Sirah Nabawiyah

Mengenal Ibrahim al-Imam: Arsitek Revolusi dan Inisiator Bendera Hitam Abbasiyah

NU Online  ยท  Jumat, 8 Agustus 2025 | 18:00 WIB

Mengenal Ibrahim al-Imam: Arsitek Revolusi dan Inisiator Bendera Hitam Abbasiyah

Ilustrasi bendera hitam. Sumber: Canva/NU Online.

Dalam lintasan sejarah Islam klasik, nama Ibrahim al-Imam barangkali tidak setenar Abu Abbas as-Saffah atau Abu Ja'far al-Mansur. Namun, perannya justru fundamental dalam menyiapkan pondasi kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Ia bukan hanya pemimpin rahasia revolusi, tetapi juga sosok yang menginspirasi penggunaan simbol warna hitam, yang kemudian menjadi identitas resmi Abbasiyah. Lewat kepemimpinannya yang tak sempat mencapai kekhalifahan, Ibrahim menjadi figur martir yang simboliknya melahirkan perubahan besar dalam dunia Islam.


Ibrahim bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas merupakan cucu dari paman Nabi Muhammad, yaitu Ibnu Abbas. Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga Bani Hasyim yang tidak pernah benar-benar tunduk pada dominasi Dinasti Umayyah. Ayahnya, Muhammad bin Ali, memulai dakwah rahasia di Kufah dan Khurasan yang menekankan hak keluarga Nabi atas kepemimpinan umat. Setelah wafatnya sang ayah, tampuk kepemimpinan gerakan berpindah ke tangan Ibrahim yang kemudian diberi gelar "al-Imam" oleh para pengikutnya.


Ibrahim menetap di al-Humaymah (Yordania sekarang), tempat ia menjalankan koordinasi dakwah revolusioner ke berbagai penjuru negeri Islam, terutama wilayah Khurasan. Dalam posisinya sebagai imam rahasia, ia mengangkat Abu Muslim al-Khurasani sebagai komandan lapangan di Khurasan. Atas perintah Ibrahim, Abu Muslim mengatur propaganda, menghimpun kekuatan militer, dan menyeru penduduk agar taat kepada "al-Imam", tanpa menyebut nama secara langsung demi menjaga kerahasiaan. (Adz-Dzahabi, Siyaru A'lamin Nubala, [Beirut: Mu'assasah ar-Risalah, 2001], juz V, hlm. 379)ย 


Salah satu instruksi penting Ibrahim kepada Abu Muslim adalah memanfaatkan simbolisme yang kuat dalam menggalang dukungan. Di sinilah awal mula penggunaan warna hitam sebagai alat propaganda. Dalam beberapa riwayat, disebutkan bahwa Abu Muslim memerintahkan pasukannya mengenakan pakaian hitam dan mengibarkan bendera hitam yang terbuat dari kain-kain yang disobek lalu diwarnai. Simbol ini mengacu pada hadits populer kala itu tentang munculnya "panji hitam dari timur" sebagai tanda kebangkitan kebenaran. Ada pula yang menyebut penggunaan warna ini karena semangat profetik, sebab saat Fathu Makkah, Nabi memakai sorban hitam.


Atas upaya ini, Adz-Dzahabi dalam Siyaru A'lamin Nubala menyebut Abu Muslim sebagai pelopor penggunaan warna hitam sebagai bentuk perlawanan simbolik Dinasti Abbasiyah terhadap Umayyah. Meskipun jika dicermati lebih jauh, penggunaan simbol tersebut diinisiasi oleh Ibrahim al-Imam, sosok yang berada di belakang Abu Muslim. (Adz-Dzahabi, Siyaru A'lamin Nubala, juz VI, hlm. 48)


Warna hitam awalnya digunakan sebagai tanda duka atas terbunuhnya Ibrahim oleh Khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin Muhammad, pada tahun 132 H. Setelah Ibrahim ditangkap dan dieksekusi di Harran, dengan berbagai versi tragis seperti dicekik bantal, diracun, atau diruntuhkan bangunan sebagaimana dilaporkan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah, para pengikutnya mengenakan pakaian hitam sebagai bentuk perlawanan dan penghormatan. Aksi ini secara perlahan menjelma menjadi simbol ideologis revolusi yang menandai permusuhan total terhadap Bani Umayyah. (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, [Riyadh: Daru 'Alamil Kutub, 2003], juz XIII, hlm. 243)


Menurut laporan Abu Hilal al-Askari dalam karyanya, al-Awa'il, disebutkan bahwa setelah kematian Ibrahim, para pengikutnya secara konsisten memakai pakaian hitam. Fakta ini menunjukkan bahwa simbol hitam bukan semata keputusan militer, melainkan lahir dari emosi kolektif dan kemudian dibakukan sebagai ideologi visual gerakan. Maka tidak mengherankan jika pada masa kekuasaan Abbasiyah, warna hitam menjadi identitas negara, termasuk bendera resmi. Berikut kutipan laporan al-Askari yang dimaksud:


ููŽู„ูŽู…ู‘ูŽุง ุฃูŽุญูŽุณู‘ูŽ ุฅูุจู’ุฑูŽุงู‡ููŠู…ู ุจูุงู„ู’ู‚ูŽุชู’ู„ูุŒ ุนูŽู‡ูุฏูŽ ุฅูู„ูŽู‰ ุดููŠุนูŽุชูู‡ูุŒ ุฃูŽู†ู’ ู„ูŽุง ูŠูู‡ูŽูˆูู‘ู„ูŽู†ู‘ูŽูƒูู…ู’ ู‚ูŽุชู’ู„ููŠุŒ ูˆูŽูƒููˆู†ููˆุง ุนูŽู„ูŽู‰ ู…ูŽุง ุฃูŽู†ู’ุชูู…ู’ ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ู…ูู†ู’ ุชูŽุถูŽุงููุฑููƒูู…ู’ุŒ ูˆูŽุชูŽุนูŽุงูˆูู†ููƒูู…ู’ุŒ ููŽุฅูุฐูŽุง ุชูŽู…ูŽูƒู‘ูŽู†ู’ุชูู…ู’ ู…ูู†ู’ ุฃูŽู…ู’ุฑููƒูู…ู’ุŒ ููŽุงุณู’ุชูŽุฎู’ู„ููููˆุง ุนูŽู„ูŽูŠู’ูƒูู…ู ุงุจู’ู†ูŽ ุงู„ู’ุญูŽุงุฑูุซููŠู‘ูŽุฉู โ€“ ูŠูŽุนู’ู†ููŠ ุฃูŽุจูŽุง ุงู„ู’ุนูŽุจู‘ูŽุงุณู โ€“ ุซูู…ู‘ูŽ ู‚ูŽุชูŽู„ูŽู‡ู ู…ูŽุฑู’ูˆูŽุงู†ูุŒ ููŽู„ูŽุจูุณูŽ ุดููŠุนูŽุชูู‡ู ุงู„ุณู‘ูŽูˆูŽุงุฏูŽุŒ ููŽู„ูŽุฒูู…ูŽู‡ูู…ู’ุŒ ูˆูŽุตูŽุงุฑูŽ ุดูุนูŽุงุฑู‹ุง ู„ูŽู‡ูู…ู’.


Artinya, "Ketika Ibrahim merasakan bahwa ajalnya akan segera tiba, ia berwasiat kepada para pengikutnya, "Jangan sampai kematianku membuat kalian gentar. Tetaplah seperti kondisi kalian sekarang, saling bahu membahu dan bekerja sama. Jika kalian telah berhasil menguasai keadaan, maka angkatlah putra al-Haritsiyyah sebagai pemimpin kalian" (yang dimaksud adalah Abu al-'Abbas). Setelah itu, Marwan membunuhnya. Maka para pengikutnya mengenakan pakaian hitam, yang kemudian melekat pada mereka dan menjadi simbol perjuangan mereka." (al-'Askari, Al-Awa'il, [Tanta: Darul Basyir], 1987: hlm. 259)


Sebagai pemimpin yang tidak sempat duduk di kursi khalifah, warisan Ibrahim terletak pada aspek konseptual dan emosional dari revolusi. Ia menyusun jaringan dakwah, memilih tokoh-tokoh kunci, dan meninggalkan instruksi strategis yang kemudian dieksekusi oleh penerusnya. Wasiat terakhirnya agar Abu Abbas as-Saffah diangkat sebagai khalifah menjadi bukti kesadaran politik dan keberanian menyerahkan estafet perjuangan demi tujuan yang lebih besar. Tanpa struktur dan simbol yang dirancang Ibrahim, revolusi Abbasiyah barangkali bisa kehilangan arah.


Penggunaan simbol hitam sebagai panji bukan hanya langkah strategis melainkan juga teologis. Hadits-hadits eskatologis seperti "akan muncul panji-panji hitam dari arah timur..." sering dikutip untuk menguatkan legitimasi spiritual revolusi. Meski status hadits ini diperdebatkan, kekuatan naratifnya efektif dalam membangkitkan dukungan massa. Ibrahim dan Abu Muslim berhasil mengubah simbol langit menjadi alat mobilisasi darat yang menggulingkan kekuatan Umayyah di berbagai provinsi.


Simbolisme warna hitam terus digunakan bahkan setelah revolusi berhasil. Dinasti Abbasiyah menjadikannya warna resmi dalam busana, panji, hingga hiasan istana. Kontras ini mempertegas diferensiasi dari Dinasti Umayyah yang identik dengan warna putih. Secara politis, hal ini menjadi upaya menciptakan jarak simbolik antara rezim lama dan yang baru. Secara kultural, ia menanamkan memori kolektif bahwa Abbasiyah lahir dari luka, duka, dan perlawanan. Semuanya terpusat pada figur Ibrahim al-Imam. (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiah, 2020], hlm. 202)


Kisah Ibrahim juga menjadi bukti bahwa tokoh yang tidak sempat berkuasa bisa memberi pengaruh luar biasa dalam sejarah. Ia seperti arsitek revolusi yang tidak sempat menyaksikan bangunan berdiri, namun setiap sudut bangunan itu menjalankan visi yang ia wariskan. Dari simbol panji, struktur dakwah, hingga alur suksesi kekhalifahan, semua mengarah pada perencanaan matang yang diwariskan oleh Ibrahim kepada generasi setelahnya.


Dalam historiografi klasik, Ibrahim memang kerap dibayangi oleh saudaranya, as-Saffah, dan keponakannya, al-Mansur. Namun jika ditelaah secara lebih dalam, keberhasilan mereka justru berdiri di atas fondasi yang dibangun oleh Ibrahim. Ia adalah contoh sempurna dari "revolusioner syahid", pemimpin yang gugur sebelum kemenangannya terwujud, namun darahnya menjadi tinta sejarah yang menuliskan kelahiran sebuah dinasti besar.


Walhasil, Ibrahim al-Imam bukan sekadar nama yang tertinggal di balik gemuruh kemenangan Abbasiyah. Ia adalah nyala pertama dari obor revolusi yang menerangi arah sejarah Islam. Meski nyawanya direnggut sebelum takhta digenggam, visinya hidup dalam panji-panji hitam yang terus berkibar. Ia bukan hanya pewaris darah Bani Hasyim, tapi penanda zaman yang mengubah warna dunia Islam. Melalui kematiannya, ia hidup abadi dalam simbol, strategi, dan struktur dinasti yang mengguncang imperium lama.


Ustadz Muhamad Abror, Penulis Keislaman dan Sejarah Abad Klasik.