Khutbah

Khutbah Idul Adha: Ibadah Haji dan Qurban Tingkatkan Kesalehan Spiritual dan Sosial 

Jum, 14 Juni 2024 | 14:00 WIB

Khutbah Idul Adha: Ibadah Haji dan Qurban Tingkatkan Kesalehan Spiritual dan Sosial 

Ilustrasi jamaah haji. (Foto: MCH)

Ibadah haji dan kurban pada Hari Raya Idul Adha merupakan wujud kepatuhan manusia sebagai hamba. Apa pun yang Allah perintahkan, harus ditunaikan meskipun harus mengorbankan harta kesayangan dan hanya satu-satunya. Dua ibadah ini diharapankan melahirkan kesalehan spiritual dan kesalehan sosial. 

 

Khutbah Idul Adha ini berjudul, “Ibadah Haji dan Qurban Momentum Tingkatkan Kesalehan Spiritual dan Kesalehan Sosial.” Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan desktop). Semoga bermanfaat! (Redaksi). 

 

Khutbah I


  
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ

 

اللهُ اَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا، لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ، هُوَ اللهُ اَكْبَرُ، اللهُ اَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ 

 

اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي خَلَقَ آدَمَ بِيَدِهِ مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ، وَأَسْجَدَ لَهُ مَلَائِكَتَهُ الْمُقَرَّبِيْنَ الْأَطْهَارِ، فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيْسَ أَبَى فَبَاءَ بِاللَّعْنَةِ وَالصِّغَارِ، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ عَلَى نِعَمِهِ الْغِزَارِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ تَوْحِيْدًا مُقْتَنًى لِيَوْمِ الْحَاجَةِ وَالْاِفْتِقَارِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَفْضَلُ مَنْ صَلَّى وَنَحَرَ، وَحَجَّ وَاعْتَمَرَ، وَجَاهَدَ الْمُنَافِقِيْنَ وَالْكُفَّارَ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْبَرَرَةِ الْأَخْيَارِ، وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا

 

أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ، اِتَّقُوا اللهَ تَعَالَى حَقَّ التَّقْوَى، وَالْتَمِسُوا مِنَ الْأَعْمَالِ مَا يَحِبُ وَيَرْضَى. وَاعْلَمُوا أَنَّ يَوْمَكُم هَذَا يَوْمٌ فَضِيْلٌ، وَعِيْدٌ جَلِيْلٌ، رَفَعَ اللهُ قَدْرَهُ وَأَظْهَرَ، سَمَّاهُ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَهُوَ أَصْدَقُ الْقَائِلِيْنَ، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، ﴿إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ ، فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ ، إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ﴾، صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ الْعَزِيْزُ الْغَفَّارُ

 

اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وِللهِ الْحَمْدُ

 

Hadirin rahimakumullah

Puji syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah swt. Alhamdulillah, berkat rahmat dan limpahan nikmat-Nya kita bisa berada di tempat yang penuh berkah ini. Shalawat teriring salam semoga tetap tercurah kepada Baginda Alam Nabi Muhammad saw. beserta keluarga, sahabat, tabiin, hingga kepada kita selaku umatnya. 

 

Dan alhamdulillah hingga saat ini kita masih diberi kesempatan untuk merayakan Hari Raya Idul Adha yang sehari sebelumnya ada sebuah peristiwa besar dan mengharukan terjadi. Jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berkumpul di padang Arafah untuk menunaikan wukuf sebagai bagian dari rangkaian ibadah haji. Mereka bersimpuh mendekatkan diri kepada Allah swt. 

 

Hadirin rahimakumullah 

Disyariatkannya ibadah tidak lepas dari dua hikmah, pertama sebagai pengakuan dirinya sebagai hamba Allah, kedua sebagai ungkapan syukur kepada-Nya. Ibadah haji dan kurban pun mengandung dua hikmah tersebut. 

 

Sebagai wujud pengakuan diri sebagai hamba Allah, ibadah haji merupakan manifestasi penghambaan, serta wahana menampakkan kehinaan diri, seperti halnya yang dapat dirasakan pada saat ihram. Orang berhaji dilarang untuk menghias diri meskipun sebenarnya mampu. Saat ihram, ia dituntut berpenampilan sederhana dan menampakkan perasaan butuh pertolongan Tuhannya.

 

Kemudian, sebagai wujud syukur, ibadah haji dan kurban juga merupakan wujud ungkapan terima kasih atas segala nikmat yang Allah berikan. Dengan keduanya, seseorang harus mengorbankan dua hal, yaitu tenaga dan hartanya. 

 

Dalil disyariatkannya ibadah haji berpijak pada ayat Al-Qur’an yang menyatakan:

 

وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

 

Artinya, “Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam,” (QS Ali ‘Imran: 97).

 

Secara historis, ibadah haji ke Baitullah sudah dilakukan oleh nabi pertama. Pada zaman Nabi Muhammad, para ulama berbeda pendapat tentang permulaan disyariatkannya ibadah haji. Ada yang mengatakan, ibadah haji diwajibkan pada tahun kesepuluh Hijriah, ada yang berpendapat, sebelum Nabi Muhammad hijrah, ada juga yang berpendapat diwajibkan pada tahun keenam Hijrah. Dari sejumlah pendapat yang ada, pendapat terakhir-lah yang paling masyhur dan disepakati para ulama. 

 

اللهُ أكْبَرُ (×3) لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ

 

Hadirin rahimakumullah 

Di sisi lain, ibadah haji adalah upaya mujahadah atau mengerahkan segenap kemampuan untuk menjalankan perintah Allah dan memperoleh keridaan-Nya, sehingga dapat berjumpa bersama-Nya kelak. 

 

Ibadah Haji juga bisa dikatakan simbol kepulangan manusia kepada Tuhannya. Karenanya, siapa pun yang menunaikan ibadah haji, mesti meniatkan diri semata-mata karena Allah swt. Menghadap kepada-Nya hanya dengan pakaian serba putih dan sederhana, jauh dari kata mewah dan menonjolkan atribut  kesombongan diri. 

 

Saat itu, jamaah haji semata menjadikan orientasinya hanya kepada Allah, sejalan dengan ayat Al-Quran, yang artinya, “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam,” (QS. Al-An’am:162-163).

 

Selanjutnya, keberhasilan ibadah haji tidak hanya dilihat dari seberapa banyak seseorang menunaikannya. Akan tetapi, lebih ditentukan oleh kesadaran musyahadah atau merasakan kehadiran Tuhannya. Karena musyahadah inilah yang akan membentuk visi kemanusiaan, keadilan, solidaritas, ketaatan, dan kepasrahan tertinggi kepada Allah. 

 

اللهُ أكْبَرُ (×3) لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ

 

Hadirin rahimakumullah 

Di saat yang sama, umat Islam di Tanah Air dan tidak sedang menunaikan ibadah haji, disunahkan untuk berpuasa mulai dari tanggal 1 hingga tanggal 9 Dzulhijjah. Keutamaannya pun luar biasa. Satu hari berpuasa, maka dosa-dosa kita satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang akan terampuni. Demikian sebagaimana sabda Sang Baginda: 

 

‌مَا ‌مِنْ ‌أَيَّامٍ ‌الْعَمَلُ ‌الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ 

 

Artinya, “Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah, daripada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah.” (HR Bukhari). 

 

Kemudian pada 10 Dzulhijjah yang bertepatan dengan hari ini dan 3 hari berikutnya atau yang lebih dikenal dengan hari tasyriq, kita disyariatkan untuk menyembelih hewan sebagai bukti syukur kepada Allah sekaligus sebagai wujud ketakwaan, kepasrahan, dan pengorbanan di hadapan Sang Pencipta.  

 

Selain wujud syukur, berkurban sendiri merupakan konsekuensi dan kepatuhan kita sebagai hamba. Pada hakikatnya, apa pun yang Allah perintahkan, harus kita tunaikan, meskipun harus mengorbankan sesuatu yang paling berharga sekalipun.  

 

Secara naqli, ibadah kurban didasarkan pada firman Allah dalam Al-Qur’an sebagaimana berikut. 

 

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

 

Artinya, "Maka shalatlah untuk Tuhanmu dan berkurbanlah,” (QS. Al-Kautsar [108]: 1-3). 

 

Lebih istimewanya, penyembelihan hewan kurban itu diniatkan untuk menyembelih nafsu kebinatangan yang ada dalam diri, guna menghilangkan sifat egois, asosial, rakus, serakah, tamak dan sifat-sifat tercela lainnya. 

 

Selain bentuk mendekatkan diri kepada Allah dan wujud syukur kepada-Nya, berkurban juga merupakan kepedulian,  kesalehan sosial, dan berbagi manfaat terhadap sesama, demi menjadi pribadi yang terbaik, sebagaimana yang diamanatkan Rasulullah dalam haditsnya bahwa “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya.” 

 

Tak heran jika ibadah kurban ini meskipun masuk dalam kategori sunnah tetapi sangat dianjurkan. Bahkan, ada pula ulama yang sampai mewajibkannya, berdasarkan sabda Rasulullah:

 

مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

 

Artinya, “Barangsiapa yang mempunyi kemampuan tetapi tidak berqurban maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR Ahmad).

 

Hadis ini seolah-olah ingin menyampaikan pesan bahwa kesalehan spiritual yang diraih melalui shalat kita hanyalah sia-sia belaka, jika kita tidak dibarengi dengan berkurban demi meraih kesalehan sosial sementara kita mampu meraih keduanya.  

 

Kesadaran spiritual dan kesadaran sosial inilah yang mestinya diraih dari setiap amaliah ibadah yang kita ditunaikan. Barangkali itu pula mengapa kita diperintah tidak hanya ibadah mahdhah, tetapi juga ibadah ghair mahdhah, tidak hanya memiliki hubungan vertikal yang baik dengan Allah atau hablum minallah, tetapi juga harus memiliki horizontal yang harmonis dengan sesama atau hablum minannas

 

Lahirnya penyakit sosial dan kriminalitas disebabkan oleh kerawanan dan ketimpangan sosial tadi. Sehingga pembagian daging kurban kepada orang-orang fakir sejatinya sejalan dengan amanat Allah dalam Al-Quran: 

 

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

 

Artinya, “…maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj [22]: 28). 

 

Terlebih yang diterima Allah dari kurban seorang hamba bukanlah daging atau darahnya, melainkan ketakwaan dan keikhlasan niatnya: 

 

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

 

Artinya, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al Hajj: 37). 

 

Kendati bukan daging dan darah hewan itu sendiri yang sampai pada Allah, tetapi Dia tidak menyia-nyiakan kebaikan hamba-Nya, sampai-sampai setiap helai bulu hewan yang dikurbankan tak luput dari perhitungan kebaikan, sebagaimana sabda Nabi saw. saat ditanya tentang apa yang didapat dari kurban itu? 

 

بِكُلِّ شَعَرَةٍ، حَسَنَةٌ

 

Artinya, “Pada setiap helai bulunya terdapat kebaikan,” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

 

Hadirin rahimakumullah 

Semoga uraian khutbah singkat ini bermanfaat dalam mendorong peningkatan kesalehan kita, baik kesalehan spiritual maupun kesalehan sosial. Hanya kepada Allah menyembah dan hanya kepada Allah kita memohon pertolongan. 

 

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ اللهُ منِّيْ وَمِنْكُمْ تَلاَوَتَهُ إِنّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ، أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ، لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ

 

Khutbah II

 

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ  اللهُ أَكْبَرُ  اللهُ أَكْبَرُ  اللهُ أَكْبَرُ  اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ

 

الحَمْدُ لله عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ

 

اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وأَصْحَابِهِ

 

أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ! اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. فَقَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمْ، إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.  اللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ 

 

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِوَالْمُسْلِمِيْنَ وَ الْمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْاَمْوَاتْ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَيَا قَاضِيَ الْحَاجَاتِ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْن، اَللّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ إِيْمَانًا كَامِلاً وَيَقِيْنًا صَادِقًا وَرِزْقًا وَاسِعًا وَقَلْبًا خَاشِعًا وَلِسَانًا ذَاكِرًا وَحَلاَلاً طَيِّبًا وَ تَوْبَةً نَصُوْحًا. اَللّهُمَّ اجْعَلْ حَجَّنَا حَجًّا مَبْرُوْرًا وَسَعْيًا مَشْكُوْرًا وَذَنْبًا مَغْفُوْرًا وَعَمَلاً صَالِحًا مَقْبُوْلاً وَتِجَارَةً لَنْ تَبُوْرَ 

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. آمِيْنَ يَا مُجِيْبَ السَّائِلِيْنَ

 

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

 

Ustadz M Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.