Nikah/Keluarga

Ketika Mertua dan Menantu Selingkuh: Review Film 'Norma' Perspektif Qur'an dan Hadits

NU Online  ·  Kamis, 10 April 2025 | 06:00 WIB

Ketika Mertua dan Menantu Selingkuh: Review Film 'Norma' Perspektif Qur'an dan Hadits

Poster Norma: Antara Mertua dan Menantu (Foto: tangkapan layar instagram @filmnorma)

Film Norma membawa kita ke dalam sebuah narasi yang penuh dengan emosi, konflik, dan dilema moral. Cerita ini berpusat pada hubungan terlarang antara seorang mertua dan menantu, sebuah tema yang cukup kontroversial untuk dibahas di Indonesia. 


Film ini mengisahkan sebuah pernikahan yang tampak sempurna antara Norma dan Irfan. Norma, seorang wanita pendiam dan pemalu, menjalani kehidupan rumah tangga yang penuh kebahagiaan bersama Irfan, cinta pertamanya. 


Irfan dikenal sebagai suami penyayang sekaligus menantu idaman, yang tidak hanya romantis terhadap Norma, tetapi juga berusaha merebut hati keluarga istrinya. Ia menjalin hubungan dekat dengan kedua orang tua Norma, yaitu Abdul dan Rina, serta menunjukkan sikap berbakti dan penuh perhatian. 


Bagi Norma, hidupnya terasa sempurna, hingga suatu hari, kenyataan pahit mulai terkuak, mengungkap sisi gelap dari orang-orang yang paling ia cintai. Perlahan, kecurigaan Norma tumbuh. Gerak-gerik Irfan yang berubah, tatapan aneh dari ibunya, Rina, serta bisik-bisik yang tak sengaja ia dengar, menciptakan kegelisahan dalam hatinya. 


Kebenaran yang akhirnya terungkap sungguh di luar dugaan: Irfan berselingkuh, dan pengkhianatan itu datang dari sosok yang paling tak mungkin ia bayangkan, yaitu Rina, ibu kandungnya sendiri. Hubungan gelap ini berlangsung diam-diam di belakang Norma.


Tema perselingkuhan mertua dan menantu dalam film Norma bukan hal baru dalam dinamika rumah tangga. Rasulullah SAW bahkan pernah mengingatkan bahaya khalwat dengan ipar, saudara pasangan, hingga mertua dalam sebuah hadits, yaitu:


عن عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ" فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ


Artinya: “Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Jauhilah masuk ke (ruangan) wanita!’ Maka seorang laki-laki dari kaum Anshar bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana dengan ipar?’ Beliau menjawab, ‘Ipar adalah kematian.’” (HR Bukhari-Muslim)


Hadits ini memberikan kita penjelasan tentang betapa seriusnya larangan selingkuh dengan kerabat. Ad-Dihlawi menjelaskan bahwa istilah “hamwu” dalam hadits tersebut merujuk pada kerabat dari pihak suami, seperti saudara laki-laki suami atau ayah mertua, kecuali ayah dan anak laki-laki yang memang mahram (Lama’atut Tanqih, [Damaskus, Darun Nawadir, 2014], jilid VI, hlm. 22).


Muhammad bin ‘Abdil Hadi As-Sindi juga mengungkapkan maksud hadits ini dalam catatan kaki yang dituliskannya sebagai komentar kitab Shahihul Bukhari:


ومعناه أن الخوف منه أكثر لتمكنه من الخلوة بها من غير أن ينكر عليه ، وهو تحذير مما عليه عادة الناس من المساهلة فيه كالخلوة بامرأة أخيه


Artinya: “Maknanya adalah bahwa bahaya kerabat sendiri/ipar (hamwu) lebih besar karena ia lebih memungkinkan untuk berduaan dengan istri saudaranya tanpa ada yang mengingkari. Hadits ini merupakan peringatan terhadap kebiasaan masyarakat yang sering meremehkan hal ini, seperti berduaan dengan istri saudara laki-lakinya.” (As-Sindi, Hasyiyatus Sindi ‘ala Shahihil Bukhari, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid III, hlm. 100).


Masih berkaitan dengan hadits ini, Al-Munawi bahkan menyebut pandangan Imam Malik yang sangat ketat dalam hal ini, hingga melarang khalwat (berduaan) antara seorang wanita dengan anak tiri suaminya, meskipun secara syariat diperbolehkan, karena potensi fitnah tetap ada ( Lihat Faidhul Qadir Syarhul Jami’ ash-Shaghir, [Mesir, al-Maktabah at-Tijjariyyah al-Kubra, 1356], jilid III, halaman 124). 


Apabila kita melihat secara spesifik dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 23, kita mendapati larangan menikah dengan mertua.


حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَخِ وَبَنٰتُ الْاُخْتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَاُمَّهٰتُ نِسَاۤىِٕكُمْ 


Artinya: “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu istri-istrimu (mertua),..


Ayat ini menegaskan bahwa mertua, atau ibu dari seorang istri haram untuk dinikahi. Al-Qurtubi dalam tafsirnya mengutip penjelasan yang dapat disimpulkan bahwa ibu mertua itu haram untuk dinikahi, baik si suami sudah berhubungan badan layaknya suami-istri atau belum. Ia juga mengutip sebuah riwayat:


وقد جاء صريحا من حديث عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده عن النبي صلى الله عليه وسلم: (إذا نكح الرجل المرأة فلا يحل له أن يتزوج أمها دخل بالبنت أو لم يدخل وإذا تزوج الام فلم يدخل بها ثم طلقها فإن شاء تزوج البنت) أخرجه في الصحيحين


Artinya: “Telah datang dengan tegas dari hadits Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi SAW: ‘Jika seorang laki-laki menikahi seorang wanita, maka tidak halal baginya untuk menikahi ibu wanita tersebut, baik dia telah menggauli anaknya atau belum. Dan jika dia menikahi ibunya namun belum menggaulinya, lalu menceraikannya, maka jika dia mau, dia boleh menikahi anaknya.’” [HR Bukhari-Muslim], (Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Riyadh, Dar ‘Alamil Kutub, 2003], jilid V, hlm. 107).


Menukil sebuah kisah dari Al-Muwatha, Abdullah bin Mas’ud, seorang sahabat Nabi yang terkenal dengan keilmuannya, didatangi seseorang yang meminta fatwa: bolehkah seseorang menikahi ibu dari wanita yang pernah dinikahinya, jika pernikahan dengan anak perempuan itu belum disempurnakan dengan hubungan suami-istri? 


Dengan penuh keyakinan, Ibnu Mas’ud memberikan jawaban bahwa hal itu diperbolehkan. Namun, beberapa waktu kemudian, Ibnu Mas’ud berkesempatan mengunjungi Madinah. Di sana, ia tidak menyia-nyiakan waktu untuk memverifikasi pendapatnya. 


Dengan rendah hati, ia bertanya kepada para ulama setempat tentang hukum yang pernah ia fatwakan. Jawabannya ternyata pernikahan seseorang dengan ibu mertua merupakan hal yang diharamkan. Seketika ia pun mencabut fatwanya, dan memerintahkan orang yang meminta fatwa kepadanya untuk menceraikan istrinya (Lihat Al-Muwatha karya Imam Malik, [Mesir, Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, t.t.], jilid II, hlm. 533).


Dalam konteks film Norma, ayat dan hadits-hadits yang telah dijelaskan menjadi penegas larangan hubungan pernikahan antara mertua dan menantu. Nikah saja dilarang, apalagi selingkuh hingga terjadi perzinaan, tentu saja konsekuensinya lebih berat. Naudzubillah min dzalik. Wallahu a’lam.


Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta