Nasional

Ramai Pemblokiran Rekening: Publik Bingung, PPATK Dinilai Kurang Sosialisasi

NU Online  ยท  Jumat, 8 Agustus 2025 | 20:00 WIB

Ramai Pemblokiran Rekening: Publik Bingung, PPATK Dinilai Kurang Sosialisasi

Badiul Hadi, Manajer Riset Seknas FITRA dalam Diskusi Forum Kramat: PPATK Blokir Massal Rekening: Solusi Hukum atau Risiko Ekonomi? di Lobi PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Jumat (8/8/2025). (Foto: dok. Lakpesdam PBNU)

Jakarta, NU Onlineย 

 

Kebijakan pemblokiran sementara terhadap rekening tidak aktif yang dilakukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memicu kegelisahan publik.

 

Bagi banyak masyarakat, baik yang memiliki maupun tidak memiliki dana besar di bank, langkah ini menjadi pukulan mendadak di tengah situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.

 

"Isu pemblokiran rekening ini sangat sensitif dan muncul di saat kondisi masyarakat maupun negara sedang tidak baik-baik saja," ujar Badiul Hadi, Manajer Riset Seknas FITRA dalam Diskusi Forum Kramat: PPATK Blokir Massal Rekening: Solusi Hukum atau Risiko Ekonomi? di Lobi PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Jumat (8/8/2025).

 

Menurut Badiul, keriuhan ini muncul lantaran tidak ada sosialisasi yang cukup dari PPATK kepada publik sebelum kebijakan dijalankan. Akibatnya, masyarakat kebingungan dan membutuhkan konfirmasi langsung terkait indikator apa saja yang membuat rekening bisa diblokir.

 

"PPATK dalam posisi tidak keliru. Tapi mereka tidak melakukan sosialisasi secara komprehensif kepada masyarakat. Ini yang bikin publik heboh," ungkapnya.

 

Badiul menegaskan, secara prinsip, langkah PPATK sejalan dengan fungsi preventif lembaga itu dalam mencegah tindak kejahatan keuangan. Termasuk di dalamnya adalah praktik jual-beli rekening pasif yang marak dilakukan penerima bantuan sosial.

 

"Ada temuan dari PPATK bahwa rekening milik penerima bansos dijual-belikan. Itu jelas mengkhawatirkan dan menyalahi prinsip akuntabilitas," katanya.

 

Lebih jauh, ia menyebut data PPATK menunjukkan bahwa sekitar 10 juta rekening pasif menyimpan dana senilai Rp2 triliun, dan sekitar 500 ribu di antaranya terindikasi digunakan untuk transaksi judi online. Bahkan, dalam tiga bulan terakhir, PPATK mencatat ada perputaran dana mencapai Rp5 triliun pada April, turun menjadi Rp2,2 triliun di Mei, dan menyusut lagi menjadi Rp1,5 triliun di Juni.

 

"Artinya, pemblokiran ini memang efektif menekan transaksi mencurigakan. Bahkan diklaim menurunkan 70 persen aktivitas judi online," jelas Badiul.

 

Namun efektivitas tersebut, menurutnya, tetap menyisakan persoalan serius. Salah satunya adalah ketidakjelasan mekanisme konfirmasi bagi masyarakat yang rekeningnya diblokir.

 

"PPATK tidak membuka ruang konfirmasi kepada publik. Ini problem utama. Masyarakat tidak tahu harus ke mana saat rekeningnya diblokir," ucap Badiul.

 

Ia menyayangkan tidak adanya saluran resmi dan prosedur yang transparan bagi nasabah untuk mendapatkan kejelasan. Padahal, proses aktivasi ulang rekening yang diblokir bisa memakan waktu hingga dua minggu waktu yang dianggap terlalu lama untuk masyarakat yang butuh akses cepat terhadap dananya.

 

"Bayangkan, masyarakat pas-pasan. Tiba-tiba rekeningnya diblokir. Mau dipakai, nggak bisa. Diaktifkan ulang pun butuh waktu lama," tegasnya.

 

Badiul juga mempertanyakan sejauh mana proses analisis dan pengawasan oleh PPATK dilakukan secara objektif dan terbuka. Ia menilai lembaga independen atau auditor eksternal perlu diberi ruang untuk mengevaluasi hasil analisis PPATK agar tidak menimbulkan kesalahan yang berdampak pada hak masyarakat.

 

"Kalau kita bicara potensi fraud, pasti ada. Ruang-ruang gelap itu hanya bisa dibuka kalau PPATK mau lebih terbuka," kata dia.

 

Tak hanya PPATK, perbankan nasional juga dinilai perlu berbenah. Banyaknya nasabah yang memiliki lebih dari satu rekening di bank yang sama, termasuk pembiaran terhadap rekening pasif, menjadi salah satu celah penyalahgunaan yang selama ini belum tertangani serius.

 

"Perbankan harus mulai memperhatikan nasabahnya, bukan cuma orientasi profit. Masalah ini juga muncul karena bank membiarkan rekening-rekening lama terbengkalai," tandasnya.

 

Badiul mengimbau agar masyarakat mulai proaktif melindungi asetnya, termasuk melakukan konfirmasi dan pembaruan data ke pihak bank.

 

"Masyarakat harus cek dan pastikan asetnya aman. Jangan tunggu sampai diblokir baru bingung," ujarnya.

 

Ia menegaskan bahwa keterlibatan warga dalam pengawasan menjadi kunci untuk mencegah penyimpangan dan memastikan keadilan tetap dijaga.

 

Menurut data Seknas FITRA anggaran perlindungan sosial Indonesia terus meningkat setiap tahun. Tahun 2023 sebesar Rp476 triliun, naik menjadi Rp496 triliun pada 2024, dan diproyeksikan Rp500,3 triliun tahun ini. Di dalamnya termasuk bansos yang rekening penerimanya kini masuk dalam daftar yang diblokir PPATK.

 

"Niatan PPATK memang baik, tapi jangan korbankan rakyat. Pastikan hak mereka tetap terlindungi," tegas Badiul.

 

Ia mengingatkan bahwa prinsip keadilan jauh lebih penting daripada sekadar efisiensi kebijakan. โ€œKalau prosedur salah, masyarakat yang jadi korban. Dan itu mencederai prinsip keuangan negara dan kepercayaan publik,โ€ pungkasnya.