Nikah/Keluarga

Hukum Menikahi Orang yang Dizinai dan Keluarganya

Sab, 20 November 2021 | 16:00 WIB

Hukum Menikahi Orang yang Dizinai dan Keluarganya

Hukum Menikahi Orang yang Dizinai dan Keluarganya.

Sepasang muda mudi datang ke Kantor Urusan Agama (KUA). Keduanya bermaksud untuk mendaftarkan rencana pernikahan mereka. Sambil menunggu berkas pendaftaran diproses oleh petugas pelayanan keduanya meminta untuk bertemu dengan penghulu, mau konsultasi.

 

Kepada penghulu keduanya menceritakan bahwa rencana pernikahannya ini banyak mendapat penentangan dan cibiran dari berbagai pihak, baik keluarga maupun masyarakat sekitar. Pasalnya diketahui ayah dari calon pengantin laki-laki pada masa lampau pernah melakukan hubungan zina dengan ibu dari calon pengantin perempuan. Ada yang mengatakan bahwa bisa jadi anak perempuan yang mau dinikahi itu adalah anak hasil hubungan zina tersebut, sehingga tidak semestinya menikah dengan laki-laki yang juga anak dari ayah yang sama. Namun demikian keduanya tetap ingin meneruskan ikatan cinta mereka dalam ikatan perkawinan.

 

Karenanya kepada sang penghulu keduanya menanyakan apa sebenarnya hukum fiqih yang ditetapkan oleh para ulama atas kasus yang sedang mereka lakoni ini. Apa hukumnya seorang laki-laki yang berzina menikahi perempuan pasangan zinanya atau anak perempuan dari pasangan zinanya? Apa hukumnya anak keturunan laki-laki yang berzina menikah dengan anak keturunan perempuan pasangan zinanya?

 

Menjawab pertanyaan tersebut para ulama kita—khususnya ulama kalangan Syafi’iyah—telah membahas dan menetapkan hukumnya. Dalam kitab Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab misalnya Imam Nawawi menuturkan sebagai berikut:

 

وإن زنى بامرأة لم يحرم عليه نكاحها لقوله تعالى (وأحل لكم ما وراء ذلكم) وَرَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عن رجل زنى بامرأة فأراد أن يتزوجها أو ابنتها، فقال لا يحرم الحرام الحلال إنما يحرم ما كان بنكاح ولا تحرم بالزنا أمها ولا ابنتها ولا تحرم هي على ابنه ولا على أبيه للآية والخبر

 

Artinya: “Bila seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan maka tidak haram baginya menikahi perempuan yang dizinai itu, berdasarkan firman Allah “dihalalkan bagi kalian apa-apa yang selain itu semua”. Sayidatina Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan. Laki-laki itu ingin menikahi sang perempuan atau anak perempuannya. Maka Rasulullah bersabda “apa yang haram tidak menjadikan apa yang halal menjadi haram. Yang diharamkan hanyalah apa-apa yang terjadi karena nikah dan tidak haram karena zina menikahi ibu dan anak perempuan dari perempuan yang berzina. Juga perempuan yang berzina itu tidak haram dinikahi bagi anak laki-laki dan bapaknya laki-laki yang menzinai, berdasarkan ayat dan hadis.” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmȗ’ Syarhul Muhadzdzab, [Kairo: Darul Hadis, 2010], juz XVI, h. 485).

 

Lebih lanjut kitab Al-Majmû’ menjelaskan:

 

إذا زنى الرجل بامرأة لم يثبت بهذا الزنى تحريم المصاهرة فلا يحرم على الزانى نكاح المرأة التي زنى بها ولا أمها ولا ابنتها ولا تحرم الزانية على أبى الزاني ولا على أبنائه

 

Artinya: “Apabila seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan maka dengan perzinaan ini tidak menetapkan hukum keharaman menikah karena hubungan mushaharah. Maka tidak diharamkan bagi laki-laki yang berzina menikahi perempuan yang dizinai, ibunya, dan anak perempuannya. Tidak haram pula perempuan yang berzina dinikahi oleh bapak dan anak-anak laki-lakinya orang yang menzinainya” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmȗ’ Syarhul Muhadzdzab, juz XVI, h. 486).

 

Dari penjelasan di atas dapat diambil satu kesimpulan bahwa perbuatan zina tidak menimbulkan hubungan mushaharah yang menimbulkan status mahram bagi kedua pelaku zina dan bagi orang-orang yang bernasab dengan mereka. Karenanya seorang laki-laki diperbolehkan menikahi perempuan yang dizinainya. Demikian pula ia diperbolehkan menikahi anak perempuan dari perempuan pasangan zinanya itu, meskipun dalam hal ini sebagian ulama menghukumi makruh karena anak perempuan tersebut terlahir dari spermanya saat menzinai sang ibu. Pun tidak ada halangan bagi laki-laki tersebut untuk menikahi ibunya perempuan yang dizinai.

 

Juga sebaliknya. Perempuan yang berzina tidak ada halangan untuk menikah dengan anak laki-lakinya lelaki yang menzinainya. Ia juga diperbolehkan menikah dengan ayah atau siapa saja orang yang berhubungan nasab dengan laki-laki pasangan zinanya.

 

Lebih dari itu, keluarga dari laki-laki yang berzina juga tidak berhalangan menikah dengan keluarga perempuan yang dizinai. Itu semua karena perbuatan zina tidak menimbulkan hubungan apa pun—termasuk hubungan mushaharah dan nasab—terhadap kedua pelakunya, keluarganya dan anak keturunan mereka.

 

Perlu digarisbawahi bahwa kebolehan pernikahan itu semua adalah aturan hukum fiqih berdasarkan dalil-dalil yang ada. Bahwa pernikahan semacam itu menjadi tabu dan dipandang tidak elok di mata masyarakat adalah hal lain yang berkaitan dengan adat dan kepantasan sosial yang ada. Wallâhu a’lam.

 

 

Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Surakarta, kini aktif sebagai penghulu di lingkungan Kantor Kementerian Agama Kota Tegal