalangan para sahabat, yakniย ahluz zhahir dan ashabur raโyi wal qiyas.
Ahluz zhahir meyakini bahwa pemahaman dari hadist tersebut adalah bahwa shalat ashar harus diakhirkan dan dilaksanakan di Bani Quraizhah karena mereka melihat zhahirnya lafal hadist.
Sedangkan menurut ashabur raโyi wal qiyas, mereka tetap harus shalat ashar di jalan karena waktu ashar akan habis ketika sudah sampai di Bani Quraidzah. Mereka melihat makna atau tujuan dari hadits tersebut adalah agar mereka segera sampai di Bani Quraizhah.
Dari beberapa penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa memahami illat dalam hadits adalah sebuah komponen yang tidak bisa dipisahkan dari fiqhul hadits (memahami hadits). Ketidakmampuan dan kedangkalan dalam mengetahui illat dapat membuat seseorang menjadi konservatif, tekstualis, dan kejumudan dalam memahami hadits. Wallahu aโlam. (Muhammad Alvin Nur Choironi)
Terpopuler
1
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
2
Khutbah Idul Adha: Menanamkan Nilai Takwa dalam Ibadah Kurban
3
Bolehkah Tinggalkan Shalat Jumat karena Jadi Panitia Kurban? Ini Penjelasan Ulama
4
Khutbah Idul Adha: Implementasi Nilai-Nilai Ihsan dalam Momentum Lebaran Haji
5
Khutbah Idul Adha Bahasa Jawa 1446 H: Makna Haji lan Kurban minangka Bukti Taat marang Gusti Allah
6
Khutbah Idul Adha: Menyembelih Hawa Nafsu, Meraih Ketakwaan
Terkini
Lihat Semua