Apakah KUA Terima Pendaftaran Nikah Janda dalam Masa Iddah?
Rabu, 8 Desember 2021 | 20:00 WIB
Perempuan yang ditinggal mati suaminya dan masih dalam masa iddah haram menerima pinangan apalagi menikah dengan laki-laki lain
Yazid Muttaqin
Kolomnis
Setiap perempuan yang berpisah dari suaminya, baik karena perceraian maupun karena suaminya meninggal dunia, harus menjalani masa iddah atau masa tunggu. Di dalam menjalani masa iddah ini ada berbagai macam larangan yang tidak boleh dilanggar oleh mereka atau oleh orang-orang yang ada di sekitar mereka seperti wali dan orang-orang yang menghendaki menikah dengan mereka.
Perempuan yang ditalak raj’i misalnya selama masa iddah dilarang untuk menikah lagi dengan laki-laki lain. Pun laki-laki lain yang menginginkan untuk menikahinya tidak diperbolehkan mengungkapkan keinginannya itu, baik secara samar maupun terang-terangan, selama perempuan itu belum habis masa iddahnya. Ini dikarenakan selama masih dalam masa iddah perempuan yang ditalak raj’i pada dasarnya masih menjadi istri bagi suaminya.
Sementara seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya selama masa iddahnya tidak diperbolehkan melakukan berbagai hal seperti berhias diri, menggunakan wewangian, dan keluar rumah kecuali untuk suatu kebutuhan. Sedangkan seorang laki-laki yang memiliki kehendak untuk menikahinya maka selama perempuan itu masih dalam masa iddah sang laki-laki tidak boleh menyatakan keinginannya itu dengan kalimat yang jelas. Ia hanya boleh menyatakannya dengan bahasa sindiran.
Dengan demikian maka perempuan yang ditinggal mati suaminya dan masih dalam masa iddah haram menerima pinangan apalagi menikah dengan laki-laki lain. Itu semua adalah aturan yang telah ditetapkan oleh syari’at yang mesti ditaati oleh semua pihak.
Namun kenyataannya banyak terjadi di masyarakat tindakan yang melanggar aturan-aturan itu. Tidak jarang seorang perempuan yang masih dalam masa iddah menyatakan kehendaknya untuk melakukan pernikahan dengan laki-laki lain pada tanggal tertentu yang bahkan tanggal pernikahan itu juga masih dalam masa iddahnya.
Sudah adanya keinginan untuk menikah ini menunjukkan adanya rentetan peristiwa tertentu yang jelas melanggar aturan syari’at, seperti adanya pengungkapan rasa cinta dan keinginan menikah dari laki-laki lain, terjadinya pertemuan dan komunikasi dengan laki-laki lain untuk merencanakan pernikahan, hingga usaha-usaha untuk mewujudkan pernikahan itu. Dan keinginan serta usaha untuk mewujudkan itu semua kemudian diwujudkan secara nyata dalam bentuk mendaftarkan diri ke Kantor Urusan Agama (KUA). Jelas semua itu merupakan tindakan yang tidak dibenarkan oleh syariat.
Lalu apa tindakan yang semestinya dilakukan oleh KUA ketika ada pendaftaran nikah dari seorang perempuan janda yang masa iddahnya masih belum selesai?
Tindakan yang semestinya dilakukan oleh KUA adalah menolak kehendak mereka sejak dari proses yang paling awal yakni pendaftaran. Meskipun bila melihat rencana tanggal pernikahannya akan jatuh pada saat masa iddah telah selesai penyampain kehendak nikah melalui proses pendaftaran harus ditolak dan tidak bisa diterima. Menerimanya sama saja dengan membolehkan dan menyetujui tindakan-tindakan yang dilarang syari’at sebagaimana disebutkan di atas.
Larangan ini secara tegas disampaikan oleh Allah di dalam Surat Al-Baqarah ayat 235:
وَلا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Artinya: “Janganlah kalian menginginkan akad nikah hingga ketentuan Allah sampai pada waktunya. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati kalian maka berhati-hatilah kepada-Nya dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Mengetahui.”
Para ulama tafsir menjelaskan ayat ini sebagai larangan menyatakan keinginan untuk menikah dengan seorang perempuan yang masih dalam masa iddah sampai selesainya masa iddah tersebut.
Muhammad Ali As-Shabuni dan Imam Fakhrudin Ar-Razi menjelaskan bahwa ayat ini merupakan penekanan (mubalaghah) dalam melarang pernikahan yang dilakukan dalam masa iddah. Menurut keduanya bila keinginan di dalam hati (azam) untuk menikah saja dilarang, maka larangan tersebut menjadi lebih kuat terhadap penyampaian keinginan untuk menikah. (Fakhrudin Ar-Razi, Mafȃtihul Ghaib, [Kairo: Darul Hadis, 2012], jilid III, halaman 362) dan (Muhammad Ali As-Shabuni, Rawȃi’ul Bayȃn, [tp. tt.], jilid I, halaman 375).
Lebih jauh Syekh Nawawi Banten dalam kitab tafsirnya menyatakan bila perempuan yang berpisah dari suaminya menikah lagi di dalam masa iddah maka wajib hukumnya bagi siapa saja yang memiliki kemampuan untuk mencegahnya. Bila tak memiliki kemampuan untuk mencegahnya maka wajib baginya untuk meminta bantuan pemerintah. (Muhammad Nawawi Al-Jawi, Tafsȋr Al-Munȋr, (Beirut: Darul Fikr, 2007), juz I, hal. 73).
Dari sini menjadi sangat jelas bahwa tindakan mendaftarkan diri untuk menikah dari seorang perempuan yang masih dalam masa iddah harus dicegah oleh siapapun yang memiliki kemampuan untuk mencegahnya. Bila tidak ada pihak yang mampu mencegahnya maka campur tangan pemerintah—dalam hal ini KUA—mesti diperlukan.
Dalam praktik dan konteks pencatatan nikah di Indonesia tindakan pencegahan ini semestinya dimulai dari pihak keluarga. Bila tak dapat dilakukan oleh keluarga maka pencegahan ini mesti dilakukan oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N), modin, lebe atau nama lainnya (setiap daerah namanya berbeda-beda) ketika calon pengantin meminta jasanya untuk menguruskan rencana pernikahannya.
Bila masih belum bisa mencegahnya juga maka KUA adalah pihak yang paling dapat diharapkan dan paling berwenang untuk melakukan pencegahan dengan menolak berkas pendaftaraannya.
Dengan demikian penolakan nikah yang dilakukan oleh KUA bukan saja karena tanggal rencana ijab kabulnya masih di dalam masa iddah, tapi lebih dari itu karena membicarakan, merencanakan, dan mendaftarkan nikah, serta melakukan pemeriksaan berkas calon pengantin yang masih dalam masa iddah adalah sesuatu yang dilarang oleh syari’at.
Pencegahan ini menjadi sangat penting dan perlu diperhatikan mengingat pada ayat di atas Allah juga menyampaikan kalimat yang mengingatkan hal ini dengan cukup keras:
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ
Artinya: “Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati kalian, maka berhati-hatilah kepada-Nya.”
Menurut As-Shabuni ayat tersebut mengandung makna intimidasi dan ancaman dari Allah. Karenanya beliau mengingatkan untuk takut akan siksa-Nya dan tidak menentang perintah-Nya. (As-Shabuni: 371). Wallȃhu a’lam.
Ustadz Yazid Muttaqin, alumnus Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Surakarta. Kini ia aktif sebagai penghulu di Kantor Kementerian Agama Kota Tegal.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menghadapi Ujian Hidup dengan Ketakwaan
2
Khutbah Jumat: Menghindari Buruk Sangka kepada Tuhan dan Sesama
3
Ini Link Download Logo Hari Santri 2024
4
Khutbah Jumat: Larangan Bekerja Sama dalam Kemaksiatan
5
Khutbah Jumat: Mari Memuliakan Tamu
6
Timnas Garuda, Bahrain, dan Politik Timur Tengah
Terkini
Lihat Semua