Keadilan Poligami dalam Islam: Membongkar Fakta di Balik Tuduhan Miring
NU Online · Rabu, 9 April 2025 | 21:00 WIB
Ahmad Maimun Nafis
Kolomnis
Belakangan ini, serial Bidaah menjadi perbincangan hangat. Ceritanya mengangkat sosok seorang penipu berkedok agama yang memanfaatkan poligami untuk menipu istri-istrinya. Narasi ini menggiring opini bahwa poligami adalah jalan pintas untuk menindas perempuan.
Namun, benarkah Islam memberikan celah ketidakadilan seperti itu? Ataukah ada aturan tegas yang memastikan hak setiap istri tetap terjaga? Artikel ini akan membahas bagaimana syariat Islam sebenarnya mengatur keadilan bagi seorang suami yang memiliki lebih dari satu istri, sekaligus membuktikan bahwa keadilan hakiki adalah prinsip utama yang diajarkan.
Kewajiban dan Anjuran Suami
Pembagian giliran menginap adalah kewajiban utama seorang suami yang memiliki istri lebih dari satu. Dalam hal ini, suami harus membagi waktu malam secara adil di antara mereka. Durasi giliran yang paling sedikit adalah satu malam, dari maghrib hingga fajar. Jika terjadi perselisihan mengenai siapa yang mendapat giliran duluan, syariat memberikan solusi berupa undian (قرعة).
Selain kewajiban tersebut, ada pula anjuran atau sunnah. Misalnya, suami disunnahkan untuk memperlakukan istri dengan adil di luar giliran waktu, seperti memberi perhatian, berbincang, dan menunjukkan kasih sayang yang sama. Meskipun tidak wajib, hal ini akan membantu menjaga keharmonisan rumah tangga.
وَتُسَنُّ التَّسْوِيَةُ بَيْنَهُنَّ فِي سَائِرِ أَنْوَاعِ الاِسْتِمْتَاعِ، وَلَا يُؤَاخَذُ بِمَيْلِ الْقَلْبِ إِلَى بَعْضِهِنَّ، وَأَنْ لَا يُعَطِّلَهُنَّ بِأَنْ يَبِيتَ عِنْدَهُنَّ
Artinya, "Disunnahkan berlaku adil di antara mereka (istri-istri) dalam semua bentuk kenikmatan (hubungan suami-istri), dan tidak berdosa atas kecenderungan hati kepada sebagian dari mereka, serta (disunnahkan pula) agar tidak meninggalkan mereka dengan cara tidak bermalam di tempat mereka.” (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu'in bi Syarh Qurrat al-'Ain bi Muhimmat ad-Din [Beirut: Dar Ibn Hazm, t.t] Cet. I, hlm. 495.)
Aturan dalam Giliran
Tidak semua istri yang dipoligami berhak menuntut giliran menginap. Hak ini hanya diberikan kepada istri yang memenuhi syarat tertentu. Istri yang berhak menuntut giliran adalah mereka yang sehat secara fisik, meskipun memiliki halangan syar'i seperti haid atau sakit berat. Selain itu, istri yang tidak sedang melakukan tindakan nusyuz, seperti menolak ajakan suami atau keluar rumah tanpa izin, juga memiliki hak penuh atas giliran menginap.
Sebaliknya, ada kondisi ketika seorang istri kehilangan haknya untuk menuntut giliran. Misalnya, istri yang masih kecil dan belum mampu melakukan hubungan, istri yang sedang menjalani masa iddah akibat hubungan syubhat, atau istri yang bepergian sendiri tanpa izin suami. Dalam keadaan-keadaan ini, giliran menginap tidak menjadi kewajiban bagi suami. (Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Syirazi, Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi'i, [Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t] Jilid II, hlm. 483)
Cara memulai giliran di antara istri memiliki aturan yang jelas dalam syariat. Jika terdapat istri baru, giliran pertama wajib dimulai dari istri tersebut. Namun, jika tidak ada istri baru, giliran pertama ditentukan melalui undian (قرعة) untuk memastikan keadilan tanpa adanya keberpihakan.
Adapun durasi giliran yang wajib diberikan kepada setiap istri adalah minimal satu malam. Maksimalnya adalah tiga malam berturut-turut, kecuali jika semua istri rela memberikan giliran lebih lama kepada salah satu di antara mereka. Dengan demikian, pembagian ini bertujuan menjaga keadilan dan keharmonisan dalam rumah tangga.
وَاعْلَمْ أَنَّ أَقَلَّ الْقِسْمِ لَيْلَةٌ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ وَهِيَ مِنَ الْغُرُوبِ إِلَى الْفَجْرِ، وَأَكْثَرُهُ ثَلَاثٌ، فَلَا يَجُوزُ أَكْثَرُ مِنْهَا وَإِنْ تَفَرَّقْنَ فِي الْبِلَادِ إِلَّا بِرِضَاهُنَّ
Artinya, "Ketahuilah bahwa giliran paling sedikit adalah satu malam untuk masing-masing (istri), yaitu dari waktu Maghrib hingga fajar. Dan giliran paling banyak adalah tiga malam. Tidak diperbolehkan lebih dari itu meskipun mereka tinggal di daerah yang berbeda, kecuali dengan kerelaan mereka." (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu'in..., hlm. 497)
Suami diperbolehkan mengunjungi istri yang bukan dalam giliran untuk keperluan tertentu. Misalnya, ketika istri tersebut sakit parah dan membutuhkan perawatan, atau saat suami perlu mengambil barang atau menyampaikan pesan penting. Namun, kunjungan ini harus dilakukan dalam waktu yang singkat dan tidak boleh mengganggu hak istri yang sedang mendapatkan giliran.
وَلَيْسَ لِلْأَوَّلِ دُخُولٌ فِي نَوْبَةِ عَلَى الْأُخْرَى لَيْلًا إِلَّا لِضَرُورَةٍ كَمَرَضِهَا الْمُخُوفِ، وَحِينَئِذٍ إِنْ طَالَ مَكْثُهُ قَضَى، وَإِلَّا فَلَا. وَلَهُ الدُّخُولُ نَهَارًا لِوَضْعِ مَتَاعٍ وَنَحْوِهِ، وَيَنْبَغِي أَنْ لَا يَطُولَ مَكْثُهُ
Artinya: “Seorang suami tidak diperbolehkan memasuki giliran malam istri lainnya, kecuali dalam keadaan darurat seperti penyakit yang membahayakan. Dalam kondisi itu, jika ia tinggal lama, ia wajib mengganti giliran, jika tidak, maka tidak perlu mengganti. Suami diperbolehkan masuk pada siang hari untuk meletakkan barang atau sejenisnya, namun sebaiknya tidak berlama-lama.” (Imam An-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, [Beirut, Dar al-Fikr, 1425 H/2005 M], cet I, hlm. 224.)
Jika seorang suami menikahi istri baru, ia berhak mendapatkan giliran khusus. Apabila istri baru tersebut seorang perawan (بكر), ia mendapatkan tujuh malam berturut-turut, sedangkan jika ia seorang janda (ثيب), ia mendapatkan tiga malam berturut-turut. Setelah giliran khusus ini selesai, pembagian giliran kembali dilakukan secara bergantian seperti biasa. (Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Firuzabadi al-Syirazi, Al-Tanbih fi al-Fiqh al-Syafi'i..., hlm. 170)
Dengan mengikuti aturan pembagian giliran ini, suami menjalankan kewajibannya sebagai pemimpin keluarga yang adil. Keadilan ini bukan hanya tuntutan agama, tetapi juga langkah konkret dalam menjaga keharmonisan rumah tangga. Suami yang adil tidak hanya memenuhi hak-hak istri-istrinya, tetapi juga menunjukkan kedewasaan dan tanggung jawab dalam menjalankan peran sebagai kepala keluarga. Wallahu alam.
Ustadz Ahmad Maimun Nafis, Pengajar di Pondok Pesantren Darul Istiqamah, Batuan, Sumenep.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Jangan Ikut Campur Urusan Orang, Fokus Perbaiki Diri
2
Khutbah Jumat: Menjadi Hamba Sejati Demi Ridha Ilahi
3
3 Instruksi Ketum PBNU untuk Seluruh Kader pada Harlah Ke-91 GP Ansor
4
Ketum GP Ansor Kukuhkan 100.000 Banser Patriot Ketahanan Pangan, Tekankan soal Kemandirian
5
Sanksi Berat bagi Haji Ilegal: Dipenjara, Dideportasi, dan Didenda Rp224 Juta
6
PCINU Mesir Gelar PD-PKPNU Angkatan I, Ketua PBNU: Lahirkan Kader Penggerak sebagai Pemimpin Masa Depan
Terkini
Lihat Semua