Nikah/Keluarga

Akibat Keguguran Kandungan, Apakah Masa Iddah Perempuan Langsung Habis?     

Sel, 7 Februari 2023 | 19:00 WIB

Akibat Keguguran Kandungan, Apakah Masa Iddah Perempuan Langsung Habis?     

Masa iddah. (Ilustrasi: Pixabay)

Syariat menetapkan bahwa iddahnya perempuan hamil adalah melahirkan. Hal itu berdasarkan firman Allah dalam Al-Quran, “Adapun perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya,” (QS. ath-Thalaq [65]:4).   


Pertanyaannya, bagaimana perempuan hamil yang sedang menjalani masa iddah kemudian keguguran atau menggugurkan kandungannya? Apakah dengan keguguran dan pengguguran itu masa iddahnya habis dengan sendirinya?   


Untuk menjawab pertanyaan ini, kiranya perlu dilihat terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kehamilan dalam pandangan ulama fikih. 


Menurut ulama Syafi’i, kategori kehamilan dimulai dari mudhghah atau fase embrionik, sementara ‘alaqah (zigot) yang ada pada fase pre embrionik tidak dikategorikan sebagai kehamilan. 


Pada fase pre embrionik, ‘alaqah atau zigot baru terbentuk dari pertemuan sperma dan ovum yang telah matang. Sel-selnya kemudian membelah dan membesar hingga menjadi gumpalan darah yang menempel pada rahim. Fase ini terjadi saat usia kehamilan kurang dari 5 minggu.   


Sementara pada fase embrionik, ‘alaqah atau zigot yang menempel pada rahim semakin membesar dan berkembang menjadi embrio. Pada tahap ini, mulai terlihat calon anggota tubuh dan perlahan mulai sempurna. Zigot mulai menjadi embrio biasanya terjadi pada usia kehamilan 5,5 minggu. 


Lebih jelasnya, al-Bujairimi menjelaskan perbedaan dan konsekuensi hukum keduanya.   


وَيَتَعَلَّقُ بِالْعَلَقَةِ أَحْكَامٌ ثَلَاثَةٌ: وُجُوبُ الْغُسْلِ، وَإِفْطَارُ الصَّائِمَةِ، وَتَسْمِيَةُ الْخَارِجِ عَقِبَهَا نِفَاسًا، وَتَزِيدُ الْمُضْغَةُ عَلَى الْعَلَقَةِ بِأَنَّهَا تَنْقَضِي بِهَا الْعِدَّةُ


Artinya, “Ada tiga hukum yang berhubungan dengan ‘alaqah: (1) kewajiban mandi besar, (2) batalnya perempuan yang berpuasa, (3) dan nama nifas atas darah yang keluar setelahnya. Sementara status mudhghah lebih dari status ‘alaqah, sebab mudhghah menyebabkan berakhirnya masa iddah.”    


Ini artinya, keguguran berupa ‘alaqah (zigot) menurut ulama Syafi’i tidak dianggap kelahiran. Sebab, ‘alaqah tidak dianggap kehamilan. Berbeda halnya dengan keguguran mudhghah (embrio). Ia mengakhiri masa iddah sebab dianggap sebagai kehamilan. Meski demikian, darah yang keluar pasca keluarnya ‘alaqah tetap dianggap nifas. Selain itu, perempuan yang mengalaminya wajib mandi besar dan batal puasanya. 


Dengan kata lain, tidak seperti mudhghah, ‘alaqah hanya membatalkan puasa, mewajibkan mandi, dan menjalani nifas, tetapi tidak dianggap sebagai kehamilan dan tidak menghabiskan masa iddah. 


Sebab, berakhirnya masa iddah dengan kehamilan menurut ulama Syafi’i, dijelaskan oleh Syekh Wahbah az-Zuhaili.   


ولا بد عند الحنابلة والشافعية من أن يكون الحمل الذي تنقضي به العدة: هو ما يتبين فيه شيء من خلق الإنسان من الرأس واليد والرجل، أو يكون مضغة شهد ثقات من القوابل أن فيه صورة خفية لخلقة آدمي أو أصل آدمي، لعموم قوله تعالى: {وأولات الأحمال أجلهن أن يضعن حملهن} 


Artinya, “Menurut ulama Hanbali dan Syafi’i, disyaratkan keberadaan kehamilan yang mengakhiri masa iddah harus tampak jelas padanya ada tanda-tanda penciptaan manusia seperti kepala, tangan, dan kaki; atau kehamilan sudah berupa mudhghah (daging kental/embrio) berdasarkan kesaksian sejumlah dukun bayi. Padanya sudah terlihat bentuk-bentuk samar penciptaan manusia atau cikal bakal tubuh manusia, berdasarkan keumuman ayat, ‘Adapun perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya,’” (QS. ath-Thalaq [65]:4). (Lihat: Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, [Damasku: Darul Fikr], juz 9/7178). 


Berdasarkan petikan di atas, kehamilan dimulai dari fase mudhghah (embrionik) atau daging kental yang ada pada rahim perempuan. Sedangkan fase ‘alaqah atau darah kental yang menempel pada rahim tidak dianggap sebagai kehamilan. Sehingga jika terjadi keguguran pada fase ‘alaqah tidak mengakhiri masa iddah. 


Berbeda halnya dengan mudhghah. Ia dianggap kehamilan dan mengakhiri masa iddah karena sudah mulai tampak padanya tanda-tanda penciptaan atau cikal-bakal manusia.    


Terakhir, az-Zuhailai menyebutkan, syarat berakhirnya masa iddah dengan melahirkan adalah kehamilan dinasabkan kepada pemilik iddah atau suami sah. Artinya, jika kehamilan disandarkan bukan kepada pemilik iddah seperti anak hasil zina, tidak mengakhiri masa iddah. (Lihat: az-Zuhaili, juz 9/7178). 


Simpulan:

1. Menurut mazhab Syafi’i, ‘alaqah (zigot) pada fase pre embrionik tidak dianggap sebagai kehamilan dan kegugurannya tidak menghabiskan masa iddah. 


2. Ketika perempuan hamil tidak habis masa iddahnya karena keguguran ‘alaqah (zigot), maka artinya ia harus menjalani iddah quru’ usai nifas jika cerai hidup, dan menunggu empat bulan sepuluh hari jika cerai mati.    


3. Keguguran dari ‘alaqah (zigot) pada fase pre embrionik hanya menyebabkan perempuan batal puasa, mewajibkan mandi, dan menjalani nifas. 


4. Kategori kehamilan menurut ulama Syafi’i dimulai dari fase mudhghah (embrionik) atau daging kental yang biasanya ditandai dengan munculnya calon anggota tubuh dan bentuk tubuh manusia yang sempurna.   


5. Keguguran dari mudhghah (embrio) atau janin (fetus), selain menyebabkan batal puasa, kewajiban mandi, dan nifas, juga mengakhiri masa iddah.     


6. Habisnya masa iddah dengan kelahiran disyaratkan kehamilan sudah lahir seluruhnya seperti halnya terjadi pada anak kembar.  


7. Syarat lain berakhirnya masa iddah dengan kelahiran adalah status kehamilan bisa dinasabkan kepada pemilik iddah atau suami yang sah. 


8. Keguguran atau pengguguran mudhghah, kelahiran satu dari anak kembar atau kelahiran anak hasil zina tidak menghabiskan masa iddah karena sebelum keguguran dan melahirkan pun dianggap tidak ada iddah. Wallahu ‘alam.


Ustadz M. Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.