Syariah

Keutamaan Berangkat Shalat Jumat Lebih Awal

Jum, 29 November 2019 | 00:00 WIB

Keutamaan Berangkat Shalat Jumat Lebih Awal

Jumat merupakan "sayyidul ayyam", rajanya hari. Nabi mendorong umatnya untuk datang Jumatan lebih awal.

Di antara adab menunaikan shalat Jumat adalah berangkat ke masjid lebih awal. Keutamaan bagi yang melakukannya besar sekali, sebagaimana yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Antara lain yang diungkap dalam hadits berikut ini:

مَنْ رَاحَ إِلَى الْجُمُعَةِ فِي السَّاعَةِ الْأُوْلَى فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدْنَةً وَمَنَ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كِبَشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا أَهْدَى دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا أَهْدَى بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامَ طُوِيَتِ الصُّحُفُ وَرُفِعَتِ الْأَقْلَامُ وَاجْتَمَعَتِ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ الْمِنْبَرِ يَسْتَمِعُوْنَ الذِّكْرَ فَمَنْ جَاءَ بَعْدَ ذَلِكَ فَإِنَّمَا جَاءَ لِحَقِّ الصَّلَاةِ لَيْسَ لَهُ مِنَ الْفَضْلِ شَيْءٌ

Siapa saja yang berangkat shalat Jumat pada jam pertama, seakan-akan berkurban dengan seekor unta. Siapa saja yang berangkat pada jam kedua, seakan-akan berkurban dengan seekor sapi. Siapa saja yang berangkat pada jam ketiga, seakan-akan berkurban dengan kambing bertanduk. Siapa saja yang berangkat pada jam keempat, seakan-akan menghadiahkan seekor ayam jantan. Siapa saja yang berangkat pada jam kelima, maka seakan-akan menghadiahkan sebutir telur. Setelah imam keluar, maka catatan amal sudah ditutup, qalam pencatat sudah dianggat, dan para malaikat berkumpul di minbar untuk mendengarklan zikir. Siapa saja yang datang setelah itu, maka ia datang hanya untuk memenuhi hak shalat dan tidak mendapatkan keutamaan apa-apa, (HR. al-Bukhari dan Muslim).

 

Namun, para ulama hadits beragam pendapat dalam memaknai jam pertama dalam hadits di atas. Jumhur ulama dan para ulama mazhab Syafi‘i berpendapat, jam pertama di sana dimulai dari awal hari, yaitu sejak terbit fajar sebagaimana dipedomani oleh al-Ghazali. Sebab, menurut mereka, istilah râha atau rawah berarti berangkat pagi-pagi atau pada awal hari.

 

Pendapat berbeda dikemukakan oleh Imam Malik, ulama mazhab Maliki, Qadhi Husain, dan Imam Haramain yang merupakan pengikut Imam Syafi‘i. Menurut mereka, maksud jam pertama di sana adalah beberapa saat setelah tergelincir matahari. Dasarnya, kata râha atau rawah sendiri, menurut mereka adalah berangkat setelah tergelincir matahari.

 

Namun, Imam al-Nawawi, ulama mazhab Syafi‘i mencoba menengahi perdebatan di atas. Arti râha atau rawah yang paling mendekati makna hadits di atas adalah yang dikemukakan oleh al-Azhari. Menurutnya, kata itu bermakna pergi secara umum. Sama saja, apakah pergi pagi, sore, atau malam hari. Pasalnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa para malaikat mencatat orang yang datang pada jam pertama. Orang yang datang pada jam itu seperti orang yang berkurban atau mengeluarkan hadiah dengan unta. Orang yang datang jam kedua seperti berkurban dengan sapi. Dan seterusnya. Namun, setelah imam keluar dan jamaah sudah mengisi barisan, para malaikat tak lagi mencatatnya. (Lihat: al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘ala Muslim, [Beirut: Daru Ihya al-Turatsa] 1992, jilid 6, 135).

 

Diketahui pula bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri berangkat shalat Jumat saat sudah dekat dengan waktu tergelincir maatahari. Artinya sudah lewat waktu keenam sebagaimana dalam hadits di atas. Ini artinya tidak ada masalah dalam masalah kurban dan keutamaan bagi orang yang datang setelah tergelincir matahari.

 

Penyebutan jam atau waktu pertama di sana hanyalah dorongan untuk berangkat lebih awal. Tujuannya agar orang yang hendak menunaikan shalat Jumat terdorong untuk meraih berbagai keutamaan, seperti keutamaan berlomba dalam kebaikan, keutamaan duduk di barisan pertama, keutamaan menanti shalat Jumat, keutamaan menyibukkan diri dengan amalan sunat, berdzikir, dan itikaf seterusnya. Hanya saja keutamaan itu tidak akan tercapai jika kita berangkat setelah tergelincir matahari atau setelah memasuki waktu zuhur. Artinya, tidak ada keutamaan bagi orang yang datang setelah waktu zhuhur kecuali memenuhi hak shalat. Sebab, seruan azan sudah dikumandangkan. Tak heran jika ada ulama yang melarang mengakhirkan diri setelah seruan azan.

  

Ditambahkan oleh al-Nawawi, “Kawan-kawan kami dari kalangan Syafi‘i bersilang pendapat, apakah waktu pertama itu dihitung dari mulai terbit fajar atau dari terbit matahari? Yang paling sahih menurut mereka adalah sejak terbit fajar.” Namun, imbuhnya, orang yang datang pada jam pertama dan orang yang datang jam terakhir sama-sama mendapatkan keutamaan kurban atau sedekah kurban, sapi, dan domba. Namun, unta, sapi, atau domba orang yang datang pertama lebih bagus dari orang yang datang terakhir, sebagaimana dalam hadits yang lain, “Pada hari Jumat, para malaikat duduk di pintu masjid. Di tangan mereka ada lembaran catatan dari perak dan pena pencatat dari emas. Mereka akan mencatat satu persatu yang datang lebih awal sesuai dengan tingkatan mereka. (HR. Ibnu Mirdawaih).

 

Hal itu tiada beda dalam shalat berjamaah. Apakah berjamaahnya dua orang atau banyak orang, apakah di rumah atau di masjid. Inti dari hadits di atas adalah mendorong agar kita berangkat lebih awal, jangan sampai berangkat setelah azan. Tujuannya agar mendapat keutamaan-keutamaan di atas. Ingatlah bahwa pada hari Jumat ada satu waktu yang tidaklah seseorang berdoa atau memohon pada waktu itu kecuali akan dikabulkan. Demikian sebagaimana yang disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

 

Terlebih dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyatakan:

ثَلَاثٌ لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِيْهِنَّ لَرَكَضُوْا رَكْضَ الْإِبِلِ فِي طَلَبِهِنَّ اَلْأَذَانُ وَالصَّفُّ الْأَوَّلُ وَالْغُدُوُّ إِلَى الْجُمُعَةِ

 

Ada tiga perkara yang seandainya semua orang mengetahui apa yang ada di dalamnya, tentu mereka akan lari seperti unta untuk memburunya. Ketiganya adalah azan, barisan paling depan, dan berangkat shalat Jumat lebih awal (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

 

Ditambahkan Imam Ahmad ibn Hanbal, “Yang paling utama di antara ketiganya adalah berangkat shalat Jumat lebih awal.”

 

Dalam riwayat lain disebutkan:

 

Sesungguhnya para malaikat senantiasa memperhatikan orang yang terlambat dari waktunya pada hari Jumat. Satu sama lain bertanya, “Apa yang dilakukan si fulan dan apa yang membuatnya terlambat?” Yang lain menjawab, “Ya Allah, jika yang menyebabkan dirinya terlambat adalah kefakiran maka cukupkanlah. Jika yang membuatnya terlambat adalah penyakit maka sembuhkanlah. Jika yang membuatnya terlambat adalah kesibukan, maka luangkanlah waktunya untuk beribadah kepada-Mu. Jika yang membuatnya terlambat adalah kelalaiannya maka hadapkanlah hatinya untuk taat kepada-Mu,” (HR. Al-Baihaqi).

 

Adanya penjelasan al-Nawawi ini tentu bukan berarti kita boleh menurunkan semangat orang yang hendak berangkat shalat Jumat pagi hari. Namun, tampaknya pendapat inilah yang lebih memungkinkan diterapkan di tengah masyarakat yang super-sibuk seperti sekarang ini. Boleh jadi orang yang belum bisa berangkat lebih awal karena tidak tahu, tahu tetapi lupa, atau tahu tetapi tak memiliki waktu. Marilah kita beramal seraya mengingat keutamaan yang akan kita dapatkan, layaknya kita bekerja dengan mengingat hasilnya. Beramallah demi meraih keuntungan akhirat seperti kita bekerja demi meraih keuntungan dunia.

 

Saat di perjalanan menuju masjid, al-Ghazali menyarankan hendaknya hati kita dipenuhi dengan kekhusyukan, kerendahan hati, dan diniatkan beritikaf di masjid hingga waktu shalat. Niatkan pula untuk bergegas memenuhi seruan Allah subhanahu wata’ala, yakni menunaikan kewajiban Jumat, sekaligus memburu ampunan dan rida-Nya. (Lihat: al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, [Kairo: Darut Taqwa lit-Turats], 2000, jilid 1, hal. 214).

 

Sebagai penutup, berikut adalah kisah Ibnu Mas‘ud. Suatu Jumat, ia berangkat ke masjid lebih awal. Namun, di dalam masjid ia sudah melihat tiga orang di sana. Mereka datang lebih dulu dari dirinya. Meski begitu dirinya harus puas dengan keadaan itu. Namun, ia tetap mencela dirinya, “Aku adalah orang yang datang keempat. Sedangkan orang yang datang keempat tidak termasuk orang yang datang lebih awal.”

 

Mudah-mudahan kita senantiasa memiliki kesempatan untuk beramal dan memperbaiki amal. Amin ya rabbal alamin.

 

Penulis: M. Tatam Wijaya

Editor : Mahbib Khoiron