Nikah/Keluarga

Bergaul di Luar Batas dan Alasan Hapus Dosa, Bolehkah Nikahi Mahram Mantan Ibu Mertua?

Rab, 4 Januari 2023 | 07:00 WIB

Bergaul di Luar Batas dan Alasan Hapus Dosa, Bolehkah Nikahi Mahram Mantan Ibu Mertua?

Islam melarang perkawinan menantu dan mertua. (Ilustrasi: NU Online/freepik)

Pelanggaran bergaul di luar batas dengan ibu mertua tidak dapat ditebus dengan menikahi ibu mertua tersebut. Tidak dibenarkan sebagai bentuk tanggung jawab dan hapus dosanya dengan cara menikahi ibu mertua tersebut. Sebab, itu bukan jalan yang diakui syariat untuk menebus kesalahan dan pelanggaran.   


Lagi pula, ibu mertua merupakan mahram muabbad (permanen) yang tidak mengenal istilah “mantan”sejak akad nikah dilangsungkan.


فَقَدْ ذَهَبَ الْفُقَهَاءُ إِلَى أَنَّ الْعَقْدَ الصَّحِيحَ مُثْبِتٌ لِحُرْمَةِ الْمُصَاهَرَةِ فِيمَا سِوَى بِنْتِ الزَّوْجَةِ وَهِيَ الرَّبِيبَةُ 


Artinya: “Para ulama fikih berpendapat bahwa akad yang sah menetapkan status mahram karena pernikahan kecuali anak dari istri, yaitu anak tiri.” (Lihat: al-Mausu‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz XXXVII/368).   


Lebih jelasnya lagi, dinyatakan oleh Syekh Ibnu Qasim al-‘Izzi: 


فالعقد على البنات يحرم الأمهات وأما البنات فلا تحرم إلا بالدخول على الأمهات
               

Artinya: “Akad nikah dengan anak perempuan mengharamkan ibunya. Sedangkan anak perempuan tidak haram kecuali setelah bergaul suami-istri dengan ibunya.” (Lihat: Syekh Ibnu Qasim al-‘Izzi, Hasyiyatul Bajuri, [Maktabah al-‘Ulumiyyah: Semarang] Tanpa Tahun, Juz II/113). 


Sebagaimana yang pernah dijelaskan, ketika seorang laki-laki menikah, maka ia memiliki hubungan mahram muabbad dengan ibu mertuanya sejak akad nikah dinyatakan sah. Mahram muabbad lainnya ketika pernikahan terjadi adalah ibu tiri, menantu perempuan, dan anak tiri. Hanya saja, khusus untuk anak tiri menjadi mahram setelah bergaul suami-istri dengan ibunya. 


Mengingat mahram muabbad, hubungan menantu dengan mertua tidak ada bekasnya. Hingga kapan pun ia tetap menjadi mahram dan tidak boleh menikah dengan mertuanya, baik dalam waktu yang bersamaan maupun waktu yang berbeda. Menikahi dua perempuan bersaudara saja tidak boleh, apalagi menikahi dua perempuan berstatus ibu dan anak sekaligus. 


Meski pernah berhubungan badan dengan ibu mertua, ikatan perkawinan seorang suami dengan istrinya tetap tidak putus selama tidak ada tidak ikrar talak terhadap istrinya atau tidak ada putusan Pengadilan Agama berdasarkan gugatan cerai istrinya. 


Ia masih tetap status suami sah dari istrinya. Pun ia tidak boleh menceraikan istrinya lalu menikah dengan mertuanya, walaupun sudah bercerai, apalagi mengumpulkan keduanya dalam pernikahan secara bersamaan.  


Dasarnya adalah firman Allah dalam Al-Quran: 


حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهاتُكُمْ وَبَناتُكُمْ وَأَخَواتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخالاتُكُمْ وَبَناتُ الْأَخِ وَبَناتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَواتُكُمْ مِنَ الرَّضاعَةِ وَأُمَّهاتُ نِسائِكُمْ وَرَبائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُناحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كانَ غَفُوراً رَحِيماً  


Artinya: “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu istri-istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), tidak berdosa bagimu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS. an-Nisa’ [4]: 23).


Penebusan Dosa menurut Syariat

Adapun syariat menetapkan ada tiga cara kafarat atau menebus kesalahan atau menghapus dosa akibat pelanggaran syariat yang dilakukan: pertama memerdekakan budak, kedua berpuasa, dan ketiga bersedekah. 


Kafarat berpuasa misalnya puasa 60 hari berturut-turut karena membatalkan puasa Ramadhan dengan hubungan suami-istri di siang, dan kafarat sedekah misalnya sedekah makanan atau pakaian sebagai bentuk kafarat yamin atau sedekah menyembelih hewan saat ada pelanggaran dalam ibadah haji. 


Artinya, tidak ada cara lain untuk menebus suatu kesalahan selain dengan tiga cara di atas dan bertobat yang setulus-tulusnya kepada Allah. Terlebih menebus kesalahan dengan melakukan kemaksiatan, pelanggaran, dan kesalahan yang lain.


Dalam praktik nazar sekalipun, tidak ada nazar dengan perkara yang melanggar syariat. Artinya, walau sudah dinazarkan, tetapi nazarnya berupa pelanggaran syariat, maka tidak boleh dilakukan. Sebab, tidak sah bernazar kecuali dengan perkara yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, bukan dengan perkara yang melanggar syariat-Nya:

 
ولا يصح النذر الا في قربة


Artinya: “Tidak sah nazar kecuali dalam perkara qurbah (mendekatkan diri pada Allah),” (Lihat: Abu Ishaq asy-Syairazi, at-Tanbih fil-Fiqhi asy-Syafi’i, juz I/84).


Dari uraian di atas, kiranya dapat ditarik benang merah dan simpulan tegas sebagai berikut:

1. Syariat menetapkan, tidak ada kafarat atau menebus dosa dengan bentuk pelanggaran terhadap hukum syariat itu sendiri. 


2. Kafarat atau menebus kesalahan yang diakui syariat adalah memerdekakan budak, berpuasa, bersedekah sebagai bagian dari upaya taubat kepada Allah.      


3. Hubungan menantu dengan mertua adalah mahram muabbad alias permanen sejak akad nikah dilangsungkan.  


4. Tidak boleh menikah dengan mertua selama-lamanya, baik dalam waktu yang bersamaan maupun tidak. 


5. Hubungan badan seorang menantu dengan mertua, tidak sampai memutus ikatan perkawinannya dengan istri sahnya. Dikecualikan ada ikrar talak atau ada keputusan Pengadilan Agama berdasarkan gugatan istri. Wallahu a’lam.


Ustadz Tatam Wijaya, alumnus Pondok Pesantren Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi, Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.